Cerpen Royyan Julian

Jangan pernah menatap mata ronggeng. Sebab, kau akan serasa terjebak dalam kubangan lumpur. Sekeras bagaimana pun kau memekik, tak ada seorang pun yang bakal menolong. Orang-orang akan menduga suaramu hanyalah serak babi liar yang terjebak puluhan moncong bambu runcing para perampok garang di hutan gawat.
Awalnya, aku tak percaya cerita magis yang kerap dikisahkan teman-teman, bahwa kedua bola mata ronggeng akan senantiasa memburu para brondong yang berseliweran di sekitarnya. Namun, saat aku menyaksikan tujuh belas ronggeng dibaptis di bawah langit bulan mati, aku terasa tersihir ketika mata kami (aku dan ronggeng itu) tak sengaja bertatap. Lalu segalanya menjadi kabur seolah-olah aku sedang berada di alam kabut. Aku merasa tanganku dituntun oleh sepotong lengan lembut dan membawaku ke sebuah tempat yang tak dapat dicapai fantasimu.
* * *
“Siapa pun sudah tahu, para ronggeng akan melahap tubuh jejaka.”
“Untuk apa?”
“Entahlah.”
“Bagaimana aku harus percaya kata-katamu?”
“Gesang, ini sudah menjadi rahasia umum.”
“Dan aku tak harus mempercayainya kan?”
“Aku hanya menyarankan, bila kau memang akan menyaksikan upacara baptis para ronggeng, jangan tatap matanya. Itu terlalu beresiko. Kita tak pernah tahu apa yang hendak dilakukan para ronggeng pada tubuh kita, pada pikiran kita, pada hidup kita.”
“Kau mulai membuatku takut.”
“Baguslah. Dengan begitu kau akan waspada.”
Tetapi jangan berharap aku akan patuh pada petuah murahan. Tak mungkin. Aku takkan percaya padanya, pada orang-orang yang selalu memaparkan legenda-legenda tahayul. Sebab, aku telah terlanjur meyakini apa-apa yang kasat mata. Bukan pada yang tak dapat diindera macam keris sakti, demit penunggu tempat keramat, atau bahkan sihir mata ronggeng. Kalau sudah begitu, aku tertawa di dalam hati. Aku tidak mau temanku menjadi tersinggung lantaran abai pada beragam nasihatnya.
Namun, semua pongahku lenyap ketika pada pagi itu, mendadak aku siuman dari sebuah lelap yang memabukkan. Padahal, aku tak pernah merasa pingsan atau tertidur. Tahu-tahu aku bangun dalam keadaan tanpa sehelai benang yang melekat pada tubuh. Di atas kasur bertelekan bebantal dan harum aroma sedap beraneka bunga. Seingatku, tadi malam aku hanya menonton upacara itu.
“Kau sudah bangun?” sekeping suara perempuan terdengar di tengah-tengah perasaanku yang masih gundah.
“Kau siapa?” tanyaku cemas.
Perempuan berkulit kuning cadas yang hanya memakai kemben merayapi kasur dan mendesis di telingaku, “Bagaimana tadi malam?”
Aku bergidik. Ingatanku mulai terkuak. Tadi malam aku merasa berada di atas lapisan nirwana. Aku merasa melihat tungkai Ken Dedes yang berkilat-kilat. Aku merasa menjadi Ken Arok, raja Singasari bertubuh ribuan kelelawar yang mencercap tubuh liat Dedes. Lalu aku sadar bahwa cerita yang acap didengungkan temanku dan orang-orang adalah kisah nyata. Cerita yang kini terjadi pada diriku.
“Sial!” umpatku dengan tubuh yang masih beku dan membanjir keringat kegalauan. “Apa yang telah kau lakukan?”
“Tenang, Sayang. Tak apa-apa,” desah perempuan mata indah itu, mata keramat yang telah berhasil menjerat mataku, tubuhku.
Dia terus menggeliat di sekujur tubuhku yang masih duduk kaku. Aku dapat mencium wangi kembang dan akar-akaran dari tubuhnya. Ingin sekali kubenamkan tubuhku pada tubuhnya, tetapi aku takut. Ini bukan duniaku.
“Namaku Ayudiya. Namamu?”
Aku tak menjawab.
“Heh, jangan berlaga tolol! Kau sengaja menyaksikan upacara itu biar kami bisa menyeretmu kan? Hah, betapa kalian memanfaatkan keadaan kami.”
“Hei, apa yang kau katakan? Aku tak percaya kabar orang-orang. Tapi akhirnya aku harus menelan dosa karena tak peduli nasihat mereka. Aku Gesang, mahasiswa antropologi, masih suci dan kau telah merenggutnya,” ucapku mulai geram.
“Hahaha. Mana ada suci-najis pada lelaki? Lelaki sama saja, masih perjaka atau tidak, mereka tetap utuh. Tetapi tidak dengan perempuan,” ia berkelakar dan bangkit berdiri menghadap langit fajar yang tergores di kotak jendela. “Kau tahu kenapa kami, para ronggeng melakukan ini?”
Aku mengunci bibir dan tak menjawab pertanyaannya meski penasaran.
“Kami tak mau keperawanan kami lenyap karena bandot keriput itu.”
“Maksudmu?” aku semakin penasaran.
“Kau tahu lelaki tua yang telah membaptis kami? Pada malam purnama, ia akan merebut keperawanan kami.”
“Kenapa?”
“Ini rangkaian penobatan kami sebagai ronggeng. Agar kami dapat berkat dan leluhur menjaga aura ronggeng kami. Celakanya, para orang tua kami percaya.”
“Kenapa kalian tak percaya?” tanyaku sambil mengenakan pakaian.
“Kami, para ronggeng tahu kalau itu tidak benar dan hanya akal-akalan lelaki tua itu. Kami tahu tubuh kami.”
“Tapi kalian telah mengorbankan orang lain. Laki-laki sepertiku.”
“Kesucian ronggeng selayaknya lenyap di tangan perjaka, bukan kakek tua dukun ronggeng macam dia. Aku minta maaf. Kami tahu ini salah, tapi kami terpaksa.” Suaranya terisak dan matanya mulai berkaca-kaca. Aku terharu.
“Apa kalian akan seperti ini terus?”
“Tidak. Kami punya rencana.”
“Pada malam purnama?”
“Tentu saja.”
“Rencana apa?”
* * *
Pada malam bulat bulan kuning yang menggantung di jantung langit, tujuh belas ronggeng yang telah dibaptis dua pekan lalu berkumpul di padepokan dukun ronggeng. Gesang mengawasi dari jarak jauh, di antara belukar perdu yang mengelilingi padepokan. Meski Ayudiya tak memintanya membantu menjalankan rencana itu, tetapi Gesang merasa terpanggil. Ia telah menghabisi tabir suci Ayudiya meski itu adalah jebakan Ayudiya sendiri. Lama-lama ia jatuh cinta pada perempuan ronggeng itu. Maka ia tak tega bila Ayudiya dan para ronggeng menjalankan rencana yang belum tentu berhasil. Gesang jaga-jaga bila terjadi apa-apa.
Asap dupa menguar di padepokan sarat nyamuk. Dukun merapal berbagai mantera. Para ronggeng duduk melingkar bersila di atas tikar yang terhampar di ruang terbuka, tanpa halang dinding. Mereka saling bertatapan, membaca isyarat pada tiap mata yang berbicara rencana.
Ayudiya memandang jauh Gesang yang berdiri di rerimbun semak dengan diam-diam, tak memunculkan gemerisik apa pun.
Dukun ronggeng makin khusuk menceracau tak karuan bercampur bunyi desau angin yang berkesiut menerbangkan dedaun kering. Tiba-tiba matanya membelalak dan berdiri, berjalan menuju sebuah ruang gelap berdaun pintu bundar. Para ronggeng tahu bahwa itulah ruang jahanam tempat bandot keriput hendak menggarap tubuh hijau mereka.
Suasana lengang berubah pecah ketika para ronggeng mulai bercakap-cakap dengan suara bisik untuk memulai rencana.
“Marintan…!” suara dukun memanggil ronggeng pertama ke dalam ruang laknat. Suasana kembali hening dan waktu terasa berhenti. Wajah Marintan digurat pucat. Tertatih-tatih ia berjalan menuju ruang pekat. Ia dan para ronggeng tak dapat membayangkan ketika bandot tua itu berpesta di atas tubuh mereka, bagaimana lelaki jompo serakah mengobrak-abrik raga mereka.
“Aaa…!” tiba-tiba jerit sekarat muncul dari dalam ruang hitam. Pintu berderit. Marintan muncul dari kegelapan. Tangan kanannya menggenggam sehunus samurai berlumur merah. Para ronggeng membelalak tak percaya, menyumpal mulut dengan kedua tangan mereka.
“Apa yang kau lakukan?”
Marintan tak berkutik. Matanya masih melotot dan berdiri tegak di ambang pintu. Para ronggeng mengerumuninya. Gesang yang berjarak dengan mereka tak tahu apa yang terjadi. Ia mulai panik.
“Dari mana kau dapatkan pedang itu?”
“Shigetaka.” Lelaki Kyoto yang terjerat matanya.
Para Ronggeng batal menjalankan rencana. Marintan telah memusnahkah lelaki tua busuk itu.
“Buang bangkai itu ke alas, biar dimakan anjing-anjing gila.”
Malang, 4 Oktober 2011
Penulis adalah mahasiswa Sastra Indonesia 2008. Cerpen ini juara III kategori cerpen Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2011.