Oleh Karkono Supadi Putra
Meskipun bukan kebutuhan primer, rekreasi tetap penting bagi hidup kita dan sebab itu seyogyanya diusahakan untuk memenuhinya. Rekreasi tidak harus identik dengan biaya mahal. Persoalan terkait biaya sebenarnya tinggal bagaimana kita menyiasatinya. Jika melihat manfaatnya, persoalan biaya menjadi sesuatu yang tidak signifikan. Atau setidaknya sebanding dengan manfaat yang bisa kita dapatkan dari kegiatan rekreasi tersebut. Selain bisa menyegarkan kembali pikiran yang sudah penat dengan rutinitas, rekreasi bisa mendatangkan inspirasi-inspirasi baru, menambah wa­wasan, persahabatan, dan banyak manfaat lainnya.
Belum lama ini saya berkesempatan mengunjungi Pulau Lombok yang terkenal dengan keindahan pantainya. Secara geografis, Pulau Lombok yang masuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat memang cukup jauh jaraknya dari Malang. Sekadar informasi, biaya yang dibutuhkan ternyata cukup murah dibanding dengan yang saya bayangkan sebelumnya. Saya bisa menggunakan sarana transportasi pesawat yang biayanya hanya berbeda sepuluh ribu dari harga bus Malang-Mataram. Asal kita bisa merencanakan perjalanan jauh-jauh hari dan mencari informasi tiket pesawat melalui internet, kita bisa mendapatkan harga tiket yang murah.
Biaya transportasi lokal dan penginapan di Lombok pun relatif terjangkau. Banyak pilihan: mau yang berkelas koper atau rangsel, keduanya ada. Meskipun tidak terlalu lama, saya mencoba memanfaatkan kepergian saya ke Lombok dengan mengoptimalkan mengunjungi objek-objek wisata yang selama ini sebatas saya kenal melalui media. Untuk bisa menjelajah keindahan Lombok sampai detail, saya sengaja menggunakan sepeda motor (sewa harian).
Dengan sepeda motor, saya bisa berhenti setiap saat sesuka hati kalau menemui objek yang dirasa menarik. Melakukan perjalanan wisata tidak sekadar objek wisata yang menjadi tujuan, budaya masyarakat setempat pun menarik untuk dijelajahi. Setelah dari bandara (waktu itu masih di Selaparang kawasan Mataram) dan kegiatan inti saya di Lombok usai, saya pun mengelilingi Lombok dengan bersepeda motor. Beruntung, saya mempunyai teman di daerah Kopang, Lombok Tengah, yang pada akhirnya menjadi pemandu saya menikmati wisata di Lombok.

Pantai selatan Pulau Lombok
Rute pertama yang saya tuju adalah ke kawasan pantai selatan Pulau Lombok. Saya melewati jalur Praya, Lombok Tengah. Di tengah perjalanan, saya mampir sebentar di kampung adat, Sade. Sade merupakan komunitas masyarakat tradisional asli suku Sasak. Rumah-rumah asli Sasak dan kain tenun pun menjadi objek wisata yang menarik. Tidak lama, saya kembali melanjutkan perjalanan, menuju pantai selatan Lombok.
Di kawasan ini banyak pantai-pantai indah yang terpampang sepanjang laut. Memang, jalan-jalan untuk menuju ke lokasi tersebut cenderung kurang bagus: selain sempit, banyak jalan berlubang yang belum diperbaiki. Namun, rasa lelah menempuh perjalanan jauh menuju ke lokasi ini akan terbayar saat kita disuguhi panorama alam yang menakjubkan.
Di kawasan pantai selatan Pulau Lombok ini terdapat pantai-pantai yang sangat terkenal, di antaranya ada Pantai Kuta Lombok, Pantai Tanjung Ann, Pantai Mawun, dan Pantai Selong Belanak. Keindahan pantai-pantai di Lombok didominasi oleh kolaborasi pasir putih, air laut yang jernih, dan pohon-pohon kelapa yang indah menjulang. Dibanding dengan kawasan pantai di kawasan utara Lombok (misalnya Senggigi), pantai-pantai selatan Lombok relatif sepi. Kita benar-benar bisa melepas penat dalam ketenangan dan keindahan alam.
Di Pantai Tanjung Ann, ada legenda masyarakat setempat yang sudah dikenal luas di masyarakat, yaitu bau nyale. Nyale dalam bahasa Indonesia berarti cacing. Bau nyale berarti menangkap cacing beramai-ramai dan mengonsumsinya. Tradisi ini tidak lepas dari legenda tentang putri Mandalika. Legenda mengatakan bahwa dahulu kala, Putri Mandalika dari Lombok yang cantik rupawan menolak pinangan beberapa pangeran dan akhirnya memilih untuk mengorbankan dirinya ke laut agar kecantikannya dapat dinikmati tidak saja oleh para pengeran, tetapi juga para penduduk yang selalu memuja dan memujinya. Saat terbenam dalam gelombang laut, Putri Mandalika berubah wujud menjadi apa yang sekarang dikenal dengan nyale, terjadi pada hari yang sama. Di kawasan ini juga berdiri megah sebuah resort, yaitu Mandalika Resort.
Dari pagi sampai sore, saya menjelajah pantai-pantai tersebut dan diakhiri di Pantai Selong Belanak. Saya dan beberapa teman menginap di salah satu cottage di Selong Belanak. Harga sewa cottage pun cukup terjangkau. Suasana malam di pantai ini sangat tenang. Kami menikmati suasana malam dengan menggelar tikar di bibir pantai dan menyalakan api. Bisa dikatakan, hanya kami saja yang ada di pantai yang sangat luas itu.

Senggigi dan Gili Trawangan
Pagi hari, saya melanjutkan perjalanan. Meninggalkan kawasan pantai selatan Lombok dengan inspirasi positif yang saya simpan dalam memori. Saya menyusuri pantai-pantai hingga ke kawasan daerah Pelabuhan Lembar. Hingga sore hari, saya tiba di kawasan Senggigi. Perjalanan yang cukup jauh, membelah Pulau Lombok dari selatan hingga utara.
Dari kota Mataram saya menyusuri kawasan Pantai Senggigi yang berbukit-bukit. Pantai-pantai di Pulau Lombok memang menawan, sayangnya di Pantai Senggigi, pengunjung kurang leluasa menikmati pantai karena berhimpimpitan langsung dengan area sebuah resort mewah. Resort itu memberi batasan sendiri area mana yang boleh dimasuki pengunjung pantai dan area mana yang diklaim sebagai milik resort itu. Di dekat Pantai Senggigi juga ada Pasar Seni Senggigi. Para wisatawan bisa membeli beragam oleh-oleh di kawasan ini.
Usai dari Pantai Senggigi, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Bangsal, dermaga penyeberangan ke Gili Trawangan. Antara Senggigi dan Bangsal, ada banyak tempat di lereng bukit yang bagus untuk istirahat sambil menikmati laut. Salah satu tempat tersebut adalah Malimbo.
Malimbo adalah semacam peristirahatan di tepi jalan yang persis bersebelahan dengan laut. Selain tempatnya di ketinggian sehingga bisa leluasa menikmati laut yang terhampar, di Malimbo juga ada beberapa penjual makanan dan minuman yang bisa untuk melepas dahaga sejenak. Ah, menikmati senja di Malimbo memang mengesankan. Saya tidak bisa lama-lama karena masih harus melanjutkan perjalanan.
Di utara Pulau Lombok, ada tiga gili (bisa diartikan sebagai pulau) yang cukup terkenal, di antaranya Gili Trawangan, Gili Menu, dan Gili Air. Dari ketiga gili tersebut, Gili Trawangan disebut sebagai pulau yang paling ramai dan banyak dikunjungi wisatawan. Setelah menitipkan sepeda motor pada penitipan yang sudah tersedia, saya langsung naik kapal penyeberangan menuju Gili Trawangan. Cukup dengan membayar tiket sepuluh ribu, selama sekitar empat puluh menit saya pun menyeberangi lautan yang berombak besar menuju Gili Trawangan.

Sampai di Gili Trawangan
Kebetulan, tanpa saya rencanakan, saat saya tiba di Gili Trawangan adalah saat malam Valentines’s Day. Bagi saya memang tidak ada nuansa apa-apa di hari itu, tetapi hari itu menjadikan Gili Trawangan sangat ramai dikunjungi turis, terutama mancanegara. Karena sudah sangat sore, saya langsung mencari tempat penginapan. Cukup sulit karena banyak hotel, vila, ataupun cottage yang sudah penuh.
Sepanjang pantai di pulau tersebut dipenuhi dengan penginapan, dari yang relatif murah hingga yang sekelas hotel berbintang. Akhirnya saya menemukan sebuah penginapan yang sederhana tetapi nyaman. Tempatnya tepat di sebuah mesjid besar. Sepertinya satu-satunya mesjid yang ada di Gili Trawangan. Selain panorama alam yang eksotik, istimewanya Gili Trawangan adalah terbebas dari asap kendaraan bermotor. Sarana transportasi yang ada di pulau ini hanya sepeda kayuh dan cidomo (kereta kuda). Kondisi tersebut menjadikan udara di Gili Trawangan sangat segar.
Menginap satu malam sepertinya belum puas, tetapi mau bagaimana lagi, kondisi hanya memberi kesempatan saya untuk menikmati Gili Trawangan cukup satu malam. Pagi-pagi, saya dan teman-teman sengaja mengelilingi pulau dengan berjalan kaki. Pulaunya memang tidak begitu luas, hingga hanya memerlukan waktu satu jam untuk mengelilingnya. Saat hari beranjak sore saya meninggalkan Gili Trawangan dengan begitu banyak cerita.

Pura Meru dan Taman Manyura
Usai dari Gili Trawangan, saya menuju kota Mataram. Menikmati malam hari di kota Mataram yang terkenal dengan sajian kuliner ayam Taliwang dan sate Bulayak. Saya menginap di jantung kota Mataram, sebuah hotel bersih dan nyaman yang ternyata pemiliknya asli orang Malang dan dulu pernah kuliah di UM.
Pagi hari, saya mengunjungi dua objek wisata di kota Mataram, yaitu Pura Meru dan Taman Manyura. Pura Meru adalah Pura terbesar di Lombok, sedangkan Manyura adalah taman dengan objek utama berupa kolam dan sebuah pura yang merupakan pura tertua di Lombok. Meskipun di Lombok didominasi penduduk muslim, tetapi penganut agama Hindu di pulau ini lumayan banyak. Menurut cerita penduduk, kawasan yang paling banyak umat Hindu ada di daerah Cakraningrat, sebuah kecamatan di kota Mataram.
Saat itu, jam penerbangan ke Surabaya masih malam hari. Kondisi ini saya manfaatkan untuk jalan-jalan sore di Jalan Udayana yang berada di dekat bandara. Suasana Jalan Udayana sangat ramai. Banyak masyarakat, terutama anak-anak muda yang menikmati suasana senja sambil menyantap sajian kuliner yang banyak dijajakan. Penjual aneka suvenir pun banyak ditemukan di kawasan yang sangat terkenal di Mataram itu. Malam hari, saya pun meninggalkan Lombok dan sejuta eksotikanya. Saya merasa belum lengkap ke Lombok ketika belum mengunjungi Gunung Rinjani dan danau di puncaknya. Namun, tugas di Malang sudah menanti sehingga saya tidak bisa berlama di Lombok. Suatu saat, semoga saya bisa kembali mengunjungi Lombok dan mendaki puncak Rinjani.
Penulis adalah dosen
Jurusan Sastra Indonesia