Sebuah refleksi Natal untuk Indonesia
Oleh Yusinta Memoriani

Natal. Kata itu sungguh tidak asing bagi kita, bahkan di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Tak salah pula jika kita mau membuka pikiran dan menambah wawasan tentang apa itu Natal. Sedikit intermezo, penulis (22 tahun) yang notabene adalah orang Kristen sejak lahir, baru beberapa waktu lalu sebelum menulis ini saya mengetahui dan menyadari bahwa Natal atau kelahiran Kristus itu sebenarnya bukan di bulan Desember atau saat musim dingin tiba, tidak di Indonesia tentunya. Jadi tidak ada salahnya jika kita bercerita tentang asal mula Natal terlebih dahulu, terutama bagi mereka yang belum tahu dan ingin tahu.
Dalam Injil disebutkan bahwa Yesus (Nabi Isa) lahir ketika gembala-gembala dan kawanan dombanya sedang berada di padang rumput pada malam hari. Berdasarkan keterangan ini sudah jelas bahwa Natal atau kelahiran Kristus tidak pada bulan Desember ketika segala sesuatu di atas permukaan tanah tertutup salju seperti peristiwa-peristiwa Natal yang terjadi di negara-negara yang memiliki empat musim, karena pada musim dingin seperti pada akhir Desember, para gembala dan kawanan dombanya tidak akan berada pada padang terbuka tetapi di dalam ruangan hangat untuk musim dingin. Faktor-faktor lain juga menunjukkan bahwa kelahiran Kristus lebih sesuai pada bulan September atau permulaan Oktober. Akan tetapi tanggal sesungguhnya dari kelahiran Kristus tidaklah diketahui.
Berdasarkan sumber-sumber ensiklopedia, Natal ditetapkan pada 25 Desember dan menjadi pesta yang diakui baru pada pertengahan abad ke-4. Jika ada pertanyaan mengapa pohon cemara identik dengan perayaan Natal, jawabannya lain lagi dan tentu saja tulisan ini tidak cukup panjang untuk menjelaskannya. Apa pun itu, tidaklah sepenting makna Natal yang sebenarnya. Tanggal 25 Desember, pohon cemara atau hal-hal lainnya hanyalah sarana untuk merayakan Natal. Namun, apakah hal itu yang menjadi pusat perhatian saat Natal itu datang dan mengapa?
Pohon Natal, lampu hias, kado Natal, kue-kue Natal, baju-baju baru, atau,pun berlibur bersama keluar di hari Natal merupakan hal-hal utama yang dipikirkan setiap anak dan keluarga-keluarga Kristen khususnya ketika bulan beranjak Desember. Setiap anak akan berkata, “Natal kali ini kau mendapat hadiah apa?”
“Apa kamu sudah memasang pohon Natal di rumahmu?”
“Ibuku sudah mulai membuat dan membeli kue-kue untuk Natal, lo!” dan lain sebagainya.
Hal ini menjadi sedikit lucu jika kita benar-benar mencermatinya. Natal adalah hari kelahiran Yesus dan itu berarti sama halnya dengan kita merayakan hari ulang tahun Yesus. Tentu saja Yesuslah yang seharusnya justru diberi kado ulang tahun. Akan tetapi yang kita lakukan adalah sibuk dengan diri kita sendiri dan tentang segala hadiah-hadiah Natal. Kita tidak lagi memikirkan, “Apa yang harus kita berikan untuk Yesus?” atau “Sudahkah kita berbagi kasih yang telah diberikan Yesus kepada kita?”
Gereja-geraja Kristen pun tak mau ketinggalan dengan anak-anak. Bagi gereja-gereja Kristen, tentu saja Desember menjadi bulan yang sibuk. Mulai dari menyusun panitia perayaan Natal hingga penyelenggaraan sebuah perayaan Natal yang megah. Kebanyakan akan memikirkan perayaan Natal seperti apa yang akan diadakan agar Natal kali ini berkesan, indah, bahkan megah. Itulah berbagai hal yang identik dengan Natal. Semua tenaga, pikiran, dan waktu akan dikerahkan untuk sebuah Natal. Boleh dibilang, ada Natal tentu saja ada perayaan Natal. Perayaan ini diartikan sebagai sebuah pesta penuh kegembiraan, meriah, banyak makanan dan minuman, serta semua orang menikmatinya bersama-sama. Itulah Natal.
Bisakah Natal masih kita rasakan tanpa hadirnya kado-kado Natal? Bisakah Natal kita rasakan tanpa pohon terang dan nyanyian lagu “Malam Kudus”? Bisakah Natal masih ada di dalam hati kita tanpa perayaan besar dan megah di gedung gereja yang mewah? Masih adakah Natal di hati kita dalam sebuah kesederhanaan? Masih adakah kasih dan damai Natal yang kita rasakan dan bagikan kepada orang lain tanpa melalui hingar-bingar perayaan Natal?
Natal kita bukan lagi Natal yang sebenarnya. Seperti yang kita ketahui, fokus Natal seakan-akan telah bergeser. Fokus Natal bukan lagi Yesus. Fokus Natal bukan berbagi kasih dan damai Natal, melainkan berpusat pada pesta dan perayaan Natal, sesuatu yang mewah dan meriah. Anggaran yang membengkak sampai berpuluh-puluh juta pun dikeluarkan untuk sebuah pesta yang berdalih ‘menyambut kelahiran Raja di atas segala Raja’, dan itu berarti segala pengeluaran itu tidaklah berarti apa-apa.
Jika kita melihat kembali peristiwa dan keadaan saat Kristus dilahirkan, kelahiran Kristus adalah ‘kesederhanaan dan kasih’, atau bahkan dapat dikatakan sangat sederhana. Yesus lahir tidak di sebuah rumah sakit mewah dan penginapan yang berkelas, tetapi hanya di sebuah kandang domba yang sangat sederhana. Tidak ada tempat tidur yang layak atau pun selimut tebal yang hangat. Yesus hanya diletakkan di atas palungan dengan dibungkus sebuah kain lampin. Seakan-akan semua itu adalah tempat yang tidak layak untuk seseorang yang kita yakini sebagai Raja di atas segala Raja. Namun, melalui hal itulah Yesus ingin mengajarkan kepada kita tentang sebuah kesederhanaan.
Bukan berarti kita tidak boleh mengadakan perayaan Natal seperti yang biasa kita lakukan. Hanya saja kita tidak boleh terlena dengan kemegahan, kemeriahan, dan pesta pora dari sebuah Natal. Yesus telah mengajarkan kesederhanaan, kasih, dan damai. Itulah yang harus kita ingat dan perhatikan. Marilah kita sedikit merefleksi diri kita masing-masing. Dalam setiap Natal yang kita lalui, sudahkah kasih Kristus terpancar kepada saudara-saudara kita melalui perayaan-perayaan Natal yang kita adakan?
Ini adalah Natal kita bersama. Ini bukan Natalku saja. Ini bukan Natalmu saja, tetapi ini Natal kita, tanpa terkecuali. Marilah kita memberikan Natal terbaik kita kepada Kristus dengan memberi kado Natal terindah untuk-Nya berupa kasih dan damai Natal yang terpancar dan mengalir, serta dirasakan oleh semua orang. Itulah Natal yang menyenangkan hati Yesus di mana ada kasih dan damai Yesus terpancar. Di situlah Natal itu diam di antara kita.
Natalku, Natalmu, dan Natal kita.

Untuk musuhmu, maaf
Untuk seorang lawan, toleransi
Untuk seorang teman, hatimu
Untuk seorang pelanggan, pelayanan
Untuk semua, kemurahan hati
Untuk setiap anak, contoh yang baik
Untuk dirimu sendiri, rasa hormat

– Oren Arnold –

Penulis adalah instruktur bahasa Indonesia di Center for Indonesian Studies,
Jurusan Sastra Indonesia UM