Siang pada 17/01 lalu itu tidak terlalu panas. Mendung sesekali menggayut seakan mewartakan bahwa air dari langit akan segera tumpah ke bumi. Beberapa gedung perkuliahan yang ada di UM masih tampak ramai oleh beberapa mahasiswa yang berlalu lalang atau sekedar duduk mengobrol bersama sejumlah mahasiswa lain. Di antara keramaian dan kesibukan aktivitas yang ditunjukkan mahasiswa UM di beberapa titik lokasi perkuliahan tersebut, ada satu gedung yang tampak lengang. Terletak di samping gedung G6 FT, terlihat bahwa gedung ini bukanlah tempat yang menjadi pusat aktivitas mahasiswa. Di samping pintu masuknya, ada tangga yang langsung menyambut kedatangan siapa saja. Menaiki tangga tersebut, akan dijumpai beberapa ruang kelas.
Gedung ini bukanlah bangunan baru di UM. Namun, di salah satu gedung perkuliahan lama inilah basecamp BIPA berada. BIPA adalah singkatan dari Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. BIPA merupakan salah satu program an­dalan yang dimiliki oleh Jurusan Sastra Indonesia UM. Di dalam gedung ini, ternyata suasana tidak sesepi di luarnya. Sampai di ujung tangga dan sedikit berjalan menyusuri sebagian bangunan yang mirip lorong ini, Ko­mu­nikasi sayup-sa­yup men­dengar suara. Obro­lan yang sesekali di­selingi tawa. Benar saja, di salah satu ruang kelas, ma­jalah ini mendapati dua mahasiswa asing yang sedang mengobrol ber­sama seorang perempuan berkaca mata. Ruang ke­las ini sama sekali tidak luas. Hanya berukuran sekitar 6 X 6 meter. Di pintunya tertempel kertas bertuliskan “BIPA 3” yang ditulis dengan tulisan tangan. Dua mahasiswa asing yang ada dalam ruangan tersebut adalah Satish Chakma dan Ravinesh Rohit Prasad. Sementara itu, seorang perempuan yang ada di antara mereka adalah Peny D. Anggari, S.Pd., M.Pd., pengajar bahasa Indonesia sekaligus pengurus BIPA. Kelas pengajaran bahasa Indonesia saat itu rupanya masih istirahat sehingga ada mahasiswa yang belum kembali ke kelas. Selang beberapa menit, dua mahasiswa asing lain masuk. Masing-masing bernama Muzaffar Qurbokov (Mas Muza) dan Muzaffar Abdullazizov (Bapak Muza). Kehadiran dua orang mahasiswa dari Uzbekistan ini menandai bahwa kelas sudah kembali lengkap.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 10.30 WIB yang artinya kelas mereka berakhir dalam setengah jam ke depan. Tetapi Ibu Peni berbaik hati memberikan sisa waktu tersebut untuk kami gunakan wawancara. Ditemani perempuan be­rambut gelombang ini, Komunikasi melebur dalam wawancara santai dengan empat orang mahasiswa asing. Semuanya adalah mahasiswa program Kemitraan Negara Berkembang (KNB). Program ini merupakan beasiswa S2 dari pemerintah Indonesia untuk menarik orang-orang dari negara berkembang yang berminat belajar di Indonesia. Sebelum menjalani masa studi S2, mereka akan belajar bahasa Indonesia terlebih dahulu sekitar 6-8 bulan.
Usai menyandang gelar Master of Business Administration di kampung halamannya, Bangladesh, Satish Chakma mendaftarkan diri untuk kembali menempuh S2 di luar negeri. Dua kali menempuh pendidikan S2 bukan masalah bagi Satish, sebab dia ingin memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Dosen University of Dhaka ini lalu mendaftar di dua negara, yaitu Indonesia dan Jerman dalam waktu yang hampir bersamaan. Beberapa bulan kemudian Satish diterima dan berangkat ke Indonesia untuk menempuh S2 Pendidikan Ekonomi di PPs UM.
Berbeda dengan Satish, Ravinesh Rohit Prasad mendaftarkan diri setelah membaca lowongan beasiswa di Fiji Times. Rohit beserta lima orang asal Fiji lainnya berhasil mendapatkan beasiswa di Indonesia. Rohit yang berprofesi sebagai guru geografi dan bahasa Inggris di salah satu SMA Fiji, datang ke Indonesia untuk menempuh S2 Pendidikan Geografi di PPs UM. Sementara itu, kelima teman senegaranya menempuh studi di universitas lain sesuai dengan bidang ilmu yang dipilih.
Baru beberapa bulan di Indonesia, baik Satish maupun Rohit sudah mengunjungi sebagian objek wisata di Malang Raya, seperti Pantai Sendang Biru, alun-alun, dan beberapa pusat perbelanjaan. Beberapa tempat mereka kunjungi bersama dengan pengajar dan tutor dari BIPA UM. Saat ditanya tentang pengalaman lucu selama di Malang, kedua mahasiswa asing tersebut langsung tertawa terbahak-bahak sambil bercerita, “Di Indonesia saya lihat ada monyet naik motor,” kata Satish. “Monyetnya bawa motor, pakai topeng, lalu berkeliling. Setelah itu menarik-narik kaki saya sambil minta uang,” timpal Rohit yang baru pertama kali menyaksikan topeng monyet.
Mengenai proses pembelajaran yang dijalaninya selama beberapa bulan ini, Satish mengatakan bahwa cara mengajar di BIPA UM cukup bagus dan memberikan banyak pengalaman. Bahasa Indonesia tidak sulit dan tidak mudah menurut Satish. Penggemar bakso dan es degan ini menyatakan bahwa topik materi yang beragam membuat pelajaran mudah dipahami. “Saya juga mau menyampaikan terima kasih banyak pada pemerintah yang telah memberikan beasiswa untuk belajar di sini,” tambah Rohit.
“Pertama kali di Indonesia saya tidak tahu apa-apa, orang bicara cepat-cepat,” ujar Bapak Muza. Lelaki yang telah memiliki dua orang anak ini mengaku senang belajar di UM. “Kampus ini bagus dan besar. Di Uzbekistan kampus kecil-kecil karena satu universitas hanya untuk satu jurusan saja. Udara di sini juga bagus, banyak pohon.”
Sementara itu, Mas Muza, rekannya, setiap kali ditanya hanya menjawab “Same,” karena belum lancar berbahasa Indonesia. Ketika merasa punya jawaban sendiri yang ingin disampaikan, ia lebih banyak memakai bahasa Inggris sambil melirik Ibu Peni yang duduk di dekat white board. “Hayo, saya dengar lo…. satu kata bahasa Inggris seribu ya,” kelakar Bu Peni. “Ancaman” berupa denda uang tersebut tidak hanya ditujukan kepada Mas Muza, tapi untuk keempat mahasiswa asingnya. Hal ini dilakukan sebagai penyemangat untuk membiasakan mereka memakai bahasa Indonesia. Setiap kali kelakar tersebut diucapkan, keempat mahasiswa asing di kelas mini ini tertawa terbahak-bahak. Setelah itu mereka selalu tampak berusaha menjawab pertanyaan Komunikasi dengan bahasa Indonesia.
Bapak Muza memiliki banyak unek-unek tentang Indonesia yang salah satunya berbunyi begini, “Di Indonesia banyak yang tidak bisa bahasa Inggris. Orang harus see around, jadi harus belajar bahasa Inggris,” ucapnya dengan mimik serius. Menjelang zuhur, Ibu Peni pamit meninggalkan kami. Sebelum itu ia memberikan PR yang ada di buku paket Living Indonesia. Komunikasi mencuri lihat pada buku paket Bapak Muza. PR yang harus mereka kerjakan antara lain berbunyi, “Buatlah kalimat dengan kata-kata berikut ini (bergandengan, berdekatan, berkaitan, bersahut-sahutan).”
“Maybe easy for you,” katanya pada Komunikasi yang duduk di sampingnya sambil tersenyum. Selepas zuhur, kami mengakhiri wawancara. Saat berjabat tangan dengan Bapak Muza dan Mas Muza, keduanya kompak menawari Komunikasi untuk tinggal bersama keluarga mereka saat ada waktu berkunjung ke Uzbekistan, kelak.

Bertemu keluarga baru di asrama UM
Pada waktu lain, Komunikasi juga sempat berbincang dengan dua orang mahasiswa asing lainnya. Mereka kami temui di gedung Balai Bahasa dan Budaya FS UM, beberapa saat usai kelas pelajaran bahasa Indonesia berakhir. Saat itu mereka sedang belajar di ruang tengah gedung ini untuk mempersiapkan ujian esok hari. Kedua mahasiswa tersebut adalah Nitchakan Kumjornrit dan Gibe. Mereka datang bersama sepuluh orang teman dari Thailand lainnya untuk mengikuti program In Country yang merupakan kerja sama UM dengan Walailak University. Selama lima bulan ke depan, mereka yang selama di Walailak mengambil jurusan Regional Study yang mempelajari bahasa dan budaya ASEAN ini akan belajar di UM.
“Saya tinggal di asrama UM dan teman-teman di asrama gembira. Orang-orang di sini juga friendly,” tutur Gibe. Perempuan berambut hitam panjang ini mengaku menjadi lebih rajin sejak tinggal di Indonesia. “Saya rajin di Indonesia, matahari selalu terbit. Di Thailand jam 06.30, di sini jam 5 jadi saya bangun,” ujarnya. Gibe bicara dengan terbata-bata dengan struktur bahasa yang masih kurang sempurna. Sesekali ia diam dan berpikir, lalu membuka kamus Thailand-Indonesia untuk mencari arti kata yang ingin diucapkannya. Namun, ia masih lebih lancar dibandingkan dengan Nitchakan. Rekannya ini hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ketika tidak mengerti maksud dari pertanyaan yang bahkan sudah kami coba terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Maklum, Thailand sama dengan Indonesia yang tidak memakai bahasa Inggris untuk komunikasi sehari-hari. “Saya suka film, Mmm… itu, “Merah Putih”,” ujar Nitchakan.
Selain KNB dan In Country, program belajar yang mendatangkan mahasiswa asing lainnya ke UM adalah Critical Language Scholarship (CLS) dan Darmasiswa. CLS mendatangkan mahasiswa Amerika Serikat selama dua bulan, sedangkan Darmasiswa dari berbagai negara selama satu tahun. Semua program tersebut ditangani oleh BIPA, khususnya dalam hal belajar bahasa dan budaya Indonesia. Di luar keempat program tersebut, BIPA memiliki satu program yang bisa diikuti secara bebas oleh orang asing, yakni privat bahasa Indonesia.

Berani bicara karena pertanyaan dosen
Beradaptasi di negara asing memang bukan hal yang mudah. Seperti yang dialami oleh Shitaye Shigute. Mahasiswa asal Ethiopia yang tengah menjalani studi S2 Manajemen Pendidikan di UM ini harus beradaptasi dengan makanan Indonesia yang sangat berbeda dengan negara asalnya. Pertama kali datang ke Indonesia, Shitaye bahkan tidak dapat mengonsumsi makanan Indonesia selama beberapa hari. Pasalnya, dia terbiasa dengan makanan-makanan pedas dan roti enjera sebagai makanan pokok di Ethiopia. “Saya rindu sekali roti enjera. Saya ingin buat tetapi tidak ada alatnya,” ujarnya.
Mahasiswa yang sedang sibuk menye­lesaikan tesis ini datang ke Indonesia melalui program KNB. Di negaranya, Shitaye berprofesi sebagai supervisor di dinas pendidikan regional. Dia mendaftarkan diri untuk me­lanjutkan S2 Manajemen Pendidikan di Indonesia atas rekomendasi dari sana. Untuk menyusun tesis yang membahas tentang kepemimpinan kepala sekolah, Shitaye telah melakukan penelitian di sejumlah sekolah di kota Malang. Setidaknya ada lima SMA RSBI yang menjadi objek penelitian perempuan yang menargetkan untuk wisuda S2 tahun 2012 ini.
Selama menempuh studi di Indonesia, Shitaye tinggal di asrama putri UM. Menurutnya, lokasi asrama yang dekat dengan gedung PPs UM sangat mendukung aktivitas akademis yang tengah dijalaninya. Sedangkan untuk berjalan-jalan, biasanya Shitaye pergi bersama seorang teman yang merupakan mantan tutornya di BIPA UM dahulu. Saking akrabnya, orang tersebut bahkan mengajak Shitaye merayakan Natal bersama di rumahnya.
Pada awal perkuliahan di PPs, Shitaye merasa kesulitan karena bahasa komunikasi yang dipelajarinya ternyata berbeda dengan bahasa perkuliahan. Perempuan yang tumbuh di negara bagian Oromia ini menuturkan, “Dulu saya diam saja di kelas, tidak berani bicara sedikit pun. Kemudian ada seorang dosen yang memberikan sebuah pertanyaan sederhana pada saya. Akhirnya saya berani berbicara sedikit-sedikit. Dan sekarang saya jadi sering bicara di kelas.” Shitaye juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada pengajar BIPA dan PPs. “Bahasa Indonesia itu sulit, tapi guru dan teman-teman membuatnya mudah. Saya ra­sa pengajar di si­ni terlalu baik,” lan­jutnya sambil ter­senyum.

Tergoda kuliner Indonesia
“Bahasa Indo­ne­sia itu sulit, tapi indah dan can­tik,” komentar Hsiu-Ann Conolly tentang bahasa Indonesia sambil mengacungkan kedua jempolnya. Hsiu-Ann me­ru­pa­kan mahasiswa dari Boston Uni­versity, Amerika Se­ri­kat yang sa­at itu tengah me­ngikuti program privat di BIPA UM sejak Desember 2011. Dia sengaja datang ke In­do­nesia untuk mem­pelajari be­be­rapa hal di Indonesia terkait dengan pe­­lajaran tentang ASEAN yang di­tem­puh di universitasnya.
Ditanya mengenai kesan belajar bahasa Indonesia di BIPA UM, Hsiu-Ann menjawab, “Pelajaran bahasa Indonesia lebih sulit, tapi gurunya lebih baik, lebih rileks, dan lebih sedikit memberi PR.” Sepulang dari Indonesia, dia ingin mempelajari lebih lanjut tentang Indonesia dan berharap dapat kembali lagi un­tuk mengikuti program CLS di tahun berikutnya. Hsiu-Ann juga ingin menulis ar­tikel tentang In­donesia, ter­ma­suk karakter orang Indonesia, bu­daya, bahasa, dan makanan.
Waktu belajar yang singkat, ya­itu 22 hari, tidak meng­halangi Hsiu-Ann untuk men­jelajahi hal-hal baru di In­donesia. Tidak ha­nya belajar bahasa, pe­rem­puan be­ram­but keriting ini pun sempat men­jelajahi beberapa tempat di kota Malang, dari mal, tempat wisata, hingga pasar bunga. Bahkan naik angkutan umum sendiri pun sudah pernah dijajalnya. Sambil tertawa, dengan agak terbata-bata Hsiu-Ann menceritakan pengalaman lucunya, “Saya takut me­nyeberang karena banyak motor. Cepat-cepat sekali, saya takut. Jadi saya maju lalu mundur lagi, maju lagi. Lucu sekali. Saya juga pergi ke Bromo, tapi hujan deras dan saya jatuh dari kuda.”
Makanan di kota Malang adalah hal yang paling menarik perhatian Hsiu-Ann. Hampir semua makanan yang ada di kota Malang seperti bakso, nasi goreng, dan buah-buahan disukai oleh mahasiswa periang itu. Buah naga merah dan manggis adalah buah favoritnya. Saking sukanya, Hsiu-Ann mengaku hampir setiap hari mengonsumsi buah naga merah.
Banyak hal yang masih ingin dilakukan Hsiu-Ann di Indonesia. Perempuan yang selama di Indonesia menempati rumah kos di Jalan Jombang ini bercita-cita ingin berwisata ke Bali dan melihat matahari terbit di Bromo. Orang-orang Indonesia yang sopan, makanan-makanan Indonesia yang enak juga menjadi alasan kuat Hsiu-Ann untuk berkata dengan mantap, “Saya harus kembali ke Indonesia.” Trias/Nurul