Oleh Aang Saptadri Yahya

Momentum peringatan hari Guru yang digelar pada 25 November seharusnya dijadikan momentum meningkatkan kesadaran dan komitmen terhadap budaya mutu di kalangan guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan tema “Meningkatkan Peran Strategis Guru untuk Membangun Karakter Banga-Peningkatan Kinerja Guru untuk Pendidikan Bermutu” seperti yang disampaikan Sulistyo, Ketua PGRI dalam perayaan Hari Guru Nasional di Bogor (30/11) seharusnya membuat setiap guru berpikir ulang, sudahkah ia berlaku demikian?
Kemendiknas berupaya terus-mene­rus untuk meningkatkan peran strategis para guru, seperti pemberian tunjangan profesi, kenaikan pangkat, sampai kepada memberikan berbagai diklat kepada para guru. Namun, sudah efektifkah program itu mengingat saat ini profesionalisme guru sedang diuji. Kompetensi seperti apa yang yang harus dimiliki seorang guru profesional ?
Guru profesional dituntut memiliki empat kom­petensi, yaitu kompetensi kognitif, peda­gogis, personalitas, dan sosial. Lalu bagaimana ujian yang sesungguhnya terjadi pada keempat aspek kompetensi guru profesional tersebut?

Kompetensi kognitif
Kompetensi pertama yang diuji dari seorang guru profesional adalah kompetensi kognitif yang menuntut kesesuian bidang ilmu yang dipelajarinya dengan bidang ilmu saat dia mengajar di kelas. Dengan kata lain, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan seorang guru. Namun, fakta mencengangkan muncul, menurut data yang dikeluarkan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Dikti tahun 2007 terdapat 16,22% guru-guru yang mengalami mismatch alias mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Dari lima bidang studi yang diteliti saat itu terdapat mismatch pada PKN 15,22%; Pendidikan Agama sebesar 20,80%; Tata Niaga sebesar 27,88%; Fisika sebesar 15,53%; dan Seni sebesar 52,93%. Dari data tersebut terselip suatu implikasi bahwa mungkin saja sifat korupsi yang tercermin dari wakil rakyat sekarang dia­kibatkan saat me­­reka sekolah du­­­lu diajar oleh guru A­ga­ma dan PKn yang salah.

Kompetensi pedagogis
Kompetensi pedagogis yang dimaksud dalam tulisan ini yakni kemampuan seseorang dalam memahami peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang men­didik. Pemahaman ten­tang peserta di­dik meliputi pema­haman tentang psi­kologi perkembangan anak. Sedangkan pem­belajaran yang men­di­dik meliputi kemampuan merancang pem­­belajaran, mengimplementasikan pem­­be­lajaran, me­nilai proses dan hasil pem­belajaran, serta melakukan perbaikan se­ca­ra berkelanjutan. Namun, lagi-lagi pro­fe­sionalisme guru (sedang) diuji dari aspek ini ketika kita masih bisa melihat bahwa pem­be­lajaran di beberapa sekolah cenderung masih ber­pusat pada guru. Pembelajaran kons­truktifis yang berpusat pada siswa, se­perti inquiry, learning cycle 5 phase, problem possing, dan model lainnya seolah-olah tidak disentuh oleh kebanyakan guru-guru yang sudah berstatus sertifikasi. Alasannya cukup sepele. Buat apa mempersulit diri jika pembelajaran ceramah masih bisa berlangsung? Alih-alih siswa betah di kelas, bisa-bisa siswa keseringan menguapkan mulut sepanjang pembelajaran berlangsung jika sang guru masih bertahan dengan prinsip kuno tersebut. Otomatis kebanyakan siswa mencari alternatif kursus untuk mengatasi ketidakefektifan di kelas. Lalu di mana pengajaran efektif bisa berlangsung jika pola pedagogis guru masih terus statis?

Kompetensi personalitas
Aspek ini akan sangat tampak terhadap kepribadian guru. Berbicara tentang kepri­badian, maka aspek yang sedang diuji dari seorang guru profesional adalah masalah moral dan iman. Bila guru sendiri tidak beriman kepada Tuhan dan tidak bermoral, maka menjadi sulit untuk dapat membantu anak didik beriman dan bermoral. Setidaknya pepatah yang mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari, memang benar adanya.

Kompetensi sosial
Kompetensi terakhir yang tidak kalah pen­tingnya adalah kompetensi sosial. Kom­petensi ini menekankan seorang guru untuk mam­pu berempati sosial, menghargai, ber­komunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Inilah kom­petensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus da­pat ditularkan kepada anak-anak didiknya.Na­mun, lagi-lagi dalam kompetensi ini pro­fesionalisme guru sedang diuji.
Jika kita per­gi ke suatu sekolah, kita akan menemukan si­si lain dari kehidupan guru. Guru sertifikasi cenderung memperbaiki pe­nampilannya dengan mengendarai kendaraan yang bisa digolongkan mewah. Padahal, se­belumnya kendaraan lama masih bisa dipakai. Pola penyediaan kendaraan tersebut cu­kup unik, DP sekian juta, dan tunjangan profesi yang keluar di akhir ta­hun atau bahkan meminjam dana koperasi bi­sa dijadikan talangan untuk mencicil kelu­nasan kendaraan tersebut. Jadi, dengan en­tengnya mereka bisa membeli kendaraan. En­tah alasan seperti apa yang ada dalam be­nak guru yang berperilaku demikian. Yang je­las sisi kepekaan sosial terhadap guru yang ber­status honorer dengan gaji tak lebih dari 1 juta/bulan semakin tipis saja.

Semacam renungan
Guru yang profesional pada dasarnya di­ten­tukan oleh perilakunya yang be­rarti pada tataran kematangan yang mem­persyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kon­di­si yang prima. Profesionalisasi ha­rus dipandang sebagai proses yang te­­rus menerus. Usaha meningkatkan pro­fesionalitas guru merupakan tanggung ja­wab bersama antara pemerintah, LPTK sebagai pencetak guru, instansi-ins­tansi pembina guru, dan masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa Kimia