Oleh Abd. Latif Bustami
Sahlins sebagai antropolog merasa galau dengan dinamika sejarah yang berpihak pada arus utama yang elitis dengan mengabaikan sejarah orang kecil yang mendekonstruksi kekuasaan. Kajiannya tentang transformasi struktural dalam Sejarah Hawai (1810-1830) menemukan bahwa the moment of structural break sengaja diabaikan oleh para sejarawan.Kemudian dia mengusulkan penyusunan sejarah yang terabaikan dalam karyanya The Island of History (1985). Temuan Sahlins itu terjadi dalam sejarah Indonesia. Kathryn Mc Gregor dalam karyanya History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past menegaskan bahwa sejarah Indonesia dikendalikan oleh negara sebagai representasi kekuasaan yang berseragam sehingga terjadi penyeragaman yang ia sebut history in uniform. Sejarah itu isinya cenderung memuat ideologi para pemberani dalam medan peperangan, militer, pejuang sehingga orang-orang yang ditafsirkan di luar arus utama itu dinyatakan tidak berjuang. Selanjutnya, muatan itu dilembagakan kepada masyarakat melalui kurikulum, diorama, museum, rekrutmen jabatan, buku-buku, film, pembentukan lembaga mengikuti aturan militer yang bersifat komando diberi nama Pusat Sejarah dan pembredelan karya sejarah yang berbeda dengan tafsir serbanegara. Sejarah intinya menjadi bagian dari instrumen kekuasaan.
Negara membutuhkan sejarah untuk pengekalan kekuasan sebagaimana para raja dahulu membutuhkan para pujangga untuk mengagungkan kekuasannya melalui historiografi, yaitu babad. Dalam perkembangannya mulai ada tafsir bahwa babad sebagai historiografi tradisional karena sarat mitos, sementara yang membebaskan dari mitos dengan mengusung objektivitas menjadi mitos baru atas nama sejarah kritis sebagaimana yang dirintis oleh Hosein Djajadiningrat, HJ. de Graaf dan TH. Pigeaud. Mitos-mitos baru yang dikekalkan itu dengan legitimasi akademis dan ideologis serempak dengan tindakan represif praktis atas nama negara sebagaimana pandangan Athusserian seolah-olah menjadi kebenaran mutlak tanpa tanding. Negara telah memproduksi dan mereproduksi kebenaran itu melalui penguatan kesadaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui politik sejarah nasional.
Negara sejatinya berkepentingan terhadap beragam peristiwa dan melakukan klaim kebenaran terhadap salah satu perisitiwa terpilih, tak terkecuali dalam penulisan sejarah nasional Indonesia. Arus utamanya adalah ideologi nation-state yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Klaim itu dilembagakan menjadi ritual rutin. Sementara itu, pertanggungjawaban akademis terhadap pilihan negara dikondisikan tak terbantahkan sehingga menjadi tafsir serbanegara. Menurut saya, pilihan peristiwa oleh negara itu menjadi kecelakaan sejarah karena peristiwa sebagai konstruksi sosial akan selalu berubah, pembiaran terhadap subjektivitas tanpa kendali dengan mereduksi kontribusi peristiwa kepada negara. Sejarah nasional Indonesia cenderung merepresentasikan konstruksi politik zero sum game, yaitu memperkuat yang terpilih dan mereduksi yang tidak terpilih demi terciptanya sebuah harmonis. Konstruksi itu menjadikan relasi nasional dengan Islam, menjadi reduksionis dengan dominasi pada aspek nation state (Bustami, 2011). Pilihan peristiwa selama ini yang dilembagakan praktis cenderung berkaitan dengan selera penguasa.
Tema-tema nasionalis dengan meminimalisasi peran Islam yang cenderung mengarah pada stigma peyoratif dan kultus individu menguat pada masa Soekarno, sedangkan militer dan Islam reduksionis menjadi ekstrem kanan, menjadi arus utama dalam masa Orde Baru. Fase tahun 1990-an relatif menjadi fase bulan madu Islam dengan negara.Kemesraan cepat berlalu pada fase 2000-an dengan stigma peyoratif pencitraan Islam identik dengan radikalisme dan terorisme.
Penguasaan masyarakat oleh negara melalui pelembagaan narasi-narasi agung berterima sehingga secara sadar rakyat menerimanya dengan ikhlas. Kekuasaan kasat mata itu dinyatakan sebagai hegemoni negara. Politik sejarah nasional dijadikan ritual rutin oleh negara. Dalam kaitan ini, Turner menyatakan bahwa institusi masyarakat mengalami krisis. Maka untuk membangkitkan semangat dibutuhkan ritual. Dengan ritual itu, anggota masyarakat yang berada dalam dunia liminal antara ada dan tiada bisa memasuki dunia komunitas yang normal dan gemilang. Dalam ritual itu, konsepsi yang abstrak menjadi nyata adanya dan menjadi wilayah tersentuh dan wilayah mungkin.
Sebenarnya relasi negara dan politik sejarah nasional men­jadi wacana yang mencerahkan. Dalam men­capai persatuan dan men­jaga kesatuan iden­ti­tas kebangsaan itu, menun­jukkan ritual politik sejarah nasional itu dominan berada pada aras negara untuk kepen­tingan penguatan kebangsaan. Alih-alih untuk memperkuat negara, pro­sesi ritual itu menjadi instrumen politik tebar pesona keberhasilan rezim penguasa.
Peringatan dini Kuntowijoyo (1996) mengenai strategi menanggapi masalah itu adalah pentingnya menulis sejarah Islam dan revolusi Indonesia. Saat ini, senyampang masih ada saksi atau pelaku sejarah yang masih hidup atau mencari para pelaku sejarah yang makin lama makin langka. Jika sudah tiada, maka penelusuran diarahkan ke dokumen. Sementara itu, umat Islam relatif bukan menjadi penyimpan dokumen yang baik. Kalau tidak menulis, maka jangan menyesal kalau suatu kali orang bilang, “Ternyata umat Islam tidak punya andil secuwil pun.”
Tulisan tentang sejarah mempunyai nilai strategis yang tak terhingga. Tanpa sejarah kita tidak dapat mengklaim pernah berbuat sesuatu untuk Indonesia. Cicero dalam karyanya De Oratore berkata, “History is the witness of times, the torch of truth, the life of memory, the teacher of life, the messenger of antiquity.”

Resolusi jihad
Sejarah Islam dengan sejarah nasional menjadi suatu komponen yang tidak saling menyapa dan terjadi proses peliyanan (othering) (Abdullah, 1987). Proses othering itu merupakan cara mendefinisikan dan memantapkan identitas positif diri sendiri melalui stigmatisasi orang lain.
Resolusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah putusan/kebulatan pen­dapat berupa pemintaan/tuntutan yang ditetapkan oleh rapat musyawarah, sidang atau pernyataan tertulis berisi tuntutan tentang suatu hal. Sementara itu, di dalam Longman Advanced Learner’s Dictionary, resolusi adalah a formal decision or statement agreed on by an official group of people, especially after a votes; (2) the final solution to a problem or difficulity….” Jihad adalah pengerahan seluruh potensi masimal untuk mempertahankan diri, kehormatan, dan negara dari tindakan sewenang-wenang musuh dalam rangka dakwah Islam amar makruf nahi munkar yang dilakukan secara berkesinambungan. Jihad terbagi dua, yaitu jihad akbar (melawan hawa nafsu) dan jihad asghar (perang secara fisik) (ENSI, 1993). Resolusi jihad merupakan pernyataan tertulis yang disepakati oleh wakil-wakil masyarakat yang memuat tuntutan untuk memperjuangkan kemer­dekaan Republik Indonesia sesuai dengan landasan ajaran Islam menegakkan amar makruf nahi munkar yang dilakukan secara berkesinambungan.
Resolusi jihad itu tidak dapat dipisahkan dari serangkaian peristiwa sejarah da­tangnya NICA. Soekarno meminta fatwa kepada KH.Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar NU dan Pemimpin Masyumi mengenai kehadiran NICA yang diboncengi Belanda.Beliau sendiri ahli hadist pemegang ijazah yang diperoleh dari Syekh Mahfudz al-Tirmizi (pemegang sanad ke-23 dari Sahih Bukhari) sewaktu belajar di Mekah (Amiq, 1998).
Kehadiran NICA itu sendiri ditanggapi oleh para kiai dengan dikeluarkannya fatwa KH. Hasyim Asyari (Tebuireng), antara lain: pertama, hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang kafir; kedua, hukumnya bagi yang meninggal dalam peperangan me­lawan NICA serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; ketiga, hukumnya orang yang memecahkan pesrsatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Fatwa itu dinyatakan dalam huruf pegon yang ditindaklanjuti oleh para ulama (Kedaulatan Rakyat, 20 Nopember 1945). Fatwa itu sejatinya dramatis mengingat pada 1936, Muktamar NU di Banjarmasin menyatakan bahwa Indonesia Belanda sebagai dar al-salam (wilayah damai) meskipun berada di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, bukan dar al-harb (wilayah perang) (Wahid,1985). Pemerintahan Belanda maupun Jepang sebelumnya, meskipun bukan Islam, dipatuhi karena memiliki kekuasaan, termasuk kekuatan militer yang sah dan keduanya menyelanggarakan pemerintahan yang tertib dan relatif tidak mencampuri urusan keagamaan. Akan tetapi, begitu kemerdekaan telah diproklamasikan dengan proses yang telah sesuai dengan hukum Islam, maka posisi NU telah berubah. Bagi NU, Belanda dan Jepang bukan lagi pemegang kekuasaan yang sah. Fatwa itu selanjutnya disebarluaskan di Soeara Oemmat Islam pada 12 Oktober 1945 berjudul “Fie Sabielillah” dan harian Merdeka, 12 Oktober 1945 merujuk pada Soeara Oemmat Islam itu memuat berita tersebut bertajuk “NICA Menganiaja Oemmat Islam Indonesia”.
Fatwa itu menjadi rujukan utama dikeluarkannya tuntutan NU kepada Pemerintah Republik supaya mengambil tindakan yang sepadan. Tuntutan itu diformalkan dalam pertemuan ulama se-Jawa-Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Bubutan Surabaya. Menurut penuturan Saifuddin Zuhri yang hadir dalam rapat tersebut menyatakan bahwa Hadratus Syaikh sendiri yang memimpin langsung. Sebelum perumusan naskah resolusi tersebut, Hadratus Syaikh terlebih dulu menyampaikan fatwa berikut dasar-dasar keagamaan yang melandasinya (Zuhri, 1983).
Penyampaian fatwa itu menurut saya adalah sesuai dengan peran dan fungsi yang melekat pada kedudukannya sebagai Rais Akbar Jam’iyyah, pemimpin tertinggi yang sekaligus memiliki otoritas sebagai mufti NU. Tuntutan itu menyatakan tentang resolusi NU memuat tentang keputusan sebagai berikut. Pertama, memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan dan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, supaja memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam. Selanjutnya, resolusi yang dikenal dengan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945 (18 hari sebelum 10 November 1945) dimuat di Kedaulatan Rakyat, 26 Oktober 1945 (Bustami, 2011).
Resolusi Jihad kemudian tersebar luas dikumandangkan oleh Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan dan ketika memberi wejangan kepada para pejuang di Markas Kiai Blauran. Pengaruhnya nampak pada tindakan penyerangan terhadap tank musuh oleh pemuda-pemuda pesantren Tebuireng Jombang sehingga tank dapat dihancurkan meskipun dirinya sendiri hancur (Notosusanto, 1982).
Pengaruh jihad NU mempengaruhi gerakan perjuangan di berbagai daerah. Muktamar Umat Islam Indonesia atau dikenal juga dengan Kongres I Masyumi di Yogyakarta, 7-8 November 1945 mengeluarkan keputusan memberikan penguatan resolusi jihad NU yang di­keluarkan 22 Oktober 1945, Masyumi sebagai partai politik, dan dibentuk barisan (laskar) sabilillah. Kedaulatan Rakyat memuat berita itu bertajuk “60 Miljoen Kaoem Moeslimin Indonesia Siap Berdjihad fi Sabilillah” (9 Nopember 1945) dan berita utama harian Merdeka, 15 Oktober 1845 bertajuk “Resolusi Memperkoeat Barisan Pertahanan Negara Indonesia Poetoesan2 Moe’tamar Islam Indonesia di Djokja”
Penguatan Resolusi Jihad NU dalam keputusan tersebut logis karena Hadratus Syaikh berperan sebagai Rais Syuriyah yang memiliki otoritas fatwa dalam organisasi federasi umat Islam tersebut. Pada Muktamar Umat Islam Sumatera tanggal 6-9 Desember 1945 di Bukit Tinggi menegaskan hukumnya mengusir musuh dari tanah air sebagai fardu ain dan apabila meninggal dunia dihukumi syahid (Merdeka dan Kedaulatan Rakyat, 12 Desember 1945.
Resolusi itu juga mempengaruhi rakyat Kebumen sebagaimana informasi dari Merdeka pada 23 Oktober 1945 dengan judul “Mosi Rakjat Moeslimin Keboemen Berjoeang Soenggoeh2 di Djalan Allah oentoek Mempertahankan Repoeblik Indonesia”. Pe­ngurus Besar Muhammadiyah menyerukan salat hajat untuk mendoakan kemenangan terutama di Surabaya (Kedaulatan Rakyat, 11 Nopember 1945). Pengaruh itu nampak pada pertemuan tiga puluh kiai dipimpin oleh KH. Fadhil dan KH. Amir atas nama Pemerintah Republik Indonesia bagian Agama (Urusan Alim Ulama) di langgar Notobradjan, Yogyakarta menyetujui dan mendukung sepenuhnya isi fatwa KH. Hasyim Asyari dari Pesantren Tebuireng Jombang mengingat fatwa tersebut. Para alim ulama selalu siap sedia berjuang dengan sekuat tenaga untuk membela agama dan kemerdekaan sebagaimana yang dimuat di Kedaulatan Rakyat, 20 Nopember 1945 (Bustami, 2011). Selanjutnya, resolusi tersebut dikuatkan pada forum yang lebih luas, yaitu pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto pada 26-29 Maret 1946.
Resolusi Jihad NU secara realistis memberikan kontribusi nyata demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyatakan NKRI sebagai konsep final. Namun, ke mana materi itu dalam sejarah nasional Indonesia?
Penulis adalah antropolog FIS UM, Wakil Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim, dan Pengurus Besar NU