Oleh Sholahuddin Al-Fatih
Aku tak bisa hidup tanpa Facebook, hidup tanpa Twitter dan dirimu….
Sepenggal bait lagu milik grup band Vierra tersebut paling tidak menggambarkan keadaan generasi muda saat ini. Perkembangan situs jejaring sosial yang kian hari kian marak tampaknya telah mendapatkan tempat tersendiri di hati para generasi muda Indonesia.
Inovasi yang di lakukan oleh para penyedia layanan situs jejaring sosial semakin membuat para generasi muda Indonesia tergila-gila. Mereka yang tak mempunyai akun di situs jejaring sosial akan di juluki kuper alias kurang pergaulan. Setelah Friendster kehilangan membernya, kini giliran Facebook dan Twitter yang mengambil alih kerajaan situs jejaring sosial. Beberapa situs jejaring sosial lainnya juga mulai di perbincangkan di kalangan generasi muda, seperti Hello, Wattpad, Foursquare, hingga Google+.
Sebagai salah satu penyedia jasa situs jejaring sosial yang paling populer saat ini, Facebook memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan fisik dan psikis generasi muda. Salah satu dampak yang paling berpengaruh adalah banyaknya waktu yang tersita di hadapan layar monitor untuk ber-Facebook ria. Menurut David Greenfield, sekitar 6% dari pengguna internet mengalami kecanduan. Di antara situs-situs yang paling sering diakses adalah situs jejaring sosial, seperti Friendster, Facebook, dan juga Twitter. Orang-orang tersebut mengalami gejala yang sama dengan kecanduan obat bius.
Facebook telah menjadi buah bibir di kalangan generasi muda Indonesia. Berdasarkan hasil survey dari sebuah lembaga Internasional, dari sekitar 1 milyar pengguna Facebook, terdapat 17,6 juta pemilik akun yang berasal dari Indonesia dan 360.000 orang di antaranya berumur 13 tahun. Yang lebih mengkhawatirkan, para generasi muda tersebut lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bersama Facebook daripada belajar. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam di laman Facebook hanya untuk sekedar meng-up date status, memberikan komentar atau bahkan memberi jempol. Rata-rata para siswa pengguna Facebook kehilangan waktu antara 1-15 jam waktu belajarnya per minggu untuk bermain Facebook. Jika hal tersebut terjadi, maka para generasi muda seolah-olah tidak memiliki waktu untuk belajar. Padahal, semakin sedikit waktu yang digunakan untuk belajar akan berbanding lurus dengan nilai pelajaran yang akan mereka terima.
Menurut para pakar dari Ohio State University, dari 219 mahasiswa yang digunakan sebagai sampel, terdapat 65% mahasiswa yang setiap hari secara rutin mengakses Facebook minimal satu kali dan menghabiskan setidaknya satu jam di laman tersebut. Yang menarik, 79% dari pengguna Facebook merasa bahwa hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas pekerjaan mereka.
Selain memberikan efek candu, Facebook sebenarnya juga memainkan peran penting dalam menjadikan orang lebih terisolasi atau memicu orang untuk mengisolasikan diri. Meningkatnya pengisolasian diri dapat mengubah cara kerja gen, membingungkan respons kekebalan, level hormon, fungsi urat nadi, dan merusak performa mental. Para pengguna Facebook akhirnya tertarik ke dalam dunia artifisial, yaitu dunia maya yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa bertatap muka secara langsung. Seseorang yang teman-teman utamanya adalah orang asing yang baru ditemui di Facebook akan menemui kesulitan dalam berkomunikasi secara face to face. Seperti yang telah di ungkapkan oleh Sigman dalam Journal of Biologist, perilaku ini dapat meningkatkan resiko kesehatan yang serius, seperti kanker, stroke, penyakit jantung, dan dementia atau pikun.
Selain itu, media sosial seperti Facebook juga dapat mengurangi kemampuan generasi muda dalam memahami bahasa tubuh lawan bicaranya karena memang komunikasi yang terjadi dalam dunia maya tidak disertai dengan kontak langsung yang memungkinkan kedua belah pihak untuk saling bertukar bahasa tubuh. Beberapa bahasa yang tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia juga seringkali di populerkan melalui media sosial, seperti bahasa alay yang beberapa waktu lalu sempat menjadi tren di kalangan remaja. Tidak hanya itu, anak-anak juga terancam mendapatkan kosa kata yang belum semestinya mereka dengar, seperti kata-kata kotor dan sebagainya.
Facebook juga tidak terlepas dari kejahatan dunia maya (cyber crime). Penculikan remaja yang kerap kali berakhir dengan tindakan asusila juga sering terjadi melalui perantara Facebook. Banyak remaja yang merasa ditipu oleh kenalan atau teman baru mereka di Facebook. Facebook juga menjadi ajang penipuan berkedok penjualan smartphone, kamera digital, dan beberapa gadget canggih lainnya yang digemari oleh para generasi muda. Selain itu, Facebook juga sering di jadikan sebagai bisnis prostitusi online, termasuk di dalam kasus ini adalah penjualan anak (human trafficking) di bawah umur.
Menggunakan media sosial seperti Facebook memang tidak dilarang. Banyak orang yang juga memanfaatkan Facebook untuk mencari teman lama mereka. Namun, sifat generasi muda yang cenderung suka mencoba hal-hal baru membuat mereka semakin termotivasi untuk mengeksploitasi apa yang ada di sekitar mereka secara lebih mendalam. Langkah preventif dianggap perlu demi menjaga generasi muda agar tidak terinfeksi oleh virus yang disebarkan oleh Facebook dan beberapa media bertema jejaring sosial lainnya. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana kita harus bisa menjadikan Facebook dan media sosial lainnya sebagai budak kita, bukan malah sebaliknya. Karena dengan begitu, kita bisa mengontrol penggunaan media-media sosial tersebut secara bijaksana dan berimbang sesuai dengan kebutuhan.
Penulis adalah mahasiswa Sastra Jerman. Tulisan ini juara I kategori opini Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2011.