Sekelompok mahasiswa berambut pirang tampak tengah bercanda sembari menikmati jam makan siang di lantai II gedung D8 Fakultas Sastra (FS) UM. Mereka adalah mahasiswa asal negeri Paman Sam yang tergabung dalam program The Critical Language Scholarship (CLS), salah satu program unggulan UM yang berlangsung selama dua bulan (18 Juni s/d 12 Agustus). Pada tahun ketiga ini, jumlah mahasiswa CLS mencapai 29 orang dan hingga kini, UM masih menjadi satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program CLS.
CLS di UM merupakan sebuah program pembelajaran bagi mahasiswa asing asal Amerika Serikat (AS) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Indonesia sekaligus memahami budaya Indonesia. Para mahasiswa CLS adalah mahasiswa prestisius yang memiliki kematangan berpikir dan kecakapan sosial. Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika, antara lain University of California Berkeley, University Colorado, Yale University, American University, Michigan University, dan Arizona State University. Latar belakang keilmuan dan jenjang pendidikan mereka pun beragam, mulai dari S1, S2, hingga S3.
Menurut Direktur CLS Indonesia sekaligus Ketua Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) FS UM, Drs. Gatut Susanto, M.M., M.Pd., program ini berawal dari mandat Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Prof. Dr. Maryaeni untuk menginternasionalkan Jurusan Sastra Indonesia. Setelah melalui proses, hasilnya adalah sebuah proposal pembelajaran bahasa Indonesia yang ditawarkan dan mendapat mendapat respon baik dari American Councils.
Dalam proses pembelajaran, mahasiswa CLS dibagi menjadi tiga level, yakni beginning, intermediate, dan advance dengan total keseluruhan enam kelas. Menurut Bapak Gatut, sistem pembelajaran menggunakan metode komunikatif sehingga mahasiswa bukan belajar tentang bahasa, tetapi mereka menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Sementara itu metode yang digunakan adalah metode celup, sebuah metode yang membuat mahasiswa berinteraksi langsung dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Terkait dengan metode celup ini, para mahasiswa CLS juga telah ditempatkan di sebuah homestay warga sekitar kampus UM.
Tiap homestay hanya ada satu mahasiswa asing. Hal itu sebagai antisipasi agar tidak terjalin komunikasi menggunakan bahasa ibu antarmahasiswa, dalam hal ini bahasa Inggris. Di samping itu, dengan keluarga baru bernotabene orang Indonesia, mereka akan semakin akrab dengan kebiasaan ala keluarga Indonesia.
“Untuk pembelajaran di kelas dilaksanakan setiap Senin sampai Jumat dan pada hari Sabtu mereka diajak touring, antara lain ke Wonosari dan Bromo. Bedanya, kalau tahun lalu singgah ke Jogja juga, tapi tahun ini hanya wilayah Jawa Timur. Selain itu, ada juga kelas ekstra seperti pencak silat, memasak, menari, dan gamelan. Di samping belajar di kelas, mahasiswa CLS  juga dibimbing oleh dua orang mahasiswa tutor, jadi sebagai fasilitator di luar kelas,” papar Feri, salah satu tutor asal Jurusan Sastra Arab.
Berbagai pengalaman unik dirasakan oleh para mahasiswa CLS. Mereka banyak yang mengeluh ketika dihadapkan pada penyesuaian makanan. Di samping itu, para mahasiswa juga belajar tentang sopan santun di Indonesia.
Tahun 2011, Program CLS di BIPA UM menjadi yang terbaik di antara lima belas negara lokasi penyelenggaraan CLS lainnya. Tolok ukur pencapaian prestasi terbaik ini dilihat dari  adanya mahasiswa CLS yang kian mahir dalam berbahasa Indonesia berikut aksennya. Ketika kembali ke kampung halaman mereka, Amerika, yang diukur adalah hasil oral proficiency interview (OPI) test.
Gatut berharap keberadaan CLS ini akan bertahan lama. Tujuannya adalah agar iklim akademik di UM kian meningkat, di samping juga program tersebut dapat menginternasionalkan UM sebagai world class university.
Prof. Peter Suwarno, direktur yang ditugaskan oleh pihak Amerika untuk memimpin program CLS di Indonesia menyampaikan bahwa dengan adanya program ini, hubungan baik antara Indonesia dengan AS diharapkan dapat semakin terjalin erat. Kemudian semakin banyak masyarakat dunia yang tahu dan paham akan budaya Indonesia.Rima