Judul film    : Soegija
Sutradara    : Garin Nugroho
Aktor            : Nirwan Dewanto, dkk.
Produser      : Puskat Pictures Studio Audio Visual            Puskat Yogyakarta
Rilis               : 7 Juni 2012
Peresensi     : Angelia Lionardi

Film Soegija menunjukkan pluralitas yang dimiliki bangsa Indonesia. Indonesia merupakan pelabuhan dari berbagai macam ras dan agama. Hal itu membentuk suatu keunikan tersendiri. Film Soegija mengupas tentang berbagai etnik di tanah Jawa pada masa penjajahan. Etnik tersebut antara lain Jawa, Belanda, Tionghoa, dan Jepang. Saat itu, perbedaan ras menjadi hal yang sangat menonjol karena penguasa sangat meng­anggap rendah warga pribumi dan ber­­buat semena-mena pada me­reka. Hal ini tentu mem­­­pengaruhi pola ke­percayaan masyarakat. Agama yang dibawa oleh para penjajah, dengan mudah menyebar ke tanah Jawa sehingga ba­nyak para pri­bumi mulai meng­anut agama Katolik. Hingga terpilihnya uskup pribumi pertama di nusantara yaitu Uskup Albertus Soegijapranata atau yang disebut juga dengan sebutan Romo Kanjeng.
Film ini mengupas sejarah pergerakan gereja Katolik di Indonesia mulai saat zaman penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Agresi Militer I, masa gencatan senjata dengan perjanjian Linggarjati, hingga masa Agresi Militer II di mana pusat kegiatan gereja di Indonesia yang semula berada di Semarang di­pindahkan ke Yogyakarta. Pergerakan, pergolakan, dan seluk beluk ke­hidupan menggereja pa­da saat itu digambarkan dengan baik lewat peran Uskup Soegijapranata. Uskup pribumi pertama di Indonesia ini dipilih langsung oleh Paus Pius XI untuk memegang tahta di Keuskupan Semarang, Jawa Tengah. Semenjak men­jadi us­kup, Romo Kanjeng gencar melakukan tugas ke­rasulannya dengan cara me­nyuarakan adanya ke­tidakadilan dan ketidakmanusiawian dalam kehidupan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh peperangan yang terus-menerus. Ia juga sering berhubungan dengan para pejuang negara seperti Bung Karno, Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Meskipun Soegija ditahbiskan menjadi uskup sebelum masa Konsili Vatikan II, hidup Romo Kanjeng merupakan bentuk nyata dari pengalaman Ajaran Sosial Gereja dalam menghayati kehidupan Katolik dan bernegara dalam keseharian. Beliau juga mencetuskan bahwa di luar Kristus masih ada keselamatan sehingga ia tidak pernah memaksa warga di sekitarnya untuk menganut iman Katolik. Romo Kanjeng sangat mencintai gereja yang merupakan bagian tubuh Kristus. Terbukti saat tentara Jepang datang untuk menyampaikan niat pasukan Jepang menggunakan gereja sebagai markas pasukan, Romo Kanjeng menentang dan berani melawan pasukan Jepang tersebut dengan berkata, “Tempat ini adalah tempat yang disucikan. Penggal dulu kepala saya, baru kalian boleh menjadikan tempat ini sebagai markas pasukan.”
Romo Kanjeng memahami pluralisme adalah situasi bangsa Indonesia yang tak dapat dipungkiri sehingga ia tidak pernah memihak pihak mana pun. Iman Katolik yang berlandaskan cinta kasih selalu menjiwai Uskup Soegija untuk selalu toleran dan menghargai semua keanekaragaman yang ada. Ia mau menolong dan melayani dengan penuh cinta kasih siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Hal ini tersirat pada adegan Romo Kanjeng menyuruh kepala desa untuk memberi makan terlebih dulu kepada rakyat yang kelaparan daripada memberi makan pada para romo. Selain itu, uskup juga menasihati tokoh perawat bernama Mariyem untuk memperlakukan semua pasien yang dirawatnya dengan cara yang sama. Tak peduli ia adalah seorang penjajah atau pejuang, tak peduli pada ras, dan agama. Romo Kanjeng juga tak segan menyuruh anak buahnya untuk menggunakan gereja sebagai tempat penampungan dan perawatan para rakyat (anak-anak, pemuda, dan lansia) yang tidak memiliki tempat tinggal atau dalam keadaan terluka dan sakit. Untuk mengenang jasa serta teladannya,  nama Soegija juga dipakai di berbagai kota.
Bukan hanya isi film saja yang me­nunjukkan kebersamaan dalam ke­beragaman di Indonesia, tapi di balik layar juga demikian. Meskipun film ini menceritakan sosok tentang seorang Katolik, tapi pemeran utama serta sutradara dalam film ini adalah seorang muslim. Hal ini menarik, karena sudah saatnya bangsa ini memupuk tali persaudaraan dan menjunjung tinggi semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Peresensi adalah mahasiswa
Game Animasi