Oleh Wida Setya Purnama

Ibarat tubuh manusia, bangsa dan negara Indonesia adalah sosok yang nyaris roboh jiwa raganya. Berbagai kasak-kusuk di media cetak maupun media elektronik mengindikasikan bahwa bangsa ini tidak sedang baik-baik saja. Bencana alam silih berganti mencomoti jumlah penduduk di Indonesia. Kasus korupsi dan suap di sana-sini yang tak kunjung kentara titik terangnya. Kebobrokan moralitas yang dapat kita endus lewat berita-berita pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, dan kasus pelecehan seksual lainnya.
Meninjau berbagai fenomena yang semakin menggerus martabat bangsa tersebut, tiba saatnya kita berbenah. Mulai detik ini, sekarang juga. Salah satu cara esensial guna menanggulangi dekadensi moralitas bangsa ini adalah melalui dunia pendidikan. Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo dalam buku Pengantar Pendidikan, bahwa pendidikan memiliki empat fungsi utama. Pertama, pendidikan merupakan proses transformasi budaya. Kedua, pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi. Ketiga, pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara. Keempat, pendidikan merupakan proses menyiapkan tenaga kerja.
Dari poin-poin tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan memang ranah yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan rumit yang dihadapi suatu bangsa. Lalu, pendidikan serupa apa yang diperlukan bangsa kita?
Sebelum menjabarkan pendidikan yang ideal untuk Indonesia, dapat kita tengok keadaan dunia pendidikan yang ada di masyarakat. Sorotan pertama yakni kualitas peserta didik. Di tengah ancaman arus globalisasi, tentu keadaan peserta didik di Indonesia sekarang ini jauh berbeda dengan zaman dahulu. Terlebih peserta didik yang memiliki kisaran usia anak-anak hingga remaja. Mereka seperti tunas jagung yang tumbuh di tepian jalan. Keadaan mereka rentan terhadap berbagai kemajuan dunia, terutama teknologi. Melalui kecanggihan teknologi inilah, kualitas mereka mengalami penurunan.
Sebenarnya teknologi bukanlah hal yang berbahaya. Berada di tangan siapa teknologi itu dipergunakan, di sanalah letak bahaya dan manfaatnya ditentukan. Misalnya, kasus bocornya jawaban UAN melalui pesan singkat. Sudah bukan rahasia lagi, hampir setiap tahun kunci jawaban UAN bocor di sana-sini. Hal tersebut tentu menjadikan peserta didik malas belajar dan mendidik mereka untuk berbuat curang. Akibatnya, nilai yang mereka peroleh di ijazah tidak sepenuhnya mampu menjamin kompetensi mereka sendiri. Inilah letak bahayanya.
Sayangnya, kecurangan seperti ini nampaknya sudah menjadi lingkaran setan di dunia pendidikan kita. Siswa sekolah pada umumnya lebih suka bahu-membahu ketika ujian ketimbang saling membantu dalam proses belajar mereka.
Selain peserta didik, komponen lain yang ikut andil dalam dunia pendidikan adalah pendidik. Yang dimaksud dengan pendidik  dalam konteks ini adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (Tirtarahardja, 2005:54).
Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas mendidik bukan hanya diemban oleh guru atau dosen, melainkan juga anggota keluarga dan masyarakat. Sebab, proses pendidikan sebenarnya dapat terjadi di mana dan kapan saja. Hanya saja, guru maupun dosen adalah pengampu peserta didik di ranah pendidikan formal. Untuk itu kualitas guru dan dosen harus terus-menerus ditingkatkan guna memacu kualitas murid mereka di sekolah.
Selain dua aspek di atas, kurikulum juga memegang peranan penting, khususnya dalam pendidikan formal. Melalui kurikulum, kegiatan pembelajaran diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam aturan kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), penanda ketercapaian atau lebih dikenal dengan istilah indikator sepenuhnya diserahkan kepada guru dan satuan pendidikan masing-masing. Program tahunan, program semester, silabus, hingga rancangan pelaksanaan pembelajaran diserahkan sepenuhnya kepada satuan pendidikan. Hal ini menuai sisi positif dan negatif, untung bagi guru dan sekolah-sekolah yang kreatif, tapi petaka bagi guru dan sekolah-sekolah yang malas.
Pada dasarnya, keberadaan aspek-apek dalam dunia pendidikan dapat ditata sebaik mungkin. Keberadaan peserta didik, pendidik, dan kurikulum bisa dibentuk melalui sistem yang benar. Sistem yang benar adalah sistem yang sesuai dengan komponen-komponen penggeraknya dan menggunakan ideologi yang jelas. Untuk menetapkan sistem pendidikan yang sesuai bagi suatu bangsa, kita tidak perlu mengadopsi atau pun mengadaptasi sistem pendidikan negara lain. Sebab, kita memiliki ideologi sendiri yang dirajut oleh para petinggi bangsa yang jauh lebih dulu paham seluk-beluk bangsa Indonesia, yakni ideologi Pancasila.
Pancasila mampu menangkup semua aspek permasalahan bangsa. Pancasila pun layak diadopsi berbagai bidang penyusun kesejahteraan bangsa, utamanya pendidikan. Menurut pernyataan Sutardji Calzoum Bachri, Pancasila adalah puisi yang maha indah yang disusun dengan tidak sembarangan.
Pernyataan ini didukung oleh paparan I Gde Samba, salah seorang filsuf asal Bali, dalam bukunya yang berjudul Pencarian ke dalam Diri, yakni Pancasila yang dirumuskan oleh Bung Karno bersama pendiri-pendiri lain bangsa ini digali dari khazanah dan nilai luhur leluhur bangsanya sendiri. Sebuah budaya yang menghargai nilai kebenaran, kejujuran, kesehatan, kebersihan, penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Sebuah kebudayaan yang mengakui robhinedo (pluralisme). Dari paparan dua tokoh besar tesebut jelas bahwa dijadikannya Pancasila sebagai dasar ideologi dalam sistem pendidikan merupakan pemikiran yang tepat.
Pendidikan berbasis Pancasila dapat diwujudkan di mana pun kita berada. Pendidikan tersebut tidak hanya menitikberatkan pada aspek kognitif saja, melainkan juga sisi lain dalam diri peserta didik, seperti sikap, moral, dan perilaku sosialnya. Tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, telah sejak lama mengaplikasikan Pancasila dalam bidang pendidikan. Semboyan pendidikannya pun tetap terjaga kontekstualitasnya, yakni Ing ngarsa sun tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah-tengah memberi semangat, di belakang memberdayakan).
Ing ngarsa sun tuladha memiliki tafsiran yang luas. Dapat diinterpretasikan bahwa dalam fase tersebut pendidik hendaknya menjadi contoh bagi peserta didik. Kegiatan mendidik lebih dalam dari kegiatan mengajar. Jika mengajar hanya bertumpu pada proses transfer ilmu, mendidik tentu lebih besar maknanya dari itu. Hal ini pernah diungkapkan secara tersirat oleh Maharsi Walmiki dan Maharsi Wiyasa dalam kisah Mahabarata dan Ramayana yang ditelaah oleh I Gde Samba, bahwa orang tidak dapat mendidik apa yang dia mau, orang tidak dapat mendidik apa yang dia tahu, orang hanya dapat mendidik apa adanya dia. Jika dikaitkan dengan semboyan Ki Hajar Dewantara, sudah barang tentu ajaran kedua Maharsi di atas telah lama disisipkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam ranah pendidikan kita. Bahwa dalam mendidik, kita diharapkan tidak hanya menularkan ilmu pengetahuan, namun juga memberi contoh yang baik.
Ing madya mangun karsa dapat diartikan ketika peserta didik berada di taraf pemahaman madya yakni usia remaja atau dewasa tugas pendidik tidak lagi mendikte melainkan memberi bimbingan dan bombongan bagi mereka untuk terus mau bermimpi dan berusaha mengejar mimpi tersebut. Untuk terus menumbuhkan kemauan mereka dalam membangun bangsa dan menyejahterakan hidup mereka melalui usaha keras dan semangat yang membara.
Tut wuri handayani. Ketika peserta didik telah mampu menguasai apa yang mereka pelajari, mereka pun siap diberdayakan. Poin ketiga tersebut merupakan suatu pencapaian sekaligus tujuan dari poin satu dan dua. Dalam taraf terakhir ini peserta didik dituntut untuk mampu mengaplikasikan apa yang telah mereka dapat dalam proses pendidikan. Mereka harus bisa menjadi pribadi yang bermanfaat bagi kehidupan. Seperti halnya yang diungkapkan Sri Sultan Hamengku Buwana X, bahwa Rahayuning bawana astabrata waskitaning manungsa. Ungkapan ini mengandung arti bahwa kesejahteraan bumi bergantung pada manusianya. Jika manusia di dalam bumi berkualitas maka bumi akan aman dan sentosa. Dan untuk meningkatkan kualitas manusia, pendidikan merupakan alat sekaligus cara yang mampu merealisasikannya.
Metode pengajaran Ki Hajar Dewantara di atas merupakan metode asli buah pikir tokoh Indonesia yang sudah mengusung nilai-nilai luhur Pancasila. Tergambar jelas seperti apa seharusnya seorang pendidik dan peserta didik harus melakukan proses pendidikan. Aktualisasi Pancasila akan lebih baik jika didasarkan pada kesadaran bersama. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Kaelan, M. S. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Pancasila, ia menyebutkan bahwa aktualisasi Pancasila selain berwujud objektif (dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan seperti pendidikan, ekonomi, hukum, politik, dan lain-lain), dapat juga berwujud subjektif, yakni dipahami dan dijalankan oleh setiap individu dalam sebuah negara.
Jika dua wujud aktualisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka segala bidang kehidupan bangsa Indonesia ini akan dapat berjalan selaras meskipun bangsa ini tersusun dari mozaik-mozaik budaya, suku, dan agama yang berbeda-beda.
Penulis adalah mahasiswa
Sastra Indonesia