Oleh Nur Atikah

Belum lama ini, tepatnya pada 26 Juli 2012, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti)  mengunggah di website-nya, sayembara karya ilmiah bertema Mengapa Umat Islam Tidak Lagi Memiliki Inovasi di Bidang Sains? yang diadakan oleh al-Markaz al-‘Aly li Al-Quran al-Karim wa ‘Ulumihi (Pusat Kajian Al-Quran dan Ilmu Al-Quran) Internasional yang berpusat di Kairo Mesir.
Dalam lampiran surat elektronik tersebut, dikemukakan beberapa pernyataan provokatif yang saya yakini akan membangkitkan adrenalin setiap akademisi Muslim yang memiliki komitmen kuat dan gairah keislaman besar terhadap agamanya. Di antara pernyataan-pernyataan provokatif tersebut adalah sebagai berikut.
Di antara tantangan besar yang ditujukan kepada para ilmuwan dan intelektual muslim, terutama yang mendalami dan memahami kemukjizatan sains dalam Al-Quran adalah bahwa para ilmuwan Barat bertanya dengan penuh sinis, “Wahai para ilmuwan Muslim yang memahami Al-Quran, masih adakah fenomena sains dalam Al-Quran yang masih belum diungkap ilmuwan Barat? Apa yang masih kalian miliki dari kandungan Al-Quran, yang layak dimasukkan untuk memperkaya riset sains modern, apapun bidangnya? Ataukah, para ilmuwan Muslim ini hanya akan terus mengekor pada peradaban dan penemuan-penemuan kami di Barat?”
“Lebih menggelikan lagi, setiap kali ilmuwan Barat menemukan fenomena baru atau teori baru di bidang sains, kalian akan berteriak ramai-ramai bahwa fenomena  dan teori tersebut sudah ada dalam Al-Quran dan itu sekaligus mengukuhkan kemukjizatan Al-Quran? Karena itu, wahai ilmuwan Muslim, apa yang masih kalian miliki dari penjelasan Al-Quran tentang sains yang belum diungkap ilmuwan Barat? Atau, kalian akan tetap diam seribu bahasa sebagai bukti bahwa para ilmuwan Muslim itu sangat lemah dan jauh tertinggal?”
Suka atau tidak suka, tersinggung ataupun tidak, secara jujur dan obyektif kita harus akui bahwa pernyataan-pernyataan provokatif di atas seolah menelanjangi dan menggugah kita semua: betapa tertinggal dan terpuruknya dunia Islam di bidang sains dan teknologi. Lebih ironis lagi, dunia Islam lebih sering mengklaim inovasi ilmiah yang dihasilkan dunia Barat sebagai fenomena sains yang sesungguhnya telah diisyaratkan sebelumnya dalam Al-Quran ketimbang mencetuskan dan menemukannya. Untuk membuktikan hal ini, saya akan mengajukan beberapa contoh.
Hingga abad ke-19 M, para ilmuwan mengamini temuan John Dalton asal Inggris bahwa setiap materi terdiri atas atom yang tidak lagi dapat dibagi-bagi. Tiap-tiap unsur terdiri atas atom-atom dengan sifat dan massa identik, serta senyawa terbentuk jika atom dari berbagai unsur itu bergabung dalam komposisi yang tetap.  Namun, ternyata pada awal 20 M terbukti secara akademis bahwa atom bukanlah partikel terkecil, karena ia masih dapat dibagi menjadi proton, neutron, dan elektron. Berkat temuan itu pula, manusia mampu menciptakan bom atom dan bom hidrogen dengan memanfaatkan reaksi berantai dari partikel-partikel tersebut.
Merespon temuan sains modern di atas, para ilmuwan Muslim kemudian mengklaim bahwa hal itu sesungguhnya telah diisyaratkan oleh Al-Quran puluhan abad sebelumnya: “Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar atom di bumi ataupun di langit: tidak yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semuanya tercatat dalam kitab yang nyata (yakni Lauh Mahfudz)” (Q.S. Yunus: 61).
Klaim serupa dari ilmuwan Muslim yang mendalami kemukjizatan Al-Quran terhadap temuan sains modern yang dihasilkan dunia Barat, yang sekaligus mempertegas ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat dalam hal inovasi ilmiah, adalah dalam persoalan tipisnya kadar oksigen di tempat ketinggian.
Sejak kemajuan pesat yang dicapai dunia kedirgantaraan Barat terungkap bahwa oksigen semakin ber­kurang dan menipis di tempat ketinggian. Akibatnya, para pe­numpang pesawat yang terbang sangat tinggi seringkali me­­rasa sesak nafas, di­iringi dengan tekanan berat di dada seolah-olah ter­cekik. Sebagai ant­isipasi, awak pe­sawat selalu mem­­persiap­kan oksigen buatan untuk meng­anti­sipasi ancaman tersebut, khu­sus­nya pada saat pesawat ter­bang di atas ke­tinggian 35 ribu kaki.
Realita ini be­lum diketahui se­belum­nya, karena orang meng­anggap bahwa udara tersedia sampai ke planet-planet dan bintang-bintang yang ada di langit.
Menanggapi temuan ilmiah tersebut, para ilmuwan Muslim kemudian mengklaim bahwa hal itu sesungguhnya telah diisyaratkan oleh Al-Quran sejak 14 abad silam:  “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam. (Sebaliknya) barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit” (Q.S. al-An’am: 125).
Setelah dua contoh di atas, penulis masih ingin memberikan satu contoh lagi dari kemungkinan puluhan bahkan ratusan contoh lain, pengekoran para ilmuwan Muslim yang menekuni kemukjizatan Al-Quran terhadap temuan sains modern yang diperoleh para sarjana Barat.
Sejak lebih dari seabad yang lalu, tepatnya mulai tahun 1884 M, di Inggris secara resmi diberlakukan metode identifikasi diri setiap warganya melalui sidik jari tangan. Lambat laun, metode pengambilan sidik jari ini diakui akurasinya sehingga kini diberlakukan di seluruh dunia. Sebab, kulit jari-jemari itu ditutupi dengan beragam garis-garis halus yang tidak akan berubah seumur hidup. Keunikan lain dari sidik jari tangan ini adalah, jika organ tubuh manusia itu terkadang mirip bahkan sama satu dengan lainnya, maka sidik jari manusia dipastikan tidak ada yang mirip apalagi identik.
Menyikapi temuan ilmiah perihal kekhasan sidik jari tangan manusia di atas, para ilmuwan Muslim yang mendalami kemukjizatan Al-Quran kembali mengklaim bahwa fenomena ilmiah tersebut sesungguhnya telah diisyaratkan oleh Al-Quran jauh sebelumnya: “Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mampu mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Ya, bahkan Kami mampu menyusun (kembali) ujung jari-jarinya dengan sempurna” (Q.S. al-Bayyinah: 3-4).
Sebagai Muslim yang mengimani Al-Quran sebagai manhaj al-hayah (jalan hidup), tentu kita bangga bahwa kitab suci yang kita imani itu terbukti sahih dan sejalan dengan temuan sains modern. Bahkan, kita berani mengatakan bahwa Al-Quran sesungguhnya mendahului sains modern itu. Hal itu sekaligus semakin mempertegas kebenaran Al-Quran sebagai wahyu otentik yang berasal dari Allah SWT, sebagaimana dinyatakan oleh-Nya berikut ini: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di seluruh wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fushilat: 53).
Akan tetapi, kita semua memiliki penyesalan yang teramat besar hingga hampir-hampir kita tidak dapat memaafkan diri kita sendiri, bahwa kita selalu dalam posisi tertinggal dan mengekor pada pencapaian ilmiah yang dihasilkan oleh peradaban lain di luar Islam, khususnya peradaban Barat Kristen. Hal itu sekali lagi sungguh memprihatinkan, mengingat kita semua—kaum Muslimin—mempunyai modal ilmiah yang tak ternilai harganya, yakni Al-Quran: sesuatu yang tidak dimiliki oleh peradaban lain selain Islam.
Lebih ironis lagi, generasi awal kita sesungguhnya telah memberikan keteladanan sekaligus kebanggaan kepada kita semua. Mereka adalah pioner kemajuan sains yang menerangi dunia di tengah kegelapan Abad Pertengahan yang tragis dan memilukan.
Siapa yang tidak kenal dan memungkiri kepakaran Al-Kha­warizmi, mate­mati­kawan Muslim pe­nemu Teori Aljabar di abad 9 M? Siapa yang meragukan kom­petensi Jabir bin Hayyan, kimia­wan Muslim yang mem­elopori pem­buatan se­nyawa kimia di abad 8 M? Siapa pula yang me­nyangsikan kepakaran Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang di­juluki Bapak Ke­dokteran Modern, di mana karya utama kedua (yakni al-Qanun fi at-Tibb dan al-Kulliyat fi at-Tibb) menjadi referensi utama tak tergantikan selama berabad-abad dalam praktik pengajaran ilmu kedokteran di universitas-universitas Eropa?
Yang perlu kita catat untuk kemudian kita teladani adalah fakta bahwa mereka bukan hanya saintis an sich, tetapi mereka adalah ulama yang menekuni secara intensif kalam Allah, yakni Al-Quran Al-Karim. Al-Quran adalah inspirasi dari inovasi sains mereka! Al-Quran merupakan obyek material pokok dari penelitian mereka dan yang lebih penting lagi, mereka adalah pencetus serta penemu teori ilmiah, bukan sebaliknya, pengekor dari teori ilmiah yang ditemukan orang lain untuk kemudian mengklaim dan mengakuinya!
Marilah kita baca Al-Quran! Namun pembacaan terhadap Al-Quran ini seyogyanya tidak sebatas pada diktum literal-harfiahnya semata, tetapi lebih dari itu pembacaan filosofis yang cerdas untuk mengeksplorasi isi kandungannya yang banyak menyiratkan rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang akan mendatangkan manfaat besar untuk kehidupan umat manusia.
Kita harus naik kembali ke panggung sejarah sebagai pemimpin peradaban, setelah sekian lama terpuruk di balik punggung sejarah. Karena betapapun kita ditakdirkan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik yang pernah dihadirkan untuk seluruh umat manusia.
Penulis adalah dosen Matematika dan peminat kajian Islam kontemporer