Indonesia semakin padat dengan penduduk mayoritas perempuan. Pemimpin-pemimpin perempuan pun semakin banyak bermunculan di negeri merah putih sehingga muncullah ide untuk merealisasikan talkshow keperempuanan terkait dengan peranan mereka terhadap bangsa dan negara. Di samping itu, beragam konflik horizontal kian menjamur. Tak ayal, aktivis kampus yang notabene BEM pun turun tangan dengan menggalakkan dialog kebangsaan.

Wanita, kenali bonus demografi
Ahad (25/11), lebih dari dua ratus peserta turut hadir dalam talkshow yang berlangsung di Aula A3 UM. Mengusung tema Bonus Demografi dan Peran Intelektual Wanita Indonesia, 25 panitia dari BEM sukses tuntaskan materi dalam even itu dengan menghadirkan dua Kartini sebagai pemateri. Mereka adalah Hj. Khofifah Indar Parawansa dan Dr. Muslihatin, M.Ag.
Bonus demografi merupakan sebuah kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif negara sangat besar. Jika bisa dimanfaatkan, negara akan maju.Sebaliknya, jika tidak disikapi dengan baik, justru menjadi boomerang. Menurut Khofifah, untuk mencapai tujuan bangsa, dibutuhkan: pertama, sistem konstitusi komprehensif dan demokratis; kedua, kepemimpinan yang independen dan kuat; ketiga, masyarakat kondusif dan kualitatif; dan keempat, sinergi yang baik. “Jadilah perempuan cerdas untuk dirimu, orang lain, dan bangsamu,” tandasnya.
“Ada tiga syarat tercapainya bonus demografi. Pertama adalah suplai tenaga kerja produktif harus diimbangi dengan lapangan kerja. Kedua, penurunan fertilisasi. Ketiga, investasi tabungan rumah tangga untuk kegiatan produktif,” ungkap perempuan kelahiran Surabaya tersebut. Selanjutnya, Muslihati menambahkan bahwa “perempuan haruslah mendidik dirinya sendiri, mendidik orang lain, dan saling mendidik.” Dalam hal ini, Wapres UM, Arvita angkat bicara, “Kita sebagai seorang perempuan tidak hanya melulu terbelakang karena kita harus diberi kesempatan untuk mengeksistensikan diri. Mahasiswa adalah agent of change. Untuk melakukan perubahan dapat dimula dari diri kita sendiri. Setidaknya kita harus bisa melihat peluang.”

Pancasilais demi revitalisasi bangsa
Kamis, (29/11),  Aula A3 UM kembali menjadi lokasi sebuah even yang didalangi oleh BEM UM. Kali ini, mereka mengusung Wakil Ketua DPR RI, Drs. Priyo Budi Santoso beserta dosen Hukum dan Kewarganegaraan, A. Rosyid Al Athok sebagai pemateri dalam Dialog Kebangsaan. Kedua pemateri itu angkat bicara pada dialog bertajuk Revitalisasi Ideologi Bangsa sebagai Solusi Konflik Horizontal di Indonesia yang berlangsung selama tak kurang dari empat jam.
Dalam sambutannya, ketua pelaksana, Bonadi mengungkapkan bahwa adanya acara itu adalah untuk mendiskusikan revitalisasi bangsa dan solusi konflik horizontal, serta kaitannya dengan mahasiswa sebagai agent of change. “Apakah Pancasila sebagai salah satu pilar kebangsaan dinilai lemah? Tidak, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur. Lucu, jika kita mengatakan seperti itu tanpa pernah kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila.”
Memasuki acara, materi pun dipaparkan oleh Rosyid. “Pada tahun 2012 sejumlah 32 konflik horizontal telah terjadi di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah konflik antarkampung, antarsiswa/mahasiswa, antarsuku, dan antar­pemeluk agama. Ba­nyak hal yang men­jadi akar masalah ter­jadi­nya konflik, mulai dari kecemburuan sosial ekonomi, sentimen ke­agamaan, sentimen politik, terancamnya identitas diri dan ke­lompok, hingga ke­tidak­adilan dalam pe­negakan hukum. Jadi, be­berapa strategi revitalisasi yang dapat diterapkan adalah dengan mengaktualisasikan, mendesakralisasi­kan, dan mengembangkan ke­teladanan dalam mengamalkan Pancasila.”
Usai pemaparan materi oleh Rosyid, muncul sebuah komentar menggelitik. “Pancasila bukan untuk diajarkan kepada mahasiswa, tapi bagaimana kita menjadi contoh untuk berperilaku pancasilais. Percuma kalau kita hanya mengajarkannya dalam materi kuliah tapi tindakan sama saja. Kita inilah, orang-orang tua yang harusnya menjadi contoh bukan hanya memberikan contoh. Misalnya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila di rumah,” terang salah seorang audiens yang juga mantan pengacara sekaligus dosen Hukum UB.”
Berkaitan dengan mahasiswa sebagai agent of change, Waka DPR RI memberi wejangan. “Dunia kampus akan cukup berperan dalam hal ini jika mereka tergerak dan memberikan resonansi positif. Tapi, jika hanya ada apatis maka nasib negara akan mengkhawatirkan. Sebenarnya, saat ini di kenegaraan banyak permasalahan horizontal yang dihadapi, seperti korupsi dan kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Konflik horizontal intern yang seperti ini akibatnya nanti akan lebih menyakitkan daripada peperangan antarnegara, karena secara tidak langsung, masih ada hubungan saudara sebangsa.” Ia menambahkan, “Meskipun kondisi politik seperti ini, percayalah, masih banyak yang berhati putih. Kita jangan menggugat yang tidak perlu pada orang-orang yang berjasa.” Intinya adalah, “Pancasila merupakan nilai dasar yang perlu kita aplikasikan, mengganti Pancasila dengan sistem lain sama saja menginginkan Indonesia pecah.Rima