Oleh Felik Sad Windu

Esensi Hari Raya Natal adalah hari raya peringatan kelahiran Yesus Kristus. Ada banyak perayaan diusahakan untuk menandai hari raya itu. Mulai dengan perayaan yang mewah meriah, sampai dengan perayaan yang sederhana tetapi bermakna. Dewasa ini, ada kecenderungan orang untuk mereduksi perayaan Natal pada tataran lahiriah dengan pesta pora yang mewah meriah dan gegap gempita. Lantas jika ada perayaan Natal yang sederhana dan biasa-biasa saja dipandang bukan perayaan Natal. Atau lebih ekstrimnya, bisa disebut Natal yang tidak membahagiakan! Pertanyaannya, benarkah itu? Apakah benar Natal yang membahagiakan identik dengan perayaan dan pesta pora yang mewah meriah? Hanya itu? Berikut refleksi kami.

Hakikat Natal
Perayaan Natal pada intinya adalah perayaan mengenang kelahiran Yesus Kristus. Seorang anak manusia yang lahir dari rahim Maria 2012 tahun silam dalam konteks saat ini. Kelahiran Yesus Kristus menjadi sebuah kelahiran yang istimewa karena tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan manusia. Mengapa demikian?
Manusia pertama, Adam dan Hawa, setelah berbuat dosa mereka hidup dalam penderitaan. Dosa telah membuat mereka dan keturunan mereka jauh dan bahkan terputus dengan Allah. Padahal Allah sangat mencintai dan mengasihi mereka. Oleh karena kasihlah, Allah memiliki rencana untuk menyelamatkan manusia, supaya manusia bisa kembali kepada-Nya. Hidup bersatu kembali, berbahagia bersama-Nya di taman Eden.
Dalam upaya inilah Allah mengutus para duta-Nya, yaitu para nabi. Tetapi apa yang terjadi? Semua manusia keturunan Adam menolaknya, bahkan membinasakan mereka. Semua nabi tak ada yang mampu menyelamatkan manusia untuk kembali kepada Allah. Lagi-lagi karena Allah sungguh mencintai dan mengasihi manusia, ciptaan-Nya yang paling sempurna, Allah sendiri mengutus anak-Nya ke dunia. Yohanes dalam injilnya menulis, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)
Karena kelahiran Yesus Kristus dalam rangka keselamatan manusia masuk dalam sejarah keselamatan manusia, kelahiran-Nya pun sudah dimeteraikan oleh Allah. Para nabi sudah bernubuat jauh-jauh hari sebelum Yesus Kristus lahir di dunia ini. Adalah Mikha, utusan Allah dari Moresyet, pada zaman Yotam, Ahas dan Hizkia, raja-raja Yehuda yang bernubuat bahwa Mesias akan lahir di kota Betlehem (Mikha 5:1). Dan itu sungguh terjadi! Yesus Kristus lahir di kota Betlehem, kota tempat orang tuanya sedang ikut sensus penduduk pada zaman Kaisar Agustus memerintah.
Singkat kata, kelahiran Yesus Kristus tidak bisa dilepaskan dari sejarah keselamatan manusia. Sejarah cinta dan kasih Allah kepada manusia. Jika kita merayakan Natal, merayakan kelahiran Yesus Kristus, itu berarti kita merayakan karya keselamatan Allah yang diperuntukkan kepada manusia.

Kebahagiaan menurut Aristoteles
Ada banyak definisi dan pemahaman orang perihal kebahagiaan. Ada yang memahami kebahagiaan sebagai suatu hal yang hendak diraih, entah itu prestasi maupun kekayaan, sehingga mereka merasa bahagia jika sudah mampu meraih itu semua. Dan sebaliknya, mereka merasa tidak berbahagia jika belum meraih itu.
Ada juga yang memahami kebahagiaan sebagai apa yang sudah dimiliki, sehingga mereka akan selalu bahagia karena realitasnya mereka tidak pernah tidak memiliki apa-apa. Mereka selalu memiliki sesuatu, meskipun itu sedikit bahkan kecil.
Menurut Aristoteles, seorang filsuf yang tersohor di abad ke-4 SM, kebahagiaan adalah tujuan tertinggi dari semua tindakan manusia. Kebahagiaan memiliki karakter aktif. Artinya kebahagiaan itu bukan merupakan keadaan yang tetap dan berhenti, misalnya saya bahagia karena memiliki kekayaan. Kebahagiaan tidak terletak pada kekayaan yang tetap dan berhenti sebagai kekayaan. Namun, kebahagiaan adalah suatu aktivitas yang bergerak.  Pertanyaannya aktivitas apakah itu? Bukankah dalam hidup manusia ada banyak aktivitas?
Menurut Aristoteles, aktivitas hidup kontemplatiflah yang akan membawa manusia pada kebahagiaan. Hidup kontemplatif berarti hidup pada tataran perenungan yang mendalam mengenai hidup manusia dengan mata jiwanya. Jiwa yang ada di sini adalah jiwa yang berakal budi. Maka, kebahagiaan yang digagas Aristoteles sangat rasionalitas, artinya dipikirkan dalam lingkup rasio atau akal budi.  Oleh karena itu, belajar menjadi elemen yang penting di sini.
Dengan belajar orang akan menemukan pengertian-pengertian yang benar tentang hidupnya.  Dengan belajar, orang sekaligus akan menjabarkan keutamaan-keutamaan yang akan dengan sendirinya membawa manusia kepada kebijaksanaan. Hanya orang bijaksanalah yang dapat merengkuh kebahagiaan.
Dalam buku etika Aristoteles, Ethica Nicomachea bab sepuluh, Aristoteles juga menjelaskan bahwa kebahagiaan akan penuh jika manusia mau terlibat dalam sistem hidup bersama, pada waktu itu disebut sebagai polis. Mengapa demikian? Sebab menurut Aristoteles dalam polis ini setiap manusia akan mengembangkan segala potensi yang ia miliki dan dengan sendirinya akan membagikan kepada orang lain. Orang lain yang memerlukannya pasti akan terpenuhi. Oleh karena itu, setiap orang yang mau terlibat di dalam polis dengan sendirinya akan mendapatkan pemenuhan dirinya.

Menikmati Natal dalam perspektif Aristotelian
Dari uraian di atas, kebahagiaan yang digagas oleh Aristoteles memiliki karakter aktif karena kebahagiaan itu adalah aktivitas hidup kontemplatif. Aktivitas manusia yang mampu menjabarkan setiap keutamaan hidupnya. Yang kedua, kebahagiaan itu akan penuh di dalam hidup bersama. Bukan di dalam kesendiriannya. Oleh karena itu, maka tepatlah jika kita hendak menikmati Natal ini dengan penuh kebahagiaan.
Hal pertama adalah menempatkan Natal sebagai momen untuk menjabarkan setiap keutamaan kita. Keutamaan yang Aristoteles maksudkan adalah keutamaan rasionalitas dan keutamaan moralitas. Dengan rasionalitas dan moralitas, manusia akan menjadi bijaksana. Jika manusia sudah mampu bijaksana, tentunya ia mampu menyelamatkan diri sendiri dan orang lain. Keselamatan hanya bisa direngkuh oleh mereka yang bijaksana!
Ada banyak tindakan yang bisa dilakukan sebagai bentuk penjabaran dari tindakan yang rasional dan sungguh bermoral. Salah satunya adalah mengutuk dan menjauhi korupsi. Korupsi adalah salah satu tindakan nyata yang sungguh tidak rasional dan tidak bermoral. Mengutuk dan menjauhi perang. Perang, apa pun bentuknya, bagaimana pun caranya, dan apa pun tujuannya adalah terkutuk. Itu adalah tindakan yang sangat tidak rasional dan tidak bermoral.
Hal kedua yang bisa membantu kita menikmati Natal dengan penuh kebahagiaan adalah dengan berbagi.  Dengan berbagi tentunya ada orang lain yang bisa terpenuhi apa yang menjadi kekurangannya. Inilah yang dimaksudkan Aristoteles bahwa kebahagiaan penuh hanya akan terjadi dalam hidup bersama dan bukan dalam kesendirian. Karena berbagi hanya akan mungkin terjadi dalam konteks hidup bersama.
Dalam konteks Indonesia, berbagi amatlah mendesak untuk segera dilakukan. Lihat, ada berapa banyak manusia yang saat ini sedang menderita. Baik itu menderita secara fisik maupun psikis. Media massa tak pernah henti mengabarkan, tetapi perubahan pun tak segera terwujud. Momen Natal seharusnya mampu membawa kita kepada sebuah tindakan nyata, yaitu berbagi. Kebahagiaan sungguh akan mewarnai Natal kita saat ini kalau kita mampu mewujudkannya.

Penutup
Natal pertama-tama adalah peristiwa kasih, peristiwa karya keselamatan yang dilakukan oleh Allah untuk kita umat manusia. Oleh karena cinta dan kasih Allah yang besar kepada manusia, Allah turun ke dunia melalui diri putera-Nya, Yesus Kristus. Peristiwa ini memang layak dan pantas untuk dirayakan. Apa pun dan bagaimana pun situasi kita saat ini, Natal tetap bisa dirayakan dengan membahagiakan.
Dalam perspektif Aristotelian, Natal bisa sungguh membahagiakan jika kita mampu menjadikan Natal sebagai momen untuk penjabaran rasionalitas dan moralitas kita melalui tindakan yang bijak. Kita juga harus menjadikan Natal sebagai momen untuk berbagi. Dengan berbagi kita bisa ikut bersama dengan Allah menyelamatkan sesama kita yang menderita. Selamat Natal!
Penulis adalah dosen
Pendidikan Agama Katolik