Kamis (30/01), gedung Sasana Budaya UM menjadi lokasi sebuah acara bergengsi, teater sinema yang disutradarai oleh dosen Sastra Indonesia, Karkono Supadi Putra, S.S., M.A. dengan judul Suara Hati Angraini. Sekitar dua puluh aktor muda yang berasal dari gabungan antara mahasiswa lintas Sastra UM, Teknik UM, dan STIKES Maharani turut menunjukkan bakatnya dalam unjuk akting. Sebelumnya, para aktor tersebut telah menjalani seleksi untuk menentukan peran yang sesuai. Hingga terpilihlah sang penulis naskah, Elyda K. Rara sebagai pemeran utama, Angraini. Antusiasme pengunjung begitu kentara. Tiket yang awalnya berjumlah lima ratus hanya tersisa tiga puluh buah.
Bagi Elyda, pengalaman membuat naskah tersebut merupakan sebuah tantangan menulis naskah sejarah untuk mendalami salah satu bagian cerita yang selama ini tidak sering menjadi fokus, tetapi sangat menarik untuk diceritakan. Karena berasal dari kisah sejarah, interpretasi tidak bisa sembarangan. Harus riset ke banyak sumber, termasuk dari hasil penelitian dosen-dosen Sastra Indonesia tentang Babad Kediri.
Kisah bermula dengan peperangan yang melibatkan kerajaan Kediri dan Jenggala. Melalui pernikahan antara putra mahkota Kediri, Panji Inukertapati dengan putri dari Jenggala, Dewi Sekartaji-lah kedua kerajaan tersebut dapat bersatu. Sayangnya, seiring dengan perjalanan waktu, muncul Angraini, seorang putri patih kerajaan yang telah membuat sang putra mahkota jatuh hati. Ketika cinta telah bersemi, Panji mengabaikan kepentingan kerajaan hingga akhirnya dia lebih memilih menikahi Angraini daripada menyatukan kedua kerajaan melalui pernikahannya dengan Dewi Sekartaji. Di sisi lain, Angraini  tak mampu menolak bisikan hatinya hingga muncullah konflik, salah satunya adalah dari ayahanda Panji, Lembu Amiluhur. Kisah berakhir tragis, Angraini bunuh diri lantaran  merasa menjadi duri dalam daging bagi bersatunya kerajaan Kediri dan Jenggala.
Rentetan kisah disajikan dengan apik oleh para aktor. Dalam rentang waktu dua puluh menit, penonton dimanjakan oleh aksi panggung Angraini, dkk. Tidak berhenti sampai di situ, kisah pun berlanjut, adegan demi adegan yang dikemas dalam nuansa sinema dokumenter yang berlangsung selama tujuh puluh menit.
“Pada saat syuting, semua pemain ikut ke sana, lokasinya di Candi Cetho, Solo,” terang Ulinnuha, salah satu aktor. “Alasan pemilihan Candi Cetho adalah karena area luas, bangunan bergaya kuno, kemudian ada juga hutan-hutan kecil. Dulu, candi ini juga sudah pernah dipakai syuting,” tambah Elyda.
“Saya agak kecewa sama life teaternya. Pemainnya kurang rasa, emosi kurang, dan suaranya juga kurang keras. Tapi, amazing. Tempat syutingnya bagus di Solo. Isi naskahnya juga bagus. Menurut saya, inti cerita terletak pada dilema antara kepentingan kerajaan dan kepentingan pribadi. Akhirnya, egoisme Panji-lah yang menang,” papar Wahyu, mahasiswa Sastra Arab yang turut menjadi penonton.
“Kami ingin dengan dibuatnya pertunjukkan kemarin akan lebih mengenalkan lagi salah satu kisah klasik asli Indonesia yang berasal dari Babad Kediri. Bagaimana pun juga, kita kaya sastra lisan dan dari sastra lisan itu menarik jika dibuat dalam bentuk teater atau sinema. Dengan begitu, semoga makin tumbuh kecintaan terhadap budaya sendiri.Rima