Gedung G6 hari itu tampak lengang. Hanya terdapat beberapa mahasiswa yang terlihat duduk-duduk di lobi depan. Namun, suasana tersebut tampak berbanding 180 derajat saat kru mulai memasuki ruangan praktikum boga. Hiruk pikuk dan kesibukan terlihat jelas pada mahasiswa yang tampak berlalu lalang di ruangan yang cukup luas itu. Beberapa mahasiswa sibuk mencuci loyang, memasukkan roti ke dalam pemanggangan, dan memasukkan adonan ke dalam proofing box. Mereka sedang melakukan praktikum Bakery, tepatnya materi membuat roti tawar.
“Ya begini Mbak kalau praktikum. Semua harus selesai dalam satu pertemuan karena ini berhubungan dengan makanan, jadi harus selesai dalam satu kali praktik, ” ujar Ibu Lismi, dosen Tata Boga yang saat itu membimbing S1 Tata Boga 2011 offering A dalam praktikum Bakery. “Tadi praktikum mulai jam 9, Mbak. Berakhirnya kira-kira jam 3 nanti, ” seru Ardila, salah seorang mahasiswa sembari menunggu rotinya dalam proofing box.
Kegiatan praktik pada matakuliah di Jurusan Tata Boga memang tidak hanya memerlukan waktu yang panjang, tetapi  memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada umumnya, pada matakuliah praktik di Tata Boga, setengah dari waktu tatap muka adalah praktikum.
“Untuk praktikum kita biasanya membuat dan beli bahan secara individu. Terkadang bahannya mahal, misalnya saat praktik matakuliah Oriental karena memang bahannya jarang ada di pasaran,” terang Ardila lagi.
Untuk semester ini, ia mendapat empat matakuliah yang memiliki kegiatan praktikum, di antaranya praktik Kontinental, Bakery, Tata Hidang, dan Pengawetan Pangan. Saat disinggung mengenai biaya yang dikeluarkan untuk semua praktikum itu, Ardilla tertegun sebentar dan mulai menghitung perkiraan akumulasi biaya per pertemuan praktikum. “Wah, kalau diakumulasi banyak, Mbak. Untuk praktikum Tata Hidang sendiri saya me­ngeluarkan 250 ribu, untuk praktikum lainnya per pertemuan tergantung masakan dan bahannya, bisa 10-60 ribu.” Ia juga menambahkan bahwa untuk mempersiapkan Gelar Cipta Boga pada tahun depan, tiap mahasiswa disarankan untuk membayar iuran. Akumulasi dari iuran tersebut akan dijadikan modal dalam mengikuti Gelar Cipta Boga yang merupakan gelaran wajib bagi mahasiswa Tata Boga.
“Walaupun banyak pe­ngeluaran untuk tiap prak­tikumnya, saya tidak merasa terbebani karena saya memang sudah niat di Tata Boga. Dari praktik kan saya dapat keterampilan. Jadi di luar nanti bisa buka usaha katering, toko kue, dan lain-lain,” jelas Ardila dengan wajah berbinar.
Setali tiga uang dengan Tata Boga, Jurusan Tata Busana juga mengalami hal yang sama., Kepala Prodi Tata Busana, Ibu Nurul memaparkan bahwa jurusan telah memberikan fasilitas yang lengkap untuk mencukupi kebutuhan mahasiswa. “Sekitar 70% dari kegiatan perkuliahan Tata Busana memang praktik. Bahan-bahan yang sekiranya ada di lab. bisa digunakan bebas oleh mahasiswa. Namun, untuk project, bahan-bahannya mahasiswa menyediakan sendiri.” Ia menambahkan, terkadang ada pula mahasiswa yang membawa mesin jahit portable saat praktikum. Bila Tata Boga memiliki event wajib bertajuk Gelar Cipta Boga, maka di Prodi Tata Busana, terdapat Malang Fashion Moment (MFM). “Untuk kegiatan tersebut, selain biaya sendiri, mahasiswa juga mendapat bantuan dana dari fakultas,” papar Ibu Nurul.
Tak berbeda dengan Prodi Tata Busana dan Tata Boga, Seni Tari, salah satu prodi dari Jurusan Seni dan Desain juga tak lepas dari kuliah praktik. Menurut salah seorang mahasiswa Seni Tari, Putri, biaya pendidikan di Seni Tari yang terbilang mahal setara dengan fasilitas yang didapatkan di prodi itu, seperti ruang latihan, ruang kaca, persewaan kostum gratis, ruang gamelan, dan panggung terbuka. Ia menambahkan, “Pengeluaran per semester kami Rp1.750.000,-. Tapi, itu semua juga belum termasuk biaya saat membuat tarian atau musik tarian yang cukup besar. Kemudian belum lagi biaya repertoar, biaya untuk beli buku rujukan, dan biaya lain untuk praktik.”
Ketika ditanya tentang repertoar, ia menjelaskan, “Repertoar itu kita mengulang lagi semua tarian yang sudah pernah diajarkan. Kita bisa meminta bantuan kepada adik tingkat kita untuk jadi model praktik yang kemudian nantinya akan ditampilkan di gedung Graha Cakrawala UM. Dalam repertoar, kami juga mengundang artis yang benar-benar mempunyai bakat seni tari dan musik. Tahun lalu, kami mengundang Klanting, finalis IMB (Indonesia Mencari bakat-ed.).”
Bagi para mahasiswa Seni Tari, mereka memiliki agenda besar tahunan berupa peringatan hari tari sedunia yang diadakan pada April. Umumnya, dalam perayaan ini mereka membutuhkan seribu penari, tentunya dengan biaya yang juga tidak sedikit. Setiap tahunnya mereka membawakan jenis tarian yang berbeda dan terbuka bagi masyarakat umum yang ingin berpartisipasi menjadi peserta.
Lebih lanjut, Putri kembali berkomentar, “Sebenarnya biaya sebesar itu bagi saya cukup sepadan dengan fasillitas yang didapatkan. Untuk ke depannya, saya berharap ada panggung pertunjukan di dalam ruangan sendiri untuk anak Seni Tari dan Musik”.Ajeng/Rima