Oleh Zulkarnain Nasution

Undang-Undang Dasar 1945 meng­andung makna bahwa pembangunan merupakan suatu usaha menciptakan “Indonesia yang satu”. Ide ini telah tertanam sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Spirit ini tentu saja dapat ditarik ke dalam konteks kekinian dengan menerapkan  Bhinneka Tunggal Ika.
Banyaknya konflik komunal pada akhir-akhir ini terjadi di berbagai tempat melibatkan etnis, agama, dan antarkomunitas telah menjadi fakta sosial penting dalam dekade terakhir ditinjau dari skala manapun intensitas kejadiannya. Konflik yang terjadi merupakan akibat dari proses sosial panjang yang berlangsung dalam masyarakat yang tidak dapat penanganan secara seksama.
Konflik antardaerah, antarsuku, atau gerakan separatisme merupakan ancaman nyata yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan. Konflik yang didasari oleh perbedaan etnis, suku, lokalitas, dan sejarah merupakan aspek dinamis yang memengaruhi tekanan masyarakat.
Masalah pokok ekskalasi konflik yang terjadi secara meluas dan intensif di satu sisi, dan masalah integrasi bangsa yang menjadi kebutuhan utama untuk menanganinya dalam membangun keharmonisan masyarakat sosial dalam perbedaan budaya.
Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak akan lenyap dari sejarah. Selama kita masih hidup, tidak mungkin kita menghapus konflik. Baik konflik interpersonal maupun konflik antarkelompok merupakan konstruksi sejarah manusia. Masalah bisa terjadi apabila konflik tersebut terus berlanjut sehingga melahirkan kekerasan.
Analisis penyebab konflik yang terjadi dalam masyarakat kita disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan totalitas kesatuan nilai kepercayaan. Budaya global ditandai oleh integrasi budaya lokal ke dalam suatu tatanan global. Globalisasi telah meluruhkan kesatuan nilai bersama dengan integrasi budaya lokal ke dalam tatanan global. Akibatnya, nilai-nilai, kearifan lokal, dan pranata sosial lokal termajinalkan dalam kehidupan masyarakat kita.
Kedua, lemahnya kualitas sumber daya manusia masyarakat kita. Persoalan peningkatan kualitas SDM bangsa ini bukan hanya pada tataran peningkatan wawasan, keilmuan, dan keterampilan. Ada hal yang lebih fundamental yang menyangkut  persoalan moral, budi pekerti, dan etika.
Ketiga, kemiskinan berkepanjangan dan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat  yang menyebabkan terjadinya konflik. Friksi-friksi komunal yang terjadi seperti  yang terjadi di Ambon, Poso, dan Kalimantan, salah satunya disebabkan oleh kesenjangan sosial ekonomi masyarakat.
Keempat, lemahnya pijakan konsep multikulturalisme atau perbedaan budaya di Indonesia akibat pengelolaan pluralitas yang kurang konseptual. Tidak jarang, ketidakpahaman mengenai kebudayaan lain menyebabkan munculnya konflik horizontal dan vertikal dalam masyarakat, serta gerakan separatis yang menghalangi pembangunan.
Kelima, munculnya sikap-sikap ke­rapuhan masyarakat terhadap ketahanan sosial budaya bangsa dapat dilihat pada menurunnya sikap kerja sama dan gotong-royong, meluasnya sikap dan gerakan-gerakan yang menunjukkan bahwa masyarakat sedang frustrasi (tidak santun dan kurang menghargai orang dan budaya lain), serta menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elite-elite politik.
Keenam, lemahnya peran media massa, khususnya pemberitaan dalam memberikan edukasi publik untuk meredam munculnya konflik-konflik dalam masyarakat. Pem­beritaan konflik oleh media massa, khususnya media televisi menjadi konsumsi yang menarik dan aktual ketika konflik muncul di masyarakat. Fungsi edukasi publik media massa dalam penyajian berita harus disampaikan juga bagaimana konflik bisa diredam dengan pendekatan dialogis dan persuasif agar penonton televisi memahami penyelesaian konflik itu dan bisa dilakukan dengan musyawarah dialogis.
Konsep keharmonisan hubungan antar­etnik pada masyarakat sosial dimaknai sebagai kondisi kehidupan bersama antarkelompok, antaragama, antaretnik yang dinamis guyub (selaras), rukun (serasi), dan saling seimbang (kebersamaan) dalam kehidupan masyarakat. Ketiga unsur tersebut berlaku secara sinergis dan dinamis karena dalam realitas hubungan sosial tidak ada yang ekstrem-harmonis atau sebaliknya (Hartoyo, 2004).
Keguyuban (keserasian) hubungan merupakan hubungan lahir (nyata), mencakup hubungan langsung secara fisik dan tidak langsung melalui perantara, misalnya gotong royong, interaksi individu, dan kelompok dalam kegiatan-kegiatan hari-hari besar atau nasional, nyambang ke rumah, dan lain-lain.
Kerukunan (keselarasan) merupakan hubungan batin (tidak nyata) yang dapat diukur dari jarak hubungan subjektif. Hubungan antarkelompok atau etnik dikatakan rukun (selaras) apabila pada hubungan batin di antara mereka cenderung ke arah positif (pengurangan jarak hubungan subjektif), contohnya, jangan menimbulkan prasangka sosial (stereotipe etnik) pada kelompok atau etik lain ke arah yang negatif.
Hubungan yang seimbang (saling menguntungkan) adalah hubungan yang secara subjektif dapat terpenuhinya kebutuhan positif pada masing-masing pihak, misalnya masyarakat dapat meningkatkan pendapatan atau ekonomi yang saling menguntungkan dalam berjualan, membuka warung sebagai  profesi atau buruh dalam komunitas tersebut.
Kualitas sember daya manusia perlu ditingkatkan dengan agenda strategi pembangunan. Berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika pemerintah fokus terhadap peningkatan kesejahteraan berbasis ekonomi, kini kualitas sumber daya mansia menjadi pusat perhatian, sebab menjadi fondasi vital perencanaan pembangunan.
Pendekatan asimilasi kebudayaan. Koen­jaraningrat (1990) menunjukan tiga ciri kondisi asimilasi, yakni golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif dalam waktu yang lama, dan kebudayaan khas yang bersinergi menjadi kebudayaan campuran.
Integrasi sosial tumbuh bukan di atas paksaan, melainkan tumbuh dari masyarakat itu sendiri yang sudah berpuluh-puluh tahun dimiliki oleh masyarakat yang disebut dengan kearifan  lokal dan saling berbagi dan kebersamaan masyarakat.
Pendidikan multikultural. Ada empat nilai inti pendidikan multikurtural (Tilaar, 2009), yakni apresiasi terhadap adanya kenyataan pulturalitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap alam atau bumi. Keempat nilai tersebut harus selalu manjadi inti dari pelaksanaan pendidikan.
Penulis adalah pengamat sosial dan dosen Pendidikan Luar Sekolah