Oleh Irvan Lestari

Pada tahun 1978 dalam film Rhoma Irama Berkelana 2, dikisahkan Ir. Rhoma alias Budi (diperankan Rhoma Irama), rela meninggalkan kemapanan keluarganya yang kaya raya karena kecintaannya pada musik. Ia lebih memilih bekerja seadanya daripada harus meneruskan perusahaan keluarga sesuai kehendak orangtuanya, tetapi harus meninggalkan musik.
Ia kemudian  menjadi sopir pribadi dan bertemu Ani (Yati Octavia), anak majikan yang kemudian menjadi kekasihnya. Sebenarnya Ani telah dijodohkan dengan Ir. Rhoma oleh orang tuanya sendiri dan ayahnya tidak setuju Ani bersama Budi.  Namun, Ani bersikeras memilih Budi sebagai pasangan hidupnya. Ani tidak tahu bahwa sebenarnya Budi adalah Ir. Rhoma. Yang ia tahu Budi adalah sopir dan orang yang ia cintai. Padahal orang tua Ani sebenarnya adalah bawahan dari orang tua Budi atau Ir. Rhoma di kantornya. Di akhir cerita terjadilah dialog antara Budi dan Ani. Budi bertanya mengapa Ani tidak memilih Ir. Rhoma? Sang kekasih menjawab bahwa ia tidak gila gelar dan harta, ia mencitai seorang laki-laki karena hatinya.
Secara tersirat dalam film ini tergambar bahwa insinyur ditulis Ir. merupakan gelar kesarjanaan strata satu (S1) yang di masa itu hanya dapat diperoleh oleh orang dari golongan tertentu saja.
Di tahun 1994 seorang Ir. Kasdoelah mengawali karir sebagai sopir sejenak setelah lulus kuliah dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang sangat populer di tahun 1990-an. Sang ayah yang dikenal dengan sebutan Babe sampai bertanya pada anaknya, “Kalau cuman jadi supir ngapain lo sekolah tinggi-tinggi?”
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan memang menggambarkan betapa saat itu seorang sarjana tidak serta-merta mudah memperoleh pekerjaan. Zaman telah berubah, tingkat persaingan semakin kompetitif. Namun, diakhir cerita di sinetron Si Doel Anak Sekolahan 3, dengan ketabahan dan kesungguhan menghadapi hidup, akhirnya Si Doel memperoleh kesuksesan. Tidak hanya memperoleh pekerjaan, tetapi ia juga dikirim ke luar negeri untuk belajar oleh sebuah perusahaan yang menerimanya bekerja.
Lalu bagaimana keadaan di tahun 2012 ini? Orang sepakat menilai persaingan kerja sangatlah ketat. Masyarakat memandang tingkat pendidikan dan gelar akademik sangat menentukan kesuksesan seseorang. Bahkan, sebagian masyarakat melakukan penilaian secara sederhana bahwa jenjang pendidikan S1 saat ini sama dengan jenjang pendidikan SMA beberapa dekade lalu. Kemudian jenjang pendidikan strata dua (S2) saat ini sama dengan jenjang S1 beberapa dekade lalu.
Suatu penilaian sederhana yang boleh jadi memperoleh pembenaran dari data yang dirilis oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga yang menyebutkan angka pengangguran terdidik di Indonesia mencapai 41,81 persen dari total angka pengangguran internasional dan 12,78 persen di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi. Data ini memunculkan asumsi bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi tingkat ketergantungannya dengan lapangan kerja (Koran Pendidikan edisi 429 hal 15 tahun 2012). Sehingga tidak salah jika sebagian di antara kita pesimis menghadapi persaingan kerja dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki.
Namun, di tahun 2012 ini kita mendapati seseorang bernama Reza Nurhilman, mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas Maranatha malah memilih mundur dari bangku kuliah untuk menekuni usaha jualan singkong. Dengan nama merk dagang “Maicih”, keripik singkong pedas dengan rasa khas Bandung ini membuat Reza mampu mengantongi omzet empat miliar perbulan.
Hal yang tidak akan usang untuk terus kita ulang kisahnya adalah Bill Gates. Ia  bisa menjadi contoh terbaik orang yang tidak memiliki gelar akademik namun memiliki kesuksesan luar biasa. Bill Gates bukanlah orang yang bodoh karena dalam catatan Wikipedia, ia lulus dari Lakeside School pada tahun 1973 dan memperoleh nilai 1590 dari total 1600 pada ujian. Sehingga, dengan dua kisah tersebut kita perlu bijak menilai gelar akademik. Gelar akademik “hanyalah” legalitas dan bukti bahwa kita telah menyelesaikan studi. Hal yang lebih penting adalah ilmu yang kita miliki.
Sementara itu, kita juga harus melihat data yang dirilis oleh Berita Pusat Statistik bahwa penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2012 masih didominasi oleh pekerja berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebanyak 55,5 juta orang (49,21 persen) dan SMP sebanyak 20,3 juta orang (17,99 persen). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sekitar 10,3 juta orang mencakup 3,1 juta orang (2,77 persen) berpendidikan diploma dan 7,2 juta orang (6,43 persen) berpendidikan universitas (Berita Statistik.  No. 33/05/Th. XV, 7 Mei 2012).
Sebuah fakta menarik, mengapa orang dengan bekal hanya pendidikan SD justru banyak yang bekerja? Logika sederhananya adalah pilihan yang sedikit akan jenis pekerjaan formal dapat mendorong seseorang untuk kreatif menciptakan lapangan kerjanya sendiri. Orang-orang dengan pendidikan SD juga mau bekerja pada segala bidang yang memungkinkan sehingga tidak menganggur dan yang terpenting memperoleh pendapatan.
Sementara orang yang berpendidikan tinggi—selain karena jumlahnya yang sedikit di Indonesia—meminjam istilah Rhenald Kasali, guru besar FE UI, sering “terbelenggu” pikirannya, mereka tidak berani bekerja di luar bidangnya. Gelar akademis di satu sisi dapat menjadi belenggu pikiran karena telah mengurung pikiran seseorang akan pilihan bidang yang ditekuni. Ketika masih juga menganggur, mereka akan menempuh pendidikan dengan jenjang lebih tinggi.
Dewasa ini, dapat kita jumpai beberapa orang setelah lulus S1 jika belum mendapat pekerjaan meneruskan studi S2. Hal  tersebut sebenarnya positif, tetapi jika hanya dilakukan untuk “mengisi waktu” menganggur, maka akan memunculkan sikap pesimistis masyarakat akan nilai pendidikan tinggi. Mereka akan menilai pendidikan tidak mampu memberikan masa depan yang lebih baik.
Oleh karena itu, menempuh studi di perguruan tinggi tidak dapat dimaknai sekadar  latihan dan persiapan mencari kerja. Belajar di perguruan tinggi adalah kesempatan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Dengan ilmu yang dimilikinya tersebut, ia haruslah mampu untuk memecahkan masalah, minimal masalahnya sendiri. Khususnya bagi para mahasiswa harus mampu mencari solusi ketika tidak juga menemukan pekerjaan setelah lulus.
Mari kita kembangkan rasa ingin tahu kita akan masalah-masalah yang ada.  Tidak perlu takut jika setelah menemukan jawaban akan masalah yang ada kita kembali menemukan pertanyaan baru. Kita akan benar-benar menjadi pintar bukan karena penilaian orang lantaran di belakang nama ada embel-embel gelar akademis. Namun,  karena kita mampu menjadi pionir dalam pemecahan suatu masalah.
Penulis adalah mahasiswa
Pendidikan Ekonomi