Oleh Kurniawan Adi Santoso

Menurut survei Bank Dunia tentang belajar-mengajar di Indonesia pada 2011, program sertifikasi yang dilakukan sejak 2007 belum mampu meningkatkan kualitas guru dalam mengajar (Media Indonesia, 21/11/2012). Hal ini penting untuk dicermati. Sebab program tersebut digadang-gadang untuk memacu kinerja guru sebagai seorang profesional pada khususnya dan untuk meningkatkan kemajuan pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Di lapangan setidaknya ada dua permasalahan yang masih membelenggu guru yang berlabel profesional, yakni masalah keprofesionalan dan gairah mengajar. Masalah keprofesionalan terkait erat dengan kemampuan guru dalam mengajar-mendidik. Sementara itu, masalah gairah mengajar terkait erat dengan menurunnya motivasi mengajar yang disebabkan oleh jamak alasan.
Pertama, masalah keprofesionalan ini muncul pasca-kebijakan sertifikasi bagi guru. Guru yang telah lulus dalam menempuh proses sertifikasi mendapatkan sertifikat pendidik sebagai simbol profesionalismenya dan diberi tunjangan profesi. Kedua, sulitnya membangkitkan gairah mengajar guru. Mengajar dianggap sebagai tugas rutin dan keseharian, bukan sebagai tugas profesional sehingga guru kurang termotivasi untuk melakukan berbagai pembaruan. Akibatnya kreativitas guru dan inovasi guru dalam merekayasa pembelajaran sering mandeg.
Seiring berjalannya waktu, guru bukannya berbenah diri, malah terjebak oleh tunjangan sertifikasi. Mereka yang bersertifikasi mau menerima uang tunjangan sertifikasi, tetapi enggan meningkatkan kualitas keprofesionalannya. Banyak guru yang jam terbangnya sudah kadaluwarsa, tetapi metode mengajarnya masih konvensional. Pembelajaran yang masih berpusat pada guru tidak terjadi interaksi yang multiarah (guru dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan pembelajaran) sehingga sama sekali tak mencerminkan pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan.
Di samping itu, guru merasa disibukkan oleh kelengkapan administrasi pembelajaran, mulai dari silabus, program tahunan, program semester, dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Serentetan tugas tersebut menjadikan guru lupa akan kewajiban mendidik. Ia beranggapan bahwa target kewajiban guru adalah melengkapi administrasi pembelajaran dan menyelesaikan materi pelajaran tuntas akhir semester sesuai dengan kalender pendidikan tanpa membumbui wejangan atau nasihat kepada anak didiknya. Tak heran jika pendidikan karakter sulit terealisasi, tawuran pelajar marak terjadi.
Dari dua permasalahan tersebut penulis memberi tawaran solusi.  Setidaknya ada dua hal yang perlu digalakkan lagi oleh guru yang berlabel profesional tersebut, yakni komitmen dan motivasi.

Memegang komitmen
Pengamat pendidikan, Arief Rachman mengatakan bahwa kurikulum dengan konsep yang sangat bagus tidak akan berjalan baik tanpa peran guru yang memegang komitmen. Artinya, komitmen guru merupakan hal yang urgen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Komitmen merupakan wujud pengabdian diri terhadap suatu pekerjaan atau tugas atas dasar loyalitas dan tanggung jawab yang disandarkan pada niat yang tulus.
Komitmen guru merupakan kekuatan yang datang dari dalam hati untuk melaksanakan tugas dan kewajiban mengajar-mendidik seharusnya dipenuhi rasa ikhlas sehingga ia akan mampu memahami diri dan tugasnya, tanggap terhadap perubahan, serta mau berinovasi demi tanggung jawab keprofesionalannya. Untuk itu, komitmen dipandang perlu untuk terus dipegang teguh oleh guru.
Komitmen itu bisa dibangun dengan membangkitkan kesadaran akan tugasnya sebagai seorang pengajar dan pendidik. Sadar bahwa ia tidak saja bertanggung jawab terhadap permasalahan akademis, tetapi juga bertanggung jawab terhadap perkembangan psikologis dan kepribadian anak didiknya sehingga bisa mengantarkan peserta didik menjadi seorang individu yang dewasa, cerdas, berkarakter, beretika dan berbudi pekerti luhur, serta memiliki nilai kompetensi pendidikan yang mampu membuat mereka bersaing dengan individu lainnya. Dengan komitmen, guru berusaha untuk menjadi guru yang kreatif, yakni guru yang tak pernah puas dengan apa yang disampaikan kepada peserta didik. Ia berusaha menemukan cara-cara baru untuk menggali potensi unik siswa. Baginya, tiap hari harus ada kreativitas yang dikembangkannya sehingga materi yang disampaikannya tak sekadar materi hafalan setiap harinya.
Ketidakpuasan tersebut ia refleksikan melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Setiap pembelajaran yang dilaksanakan dicari permasalahan-permasalahannya. Kemudian melakukan berbagai terobosan untuk memperbaiki masalah tersebut. Bisa dengan mengubah metode mengajarnya, menerapkan berbagai model pembelajaran yang cocok sesuai dengan materinya, dan menciptakan suasana belajar menjadi aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Perbaikan tersebut tak hanya satu tahapan (siklus), bahkan bisa sampai tiga siklus. Dengan begitu, kualitas proses dan hasil pembelajaran dapat ditingkatkan dan berbagai masalah pembelajaran di kelas juga dapat terpecahkan.
Di sisi lain, apa yang dikerjakan itu selalu ada catatan-catatan tertulis. Menuliskan apa yang dikerjakan dan mengerjakan apa yang ditulisnya. Dengan menulis, guru akan terbiasa menggunakan langkah-langkah berpikir kritis. Dimulai dari mengidentifikasi permasalahan, merumuskan permasalahan,  kemudian membuat gagasan pemecahan masalah tersebut. Dengan berpikir kritis, guru tak akan pernah kehabisan ide kreatif. Selalu ada ide segar yang membuatnya menemukan sistem pembelajaran dengan berbagai model. Dengan demikian, guru akan semakin kreatif di bidangnya.
Oleh karena itu, sudah waktunya guru menyadari meteri uang yang didapatkan tidak lain adalah untuk membangkitkan motivasi mengajarnya sehingga yang harus dilakukan guru adalah memunculkan kreativitas diri. Kreatif meramu berbagai metode mengajar yang ada dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi, misalnya. Dengan begitu, peningkatan kesejahteraan tersebut tak akan mubazir, sebab diiringi oleh peningkatan kualitas dan profesionalisme yang dimilikinya.
Penulis adalah alumnus UM