Tepatnya di bulan Ramadan 1434 H belum lama ini, kekhusukan dan kekhidmatan umat Islam dalam beribadah terusik oleh berita yang mengagetkan sekaligus memprihatinkan. Sebuah ormas Islam terlibat bentrok fisik dengan warga Temanggung, Jawa Tengah. Kejadian tersebut dipicu oleh upaya dari ormas garis keras itu untuk melakukan penertiban terhadap warung-warung yang tetap buka di siang hari Ramadan dan juga tempat-tempat hiburan malam yang bandel terus beroperasi.
Akibat dari bentrokan tersebut, satu orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Kerugian material juga tidak sedikit, satu mobil dibakar dan beberapa bangunan rusak parah diamuk massa. Yang menjadi pertanyaan adalah: benarkah model dakwah beraroma kekerasan seperti itu diajarkan oleh Islam? Bagaimanakah sesungguhnya seni berdakwah (fiqh al-dakwah) yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW itu?
Dalam tradisi keilmuan Islam, dikenal konsep hisbah yang bertujuan menjaga stabilitas internal masyarakat muslim dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan terhadap nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Hisbah dalam bahasa Al-Quran lebih populer disebut dengan idiom amar makruf nahi mungkar seperti dalam ayat berikut, “Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran:104).
Pertanyaan berikutnya adalah: apakah setiap orang diwajibkan melakukan hisbah kepada masyarakat sekitarnya tanpa terkecuali? Jawabannya, tidak semua orang berkewajiban melakukan hisbah. Yang wajib hanya mereka yang memenuhi persyaratan. Sebab kata ‘minkum’ dalam Q.S. Ali Imran:104 di atas mengindikasikan arti ‘sebagian’, atau ‘bukan semua’.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku hisbah atau amar makruf nahi mungkar (muhtasib) adalah: pertama, memiliki ilmu pengetahuan, bersikap lemah lembut, berjiwa sabar, dan menempuh cara-cara yang baik. Hal ini penting agar ayat-ayat dan hadis tidak dipahami secara dangkal dan literal, tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan ayat atau hadis lain sebagai sebuah kesatuan nilai-nilai agama.
Dalam sejarah Islam klasik, cara-cara dakwah yang sarat kekerasan pernah dilakukan oleh kelompok Khawarij yang dikenal begitu bersemangat dalam beragama. Namun, memiliki pemahaman yang sempit, sehingga gegabah dalam bertindak dan mudah menjatuhkan vonis fasik, murtad, ataupun kafir pada pihak-pihak yang berseberangan paham. Menariknya, Rasulullah SAW jauh-jauh hari sudah meramalkan fenomena dakwah seperti itu dalam hadis berikut, “Pada akhir zaman nanti akan datang sekelompok orang. Mereka mengutip ayat-ayat Al-Quran, tetapi hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati, sehingga tidak dapat memahaminya dengan baik). Mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya” (HR. Ahmad).
Syarat kedua dalam melakukan hisbah adalah bahwa amar makruf nahi mungkar itu dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Ibn Taimiyyah mengatakan, “Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban yang berat. Sesuatu yang diwajibkan tentunya harus mendatangkan kemaslahatan, bukan kemudaratan.” Tegasnya, amar makruf nahi mungkar tidak boleh melahirkan kemungkaran baru. Termasuk dalam kategori kemungkaran baru yang timbul akibat hisbah adalah jatuhnya korban jiwa, luka, atau rusaknya harta benda.
Syarat ketiga yang harus dipenuhi pelaku hisbah adalah ia mampu melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Apabila ia tidak memiliki kemampuan, maka kewajibannya menjadi gugur. Bahkan seorang muhtasib hendaknya berdiam diri, jika dirasa tindakannya memberantas kemungkaran akan mendatangkan bahaya bagi dirinya, keluarganya, atau umat Islam secara umum, sebagaimana hal itu diisyaratkan oleh ayat berikut,“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu! Jangan sampai orang yang sesat itu memberi mudarat kepadamu apabila kamu memberinya petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. al-Maidah:105).
Secara umum, ajaran Islam bercirikan moderatisme (wasathiyyah), baik dalam akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. “Demikianlah kami menjadikan kamu (umat Islam), umat tengah (yakni umat yang adil dan terpilih) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (Q.S. al-Baqarah: 143). Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian” (H.R. Ahmad).
Wasathiyyah berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya, yakni ekstrem kiri (cenderung terlalu longgar) dan ekstrem kanan (cenderung terlalu ketat). Sifat ekstrem dalam beragama biasanya diikuti oleh sikap-sikap berikut. Pertama, fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda. Kedua, pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dan keras. Ketiga, berpikiran negatif (su’u zhann) terhadap orang lain karena menganggap dirinya yang paling benar. Keempat, menganggap orang lain yang tidak sepaham sebagai orang yang telah kafir sehingga halal darahnya.
Ada prinsip penting yang harus selalu dipegang dalam beragama, yakni tanpa kelembutan, tidak akan ada kebaikan. Ada banyak hadis yang juga mencontohkan kelembutan yang sudah diperlihatkan langsung oleh Rasulullah SAW. Suatu ketika ada seorang pemuda mendatangi Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk berzina.” Para sahabat yang mendengar hal itu langsung bereaksi mencelanya. Namun, Rasulullah dengan lembut meminta para sahabat untuk tenang. Beliau kemudian meminta pemuda itu mendekatinya. Beliau lalu bertanya, “Apakah kamu mau perzinaan terjadi pada diri ibumu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, Wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin ibu mereka berzina dengan orang lain. Lalu, apakah kamu mau perzinaan itu terjadi atas diri anak perempuanmu?” Sang pemuda menjawab, “Tidak, Wahai Rasulullah! Semoga Allah menjaganya.” Rasulullah menimpali, “Begitu pula orang lain, mereka tidak ingin anak perempuan mereka berzina dengan orang lain.”
Dalam hadis lain diterangkan pula ada seorang Arab Badui (pedalaman) yang membuang air kecil di dalam masjid. Tentu saja hal itu membuat para sahabat geram dan hendak menghardik si Badui. Namun, Rasulullah justru meminta para sahabat membiarkan si Badui itu. Beliau bersabda, “Biarkanlah, cukup kalian segera siram saja air kecilnya dengan air. Sesungguhnya kalian diperintah untuk mempermudah, bukan mempersulit.”
Akhirnya, marilah kita merenungkan kembali pilihan-pilihan seni dakwah kita selama ini. Sudahkah teknik dan metode dakwah kita mencerminkan karakteristik Islam sebagai agama yang moderat, yang lebih mengedepankan maslahat ketimbang spekulasi-spekulasi aksi yang berpotensi menimbulkan kemungkaran baru yang lebih berat dan serius. Semoga kita dapat meneladani kearifan dan kebijaksanaan Rasulullah SAW dalam ber-amar makruf nahi mungkar tanpa kekerasan. Oleh Yusuf Hanafi
Penulis adalah dosen Sastra Arab FS UM