Kesempatan emas berjalan-jalan di kota yang terkenal dengan loenpia (baca:lumpia) ini datang saat saya terpilih menjadi official delegates Future Leader Summit (FLS) bulan Mei lalu (18-19/05). Awalnya, saya kurang begitu tertarik dengan fieldtrip yang tertulis di jadwal karena hanya mengunjungi Kota Lama yang saya kira hanya seperti deretan rumah-rumah lama nan mewah di kawasan Jalan Ijen Malang. Ternyata dugaan saya salah. Saya benar-benar menikmati suasana Kota Lama yang dijuluki Little Netherland atau Outstadt oleh masyarakat Semarang.
Tidak salah sebutan tersebut mengingat saya merasakan nuansa Belanda yang sangat kental baik dari ornamen-ornamen yang tersisa, seperti ukuran pintu dan jendela yang super besar, kaca-kaca berwarna dan bermotif Eropa, atap yang unik, bahkan banyak gedung lama yang menyimpan ruang bawah tanah. Menurut Lontara, sebuah komunitas yang ingin menghidupkan kembali Kota Lama, secara umum karakter bangunan di wilayah ini mengikuti bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail dan arsitektur bangunan dan kanal-kanal yang masih bisa disaksikan dengan mata telanjang. Pemerintah Belanda era itu ingin agar penduduk Belanda yang tinggal di daerah tersebut merasakan “rumah sendiri” seperti di negeri asal mereka. Maklum, Semarang masih sebuah kota asing bagi mereka sehingga bangunan sengaja dibuat sama seperti konsep dari negara asal mereka untuk dibangun di Semarang.
Saya memulai perjalanan dari Jalan Jenderal Suprapto, yakni jalan yang dulu sempat menjadi bagian dari jalan raya pos sepanjang 1000 km yang membentang sepanjang Anyer-Panarukan. Ada hal yang menarik di Kota Lama ini. Struktur bangunan di Kota Lama memiliki pola radial atau memusat dengan Gereja Blenduk dan gedung pemerintah sebagai pusatnya. Meski konsepnya tidak sama dengan bangunan Kerajaan Jawa yang terkenal sangat kuat dalam penentuan arah mata angin, bangunan di Kota Lama tetap mengakulturasi budaya Jawa, yakni dari segi kesatuan antara gedung pemerintahan, ruang publik, dan tempat ibadah.
Belum sempat berkedip dengan bangunan yang mengingatkan saya tentang meneer, menrouv, dan noni belanda, saya sudah disambut dengan Gereja Blenduk, gereja yang wajib dikunjungi karena telah lama menjadi landmark Kota Semarang. Nama asli Gereja tersebut adalah Nederlandsch Indische Kerk dan masih digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, masyarakat Jawa sangat susah mengucapkan dalam aksen Belanda sehingga hanya disebut sebagai Gereja Blenduk, asosiasi dari kubah berwarna merah bata di atasnya yang terbuat dari perunggu lengkap dengan menara kembar di depannya.
Kota Lama, sebagai pusat ekonomi Semarang dan Jawa Tengah kala itu, masih bisa dilihat kemegahannya yang direpresentasikan melalui gedung kuno.Terdapat sebuah bangunan yang dulunya sebagai kantor asuransi yang biasa disebut sebagai Gedung Jiwasraya. Rombongan melanjutkan perjalanan menuju gedung serba guna Marabunta dengan ornamen semut raksasa di atapnya. Ada pula gedung Het Noorden yang sekarang digunakan sebagai kantor redaksi Suara Merdeka Group yang merupakan titik mula sejarah media cetak di Semarang. Lalu, seratus meter didekatnya terdapat pabrik rokok dengan ejaan lama “Praoe Lajar”.
Tidak berhenti sampai di situ, saya melanjutkan eksplorasi kota Semarang lainnya setelah acara usai. Ungaran di Semarang Atas menggelitik rasa penasaran saat teman saya menceritakan adanya pemandian dengan air sumber pegunungan yang dibalut bukit di lereng Ungaran. Saya buktikan segera, perjalanannya sekitar 1,5 jam yang saya mulai dari Semarang di kawasan UNDIP. Sesampainya di Umbul Sidomukti, nama wisata alam tersebut, saya tidak henti-hentinya berdecak kagum menyebut asma Tuhan. Jika di dunia ada surga, mungkin kawasan inilah salah satunya. Pengunjung menikmati landscape kota Semarang dari atas, sekaligus berenang di kolam yang airnya langsung dari sumber pegunungan Ungaran. Mitosnya, barang siapa yang mandi dengan mata air Ungaran, dipercaya awet muda.
Ada empat buah kolam yang bertingkat sesuai dengan kedalamannya dan dapat dipilih sesuai keinginan. Airnya sangat dingin, jernih, dan menyegarkan. Tidak hanya kolam segar, wisata ini dilengkapi dengan fasilitas olahraga menantang, seperti flying fox dengan biaya Rp12.000,-. Ada pula ATV dengan biaya sewa Rp30.000,-. Sarana untuk tracking menuju lembah seharga Rp6.000,-. Harga tiket masuknya murah, untuk hari biasa Rp4.000,-/orang dan Rp5.000,-/orang saat akhir pekan.
Semarang telah menjamu saya dengan baik dan berhasil membuat saya kagum. Masih banyak hal yang belum tereksplorasi dari Semarang, tetapi dua tempat tersebut sudah mewakili rasa keingintahuan saya tentang Kota Semarang. Tidak sampai di sini saja, sudah puas dengan wisata sejarah di Kota Lama dan wisata alam di Umbul Sidomukti Ungaran, saya tidak lupa untuk berwisata kuliner di Pusat Oleh-Oleh Semarang, yakni Toko Bandeng Juwana dengan membeli dua ekor bandeng presto dan lima buah lumpia basah untuk dibawa ke Malang. Oleh: Choirun Nisa Ristanty
Penulis adalah mahasiswa
Pendidikan Bahasa Inggris 2011