Oleh Haninatul Mutmainah

Judul Novel : Negeri di Ujung Tanduk
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Jakarta, April 2013
Tebal : 360 halaman

Awalnya saya enggan membaca novel karya Tere Liye yang berbau politik, karena saya tidak begitu tertarik dengan dunia politik. Menurut saya dunia politik itu banyak mengumbar kepalsuan, umbar janji. Ketika membaca novel Negeri Para Bedebah, Tere Liye dapat membuka pandangan saya mengenai dunia politik di Indonesia. Dan nyatanya negeri ini lebih memprihatinkan dari apa yang selama ini saya lihat.
Penutup dari novel ini agak menggantung dan membuat saya menantikan kelanjutannya. Hampir setahun sudah, akhirnya sekuel kedua dari Negeri Para Bedebah keluar juga. Tere Liye melanjutkan cerita yang agak menggantung di sekuel pertama dalam novel Negeri di Ujung Tanduk dengan jalan ceritanya yang baru.
Novel ini menceritakan tentang perekonomian global, rekayasa keuangan, imperium bisnis, mafia hukum, konspirasi, dan segala hal mengerikan lainnya. Seperti fiktif, tapi nyata. Seperti nyata, tapi fiktif. Menurut saya, Tere Liye tidak sembarangan menulis. Ia sepertinya mengerti betul bagaimana dunia politik itu sebenarnya. Mengumpulkan banyak data dan fakta di lapangan, kemudian mengolahnya menjadi sebuah sajian, hiburan, bacaan, perenungan, dan proyeksi yang menarik ke hadapan kita. Ini kata-kata Tere Liye yang tepat mengena di hati dan membuat saya merenung sejenak, “Apakah ada di dunia ini seorang politikus dengan hati mulia dan niat lurus? Apakah masih ada seorang Gandhi? Seorang Nelson Mandela? Yang berteriak tentang moralitas di depan banyak orang, lantas semua orang berdiri rapat di belakangnya, rela mati mendukung semua prinsip itu terwujud? Apakah masih ada?” (hlm. 111)
“Siapa yang sebenarnya memiliki sebuah partai politik? Karena lihatlah, bukankah ada banyak partai politik di negeri ini yang tidak ubahnya seperti kerajaan. Pucuk pimpinannya adalah ratu, mewarisi kedudukan itu dari orang tuanya, dan orang tuanya mewariskan posisi itu ke anak-anaknya? Lantas orang-orang di sekitarnya adalah keluarga dekat, kerabat, sanak famili, yang bisa merangsek ke posisi penting tanpa harus susah payah meniti karir politik. Apakah partai itu sebuah kerajaan? Bukan lembaga paling demokratis di alam demokrasi?” (hlm. 235)
Dari sini timbul pemikiran saya bahwa dunia politik adalah dunia yang tidak bisa dibedakan mana hitam mana putih. Mana kawan mana lawan. Mana yang benar mana yang salah. Kedudukan itu segalanya, yang kuat menindas yang lemah.
Cerita dalam novel ini berawal dari arena klub petarung, kali ini Thomas mencoba go internasional, dengan bertarung melawan petarung Hongkong bernama Lee. Petarungan itu di lakukan di Makau, dekat Hongkong. Akhirnya Tommi yang menang. Opa dan Kadek menyusul Tommi ke Makau, untuk mengantar kapal baru hadiah untuk Tommi. Keceriaan mereka di kapal baru itu, akhirnya terusik karena dengan cepat pasukan antiteror Hongkong menangkap mereka dengan tuduhan membawa sekilogram heroin dan senjata api di kapal. Seorang wartawati bernama Maryam yang sedang mewawancarai Tommi, juga ikut di tangkap.
Tommi tahu ini hanya jebakan belaka. Hal itu dikarenakan penangkapan Tommi bertepatan dengan akan diadakannya konvensi partai besok. Karena sekarang perusahaan Tommi, membuka layanan baru, yaitu konsultan politik di samping konsultan keuangan. Tommi sedang menangani seorang klien yang ingin maju menjadi presiden. Dia bersedia menjadi konsultan, karena calon presiden ini mempunyai misi menegakkan hukum di negeri ini. Dan juga ternyata lagi-lagi ada kisah masa lalu yang membuat Tommi sangat membela calon presiden berinisial JD ini.
Tommi dan kawan2 disekap di lantai 15 suatu gedung di Hongkong. Tapi akhirnya mereka bisa kabur dengan cara yang tidak saya duga sekali. Bang Tere benar-benar cerdas merangkai cerita kaburnya Tommi tersebut. Tommi dan kawan-kawan akhirnya kembali ke Jakarta dengan status buronan, untuk mengurus banyak hal. Salah satunya menyelamatkan jebakan mafia hukum yang ingin menggagalkan pencalonan presiden JD. Walaupun akhirnya JD kejebak juga dimasukkan penjara atas tuduhan korupsi pembangunan Tunnel. Mafia hukum ini terdiri dari jaringan-jaringan anggota yang rumit. Melibatkan para penguasa, pejabat, dan pengusaha. Tommi menyuruh stafnya Maggie dan Kris untuk menguak nama-nama siapa saja di balik mafia hukum ini. Akhirnya mereka berhasil memecahkan siapa pucuk pimpinan mafia hukum, yang ternyata lagi dan lagi mempunyai hubungan kisah masa lalu dengan Tommi.
Penutup yang apik dan sukses memuaskan saya. Novel ini bukan hanya memberikan kenikmatan cerita semata, tetapi juga mampu memberikan kesadaran berpikir bagi pembaca. Pembaca diajak untuk berpikir mengenai politik di negeri ini serta cara-cara mempengaruhi massa seperti yang Thomas lakukan di novel ini. Novel ini bisa disebut novel aksi yang di dalamnya terdapat berbagai aksi kejar-kejaran waktu yang membuat pembaca tidak bisa berhenti hingga halaman terakhir. Novel ini juga membuat saya takjub. Kenapa? Karena cerita ini hanya ber-setting waktu selama 48 jam alias 2 hari 2 malam. Tere Liye begitu cerdik menyusun alur ceritanya yang sangat rapat, padat, dan cepat.
Namun, di balik kelebihan novel tersebut ada juga kekurangannya. Entah kenapa yang namanya buku sekuel biasanya kurang “greget” dibandingkan buku pertamanya. Mungkin karena kita bisa menebak jalan ceritanya. Begitu juga dengan novel ini. Kemudian ada tokoh yang tekesan dipaksakan, yaitu karakter wartawati yang bernama Maryam, karena karakter dia kurang membantu jalannya cerita. Terlepas dari itu, salut sekali dengan penulisnya yang mampu mencoba genre yang belum ditulis sebelumnya.
Peresensi adalah mahasiswa
Teknik Elektro. Resensi ini juara III kategori pustaka Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2013.