Oleh Budi Akbar

Setiap tahun dalam kalender Indonesia terdapat satu tanggal merah yang dirayakan bagi orang-orang beragama Khonghucu atau darah keturunan Tionghoa, yaitu tahun baru Imlek atau biasa disebut perayaan Sin Cia.

Dalam kalendar Tionghoa, awal tahun dimulai antara akhir Januari dan awal Februari, itulah mengapa perayaan tahun baru Imlek selalu berbeda setiap tahun. Metode populer yang digunakan agar dapat melihat metode siklus ini adalah perekaman tahun ke dalam Dua Belas Tanda Hewan atau shi er sheng xiao. Setiap tahun ditandai dengan kombinasi nama binatang atau shio yang dikenal dengan istilah 12 di zhi (12 cabang bumi). Kedua belas cabang bumi ialah Tikus, Kerbau, Macan, Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Monyet, Ayam, Anjing, dan Babi.
Tahun ini merupakan tahun kuda, lebih tepatnya tahun kuda kayu yang akan menjadi tahun dinamis layaknya kuda. Shio ini memiliki sifat yang rajin dan tekun, sehingga hal itu merupakan sebuah isyarat bagi kita semua untuk lebih rajin dan tekun dalam menjalani tahun ini.
Tahun baru Imlek tidak hanya dirayakan oleh mereka yang beragama Khonghucu atau mereka yang memiliki darah Cina. Di mall-mall bermunculan diskon dan promo harga dalam rangka Imlek, restoran dengan menu dan potongan harga spesial Imlek, hingga kamar hotel edisi Imlek: latar serba merah bermotif Tiongkok, lampion di sana-sini menyemarakkan ruangan, bahkan aung-pau yang sengaja digantung di depan pintu kamar pengunjung walau isinya cuma angin. Masyarakat tidak hanya merayakannya secara keagamaan melainkan secara umum. Mereka berbagi kebahagiaan bersama dalam cinta kasih sebagai umat beragama dalam bangsa yang menganut multikulturalisme.
Dari pikiran itulah saya berinisiatif untuk berdiskusi dengan orang yang memahami lebih dalam mengenai Imlek. Tercetuslah di benak saya mendatangi pusat kebudayaan dan agama Khonghucu di Kota Malang, yaitu Klenteng Eng An Kiong yang terletak di sekitar Pasar Besar. Saya bertemu langsung dengan fungsionaris rohaniawan kelenteng tersebut. Ia adalah Bapak Hanompramana (Buana Djaja). Saya disambut baik oleh beliau dan diajak berkeliling sembari berdiskusi di sekitar kelenteng. Tidak lupa saya menyempatkan diri bertanya mengenai perayaan Imlek oleh keturunan Tionghoa.
Saya menyadari bahwa pada dasarnya setiap orang akan melestarikan budaya asalnya atau budaya nenek moyangnya. Begitu juga dengan Imlek, itu bukan sekadar perayaan agama Khonghucu melainkan warisan dari kebudayaan nenek moyang bagi keturunan Tionghoa juga salah satu bagian dari budaya Indonesia yang patut dilestarikan.

Filosofi dalam Imlek
Imlek bukan hanya sekadar perayaan festival serba merah yang dimeriahkan Barongsai, divisualisasikan dalam bentuk singa atau Liong yang berbentuk naga. Warna merah sejatinya melambangkan kemakmuran dan kebahagiaan. Merah juga adalah simbol dari kebaikan hati dan ketulusan. Maka dari itu, perayaan imlek yang serba merah memiliki esensi bahwa pada hari tersebut manusia berharap pada Tuhannya dapat hidup makmur dan bahagia sepanjang tahun. Barongsai merupakan simbol kerja keras, ia harus berjalan dan melewati anak tangga khusus yang dibuat sedemikian rupa untuk mengambil hadiah (ang-pau) yang posisinya sulit untuk dijangkau, apabila tidak hati-hati akan terjatuh.
Begitu juga dalam hidup, jika kita terus bekerja keras dalam mencapai keinginan, maka tidaklah mustahil akan tercapai. Di sisi lain kehati-hatian juga diperlukan agar kita tidak ceroboh dalam melangkah dan mengambil keputusan agar tidak terjerembab dalam kegagalan. Liong adalah simbol tiga elemen yang bersinergi, yaitu moncongnya menyerupai buaya, simbol kehidupan di air. Kukunya yang tajam seperti burung elang, simbol kehidupan di udara. Tubuhnya yang bersisik seperti ular, simbol kehidupan di darat.
Naga (Liong) dipercaya bisa membawa keberuntungan untuk masyarakat karena kekuatan, martabat, kesuburan, dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Penampilan naga memang terlihat menakutkan dan gagah berani. Namun, ia tetap memiliki watak yang penuh kebajikan. Hingga hari ini masih banyak terlihat simbol naga digunakan sebagai lambang kekuasaan di seluruh dunia apalagi di dataran Cina.
Tradisi orang-orang Tionghoa percaya jika pada perayaan Imlek hujan turun, maka tahun itu akan menjadi tahun yang berkah untuk semua umat di bumi. Tahun ini merupakan Imlek kedua saya di Kota Malang, menunggu hujan menyentuh bumi dengan doa yang terus beriringan di sela-sela bibir ini. Apakah tahun ini akan menjadi tahun berkah untuk saya? Untuk Anda? Untuk kita semua?
Tentu saja kita mengharapkan yang terbaik dalam hidup, tetapi perlu kita ingat cobaan tidak pernah pandang bulu. Ia akan menguji sampai sejauh mana kemampuan manusia dalam melewati hidup. Cara terbaik dan mudah, tetapi banyak dilewatkan orang adalah berdoa. Karena doa adalah jembatan antara Tuhan dengan hambanya. Saya pun turut berdoa semoga cinta kasih mengiringi kita semua di tahun ini. Gong Xi Fa Cai!
Penulis bergiat di HMJ EKP