Oleh M.Ziyan Takhqiqi Arsyad

Judul buku : Pertamina Top Stories
Penulis : Sigit Soetiono dan Benny Joewono (Tim Editor)
Penerbit : Corporate Communication PT. Pertamina
Cetakan : 2013
Tebal : 244 halaman

Puncak pencapaian suatu perusahaan sangat bertumpu pada visi dan pemimpin sebagai katalisatornya. Pertamina saat ini sudah dikenal sebagai perusahaan raksasa. Di balik nama besarnya, Pertamina menyimpan segudang gejolak dan terobosan mewarnai segenap pencapaian dan pengorbanan di dalam Pertamina.

Ladang Warisan dan Modal Patungan
Ladang induk pertama Pertamina adalah Pangkal Brandan di Sumatra Utara, peninggalan Belanda sejak tahun 1928. Pada tahun 1957 Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyerahkan pengelolaan ladang tersebut kepada TNI AD. Kolonel Nasution dari TNI AD dengan berbagai spekulasi menunjuk Ibnu Soetowo untuk memimpin perusahaan yang dulunya masih berlabel PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatra Utara.
Patungan modal Rp10 juta oleh Ibnu dan Harjiono digunakan untuk menjalankan operasional pengeboran hingga pemasaran minyak ke luar negeri. Akhirnya, pada Mei 1958 Permina mengekspor 1700 ton minyak ke Jepang. Saat itu, Ibnu Soetowolah sosok yang tepat untuk menancapkan tonggak pertama Pertamina. Metode otodidak dan finding lesson diterapkan Ibnu untuk membuat Pertamina dapat melaju.
Pada tahun 1971 Pertamina menjadi public service obligation yang intinya menjadi tonggak utama membangun negara dan keuangan Pertamina dipegang oleh negara. Dalam kebijakan pengelolaan, Ibnu melakukan pemutusan konsesi (sistem kontrak hanya dengan membayar pajak tanah dan royalti tanpa menanggung rugi) yang kala itu cukup merugikan negara yang kemudian diganti dengan kontrak karya. Enam puluh persen keuntungan dari kontrak karya dirasa belum cukup tahun 1966 mendorong Ibnu membuat Profit Sharing Contract (PSC).

Jalan Kesederhanaan Menembus Badai
Siklus baru menghadapi goncangan ekonomi dimulai pada tahun 1976 oleh Piet Harjono. Langkah memulihkan Pertamina dilaksanakan dengan reorganisasi dengan tujuan efisiensi. Tahun 1981 Joedo Soembodo menggantikan Piet dengan misi membangun kembali setelah berbenah. Joedo sering dropping memantau ke lapangan untuk mengatasi kelangkaan minyak. Spesialisasinya di bidang distribusi berujung pada keberhasilan Joedo menggagalkan pencurian minyak yang melibatkan jaringan di Singapura.
Tiga tahun kemudian Joedo digantikan oleh A. R. Ramly yang dilatarbelakangi perluasan pasar. Pertamina masih harus membiayai pembangunan negara dengan sumbangan wajib 70 persen ke devisa negara. Itulah salah satu sebab Pertamina kesulitan mengejar Petronas. Kebijakan Ramly untuk memberi wewenang penuh pada direksi serta membangun kantor konsulat di luar negeri cukup signifikan dengan mencatat keuntungan tiga koma sekian triliun.

Masa-masa Transisi
Kepemimpinan A. R. Ramly dilanjutkan Faisal Abda’oe yang resmi diangkat tahun 19 Agustus 1988. Abda’oe sangat gencar dalam menggandeng investor lokal demi mempercepat alih teknologi. Dimulai dengan kontrak investasi LNG di Bontang tahun 1991 oleh kontraktor nasional. Hasilnya 22 kontrak bagi hasil ditandatangani berbagai investor.
Krisis moneter yang menimpa Indonesia membuat Abda’oe harus turun dan menyerahkan jabatannya pada Soegianto tahun 1998. Dengan kondisi cashflow di bawah batas normal membuat Soegianto malu karena tidak dapat memenuhi tagihan pemodal. Menghadapi masalah yang begitu pelik Soegianto menerapkan kesederhanaan dalam mengelola perusahaan. Namun, di tahun yang sama Sogianto harus rela digantikan oleh Martiono Hardianto.
Pada masa 2000-2004 pertamina banyak mengalami pergantian pimpinan. Mulai dari Martiono Hadianto (1998-2000), Baihaki Hakim (2000-2003), hingga Ariffi Nawawi (2003-2004). Martiono sendiri sempat menyelipkan misi World Class Company dalam tubuh Pertamina. Baihakki Hakim mengibarkan bendera perseroan pada Pertamina pada tahun 2003. Ariffi melakukan analisis SWOT pada Pertamina untuk menyelesaikan blue print Pertamina di era perseroan.

Bentuk Nyata Metamorfosis
Widya Purnama menandai metamorfosis Pertamina dengan logo baru yang menuai pro dan kontra. Dengan lantang Widya menyuarakan untuk menentang siapa saja yang mengganggu Pertamina. Paling ekstrim dari masa kepemimpinan Widya adalah dia berani menghentikan kerja sama dengan Exxon Mobil yang dinilai tidak beriktikad baik mengelola Cepu. Selang dua tahun Ari H. Soemarno maju menggantikan Widya Purnama.
Soemarno melakukan transformasi dalam waktu singkat pada operasional kerja Pertamina. Pada era Soemarno disosialisasikan program “Pasti Pas!” pada SPBU sebagai hilir distribusi Pertamina. Penerapan Undang-undang Migas pada tahun 2003 juga menciptakan perubahan tersendiri. Jika dulu Pertamina harus menyetor penghasilan kepada negara, sekarang Pertamina melakukan jual-beli minyak kepada negara dengan itung-itungan subsidi. Peran Pertamina sebagai tonggak pembangun negara berjalan selaras dengan sistem perseroan. Bagi hasilnya juga lebih jelas. Selain itu, Soemarno juga hendak menggerakkan LNG untuk mencukupi kebutuhan energi nasional dengan menggalakkan LPG 3 kg. Terbukti program tersebut mampu menghemat subsidi BBM, meskipun biaya di awalnya cukup membengkak.
Tepat 5 Februari 2009 Karen Agustiawan menjadi perempuan pertama yang menahkodai Pertamina dengan mengusung visi energizing asia. Karen melanjutkan jenjang program yang dirintis Ari H. Soemarno, meliputi kemanan pasokan BBM, LPG, penguasaan sektor hulu, dan mempertahankan momentum perubahan. Hingga kini Karen masih memimpin Pertamina dengan enam anak perusahaan lainnya. Karen hadir sebagai metamofosis sempurna 52 tahun Pertamina.
Dulu Pertamina tak lebih dari lubang berminyak yang tak jelas manfaatnya dimana sejuta cerita puncak digali dari dalamnya. Penggalian kesuksesan Pertamina tentu mengalami pasang-surut bersamaan dengan bergantinya pimpinan yang memberi warna pada tiap masa baktinya.
Peresensi adalah alumnus PGSD UM.