Oleh Riska Elina Sari

Selama bertahun-tahun selalu muncul masalah pada pelaksanaan ujian nasional (unas). Pada April-Mei 2013 misalnya, ketika unas diselenggarakan, persoalannya bukan saja tidak bisa serentak, tetapi banyak ditemukan kejanggalan-kejanggalan. Belum lagi persoalan korupsi dalam pencetakan soal unas.
Polemik yang berkepanjangan mengenai unas tersebut kemudian sekarang ditanggapi dengan menggelar kesepakatan dari sejumlah pemangku kepentingan di dunia pendidikan, mulai dari akademisi hingga para pegiat di dunia pendidikan, dalam forum konvensi ujian nasional. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan konvensi unas ini pada 26-27 September 2013. Awalnya konvensi untuk mencari titik temu apakah unas dilanjutkan atau tidak. Namun, konvensi unas justru dialamatkan untuk mempertahankan eksistensi unas. Lebih mengarah pada terciptanya unas yang kredibel, transparan, dan akuntabel di tahun depan.
Penolakan dari praktisi dan guru besar di bidang pendidikan tak membuat pemerintah mengurungkan niatnya untuk menghentikan pelaksanakan unas. Pemerintah malah memperkuat legalitas keberadaan unas dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2013 sebagai perubahan atas PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
PP ini memperkuat hasil unas digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, serta pembinaan dan penerima bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Unas ialah hajatan berbiaya tinggi, tetapi berdampak pada runtuhnya moral kejujuran. Dugaan adanya korupsi tercium kuat. BPK mensinyalir ada penyimpangan anggaran dalam pelaksanaan unas 2012 dan 2013, dengan indikasi kerugian negara hingga Rp14 miliar. Rinciannya, pada tahun 2012 senilai Rp8,15 miliar, dan tahun 2013 senilai Rp6,34 miliar. Indikasi penyimpangan terjadi pada saat pengadaan dan penyebaran soal. Selain itu, BPK juga menemukan potensi kerugian negara senilai Rp2,66 miliar yang berasal dari pemotongan belanja senilai Rp888,60 juta, Rp1,77 miliar berupa kegiatan fiktif dan mark up. Pertanyaanya, layak kah unas dilanjutkan?
Unas juga “menjajah” sekolah. Unas dijadikan ajang gengsi oleh kepala daerah. Akibatnya dinas pendidikan setempat diberikan target kelulusan tanpa didasari pada rasionalisasi pencapaian dan tanpa melihat kemampuan sekolah-sekolah di daerah itu.
Hal ini menjadikan ketidakjujuran yang masih langgeng di tingkat sekolah. Kekhawatiran sekolah akan banyaknya siswa yang tidak lulus membuat jalan pintas dengan cara yang tidak jujur. Selain itu, siswa pun mengalami tekanan psikologis yang berat. Tak heran bila sampai berani “membeli” kunci jawaban. Potret buram unas inilah yang harus dihentikan.
Yang menjadi persoalan sekarang, hasil konvensi masih mendudukkan unas sebagai penentu kelulusan. Selama ini komposisi nilai kelulusan unas terdiri dari 60 persen nilai unas dan 40 persen nilai ujian sekolah (UAS). Komposisi baru adalah 70 persen dari nilai UAS dan 30 persen dari unas. Alasannya adalah ada keseimbangan antara sekolah dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan kelulusan dan mengontrol aspek kejujuran.
Dengan sistem ini, sebenarnya masih melahirkan ketidakjujuran juga di kalangan sekolah. Untuk memenuhi kriteria nilai UAS tersebut, terkadang terjadi pengatrolan nilai raport untuk mengerek nilai UAS tersebut. Nilai siswa yang tadinya di bawah standar, ketika akan dikomulasikan dengan unas, sekolah bisa saja mengubah nilai tersebut. Sehingga hasilnya menjadi komposisi tersebut, yakni 70:30.
Di samping itu, sebenarnya konsep unas sebagai penentu kelulusan kontradiktif dengan roh Kurikulum 2013, yang standar proses dan penilaiannya mengalami perubahan mendasar. Proses pembelajaran Kurikulum 2013 menekankan keaktifan murid untuk bertanya, mengeksplorasi, melakukan percobaan, membangun jaringan, dan menyusun laporan. Sedangkan standar penilaiannya ada penilaian otentik, penilaian diri, portofolio, dan lainnya. Semuanya menjadi sia-sia bila evaluasinya dengan unas.
Kurikulum 2013 dengan menggunakan pembelajaran tematik integratif. Materi disajikan dalam bentuk tema yang terdiri dari berbagai mata pelajaran. Siswa tak lagi mempelajari mata pelajaran, tapi langsung dalam sebuah tema. Maka, akan sangat lucu bila setiap harinya siswa diajar tematik, tetapi pada ujian akhir kembali pada mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, IPA (SD), atau Bahasa Inggris (SMP/SMA).
Konsekuensi dari tematik ini juga, penilaiannya diarahkan untuk mengukur tiga ranah kompetensi sekaligus, yakni afektif (sikap), psikomotorik (keterampilan), dan kognitif (pengetahuan). Jenis penilaiannya yaitu penilaian otentik, menguji proses dan juga hasil belajar. Seperti, penilaian unjuk kerja, penugasan, hasil kerja, protofolio, penilaian sikap dan penilaian diri. Sehingga mampu merekam ketiga ranah kompetensi tersebut.
Akan tidak adil, apabila kelulusan ditentukan hanya dengan unas. Mau dikemanakan nilai anak yang direkam selama proses belajar di jenjang sekolah tersebut? Apalagi kita tahu soal unas hanya pilihan ganda. Yang hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, tidak ada psikomotoriknya, apalagi afektifnya. Akan terasa sia-sia, apa yang dikerjakan guru dengan melakukan penilaian setiap hari. Toh, akhirnya yang menentukan kelulusan adalah tes tulis yang hanya dilakukan sekali pada akhir jenjang pendidikan.
Seharusnya tugas evaluasi yang sudah melekat dengan tugas guru, yang berhak menentukan siswanya lulus atau tidak adalah guru atau sekolah itu sendiri. Sebab pihak sekolah yang tahu secara pasti kemampuan, kepintaran, maupun akhlak siswanya sehingga bisa memutuskan untuk meluluskan siswanya atau tidak.
Saya berharap agar pemerintah berpikir ulang, unas tak lagi dijadikan sebagai alat penentu kelulusan. Biarkan yang menentukan kelulusan adalah satuan pendidikan. Berikan otonomi kepada guru dan sekolah, saya yakin ini jauh lebih baik, daripada dengan unas yang sarat dengan beban dan masalah.
Penulis adalah mahasiswa
Geografi UM.
Opini ini juara II kategori opini Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2013.