crpnOleh Muslihati

Salah satu kekuatan karya sastra
adalah pengaruhnya pada aspek
afektif seseorang yang dapat
menggugah inspirasi. Karya sastra
akan menjadi media pengasah kepekaan
rasa dan kehalusan jiwa. Oleh karena itu,
saya menjadi penikmat setia rubrik Rancak
Budaya majalah Komunikasi.

Rancak Budaya khususnya cerpen akan menjadi
rubrik pertama yang saya buka manakala
majalah kebanggaan UM ini terbit. Saya
salut dengan kelincahan dan rasa bahasa
para cerpenis muda yang sangat tangkas
menghadirkan imajinasi mereka dalam
tulisan indah yang mampu menginspirasi.
Namun, kelezatan rasa bahasa pada tulisan
sejumlah cerpen lain yang dimuat pada
Komunikasi beberapa edisi terakhir (Februari,
Mei, dan Juni 2014) memunculkan kesan
berbeda. Ketiga cerpen terbit pada edisi
yang berurutan, yaitu “Malam Merah Ibu“,
“Perempuan-perempuan Gemblung“, dan
“Emak dan Apem Merah“. Cerpen-cerpen
tersebut membuat saya bergidik merinding
dan berinisiatif untuk menulis ulasan ini dari
cara pandang keilmuan saya—Bimbingan
dan Konseling—bukan dari perspektif sastra
yang tentu tidak menjadi kompetensi saya.
Ketika sebuah karya dihadirkan dalam
konteks pendidikan maka perlu mempertimbangkan
beberapa aspek yang dapat
menimbulkan pengaruh tertentu. Ketiga
cerpen tersebut menurut saya menghadirkan
nuansa perilaku sadis tokoh utama yang
berujung pada penghilangan nyawa tokoh
yang lain. Meski perilaku sadis yang diuraikan
adalah jalan terakhir sang tokoh utama dalam
menyelesaikan masalahnya. Mungkin orang
lain akan menilai, itu toh sebuah tulisan fiksi.
Namun, berpijak pada teori belajar sosial
Bandura, proses belajar dapat terjadi dalam
situasi apa pun dan bersumber dari berbagai
model yang ada pada latar sosial, bisa model
hidup, tiruan, bahkan model dalam kisah fiksi
sekalipun. Dalam Bimbingan dan Konseling,
cerpen bahkan dapat dijadikan sebagai
media penyampai materi bimbingan dan
proses perubahan perilaku melalui teknik
biblio-edukasi atau biblio-konseling.
Kekhawatiran saya mungkin saja dipandang
sebuah tindakan berlebihan (lebay) tapi bukan
tanpa alasan mengapa saya mengulasnya.
Masalah yang dihadapi para tokoh di cerpen
tersebut, mungkin bukan kisah dari negeri
antah berantah. Kisah tersebut hadir di
tayangan berita sehari-hari di televisi, yang
pemberitaan tersebut pun kemudian diimitasi
oleh pelaku lain yang memirsa tanpa ada
proses penyaringan nilai. Seseorang sangat
mungkin menerapkan cara-cara kurang baik
yang dipelajari dari tayangan televisi dalam
penyelesaian masalahnya. Penayangan kasus
pemerkosaan, pembunuhan, perampokan,
dan kejahatan lain dengan modus terbaru
justru mempercanggih modus yang
dimodifikasi pikiran “kreatif kriminal” . Bisa
jadi tulisan cerpen juga dapat memicu hal
tersebut walau efeknya tidak sedahsyat
televisi.
Menyertai kekhawatiran yang ada,
muncul pula sikap optimis. Cerpen tersebut
dapat pula berdampak positif sebagai
pembelajaran bagi pembacanya. Misalnya
isi cerpen “Malam Merah Ibu“ karya Dwi
Ratih Ramadhany yang menggambarkan
kegeraman istri pada suami yang
berujung pada penghilangan nyawa akan
memberikan pelajaran bagi para laki-laki.
Sekalipun perempuan bersikap lembut dan
nrimo dengan segala kekurangan suami
sebagai manifestasi cinta pada pasangan
dan keutuhan keluarga, tetapi kesabaran
perempuan memiliki ujung yang dapat
tersulut bak dinamit yang meluluhlantakkan
sisi kemanusiaan perempuan itu sendiri.
Isi cerpen “Perempuan-perempuan
Gemblung“ karya Iin Munawaroh juga
menarik untuk diulas. Isu positif yang dapat
ditangkap adalah keinginan untuk bebas
dari perbudakan budaya yang menghalalkan
tubuh perempuan tanpa penghormatan.
Namun sayang, ide penggunaan ilmu
hitam berupa santet atau voodoo dapat
melestarikan kemusyrikan yang dipandang
sebagai jalan keluar instan dari persoalan
kehidupan yang pelik. Biar saja dukun
atau ilmu hitam bertindak, urusan selesai.
Pembaca tanpa filter dapat saja menangkap
pesan tersebut mentah-mentah.
Ada pun cerpen tentang upacara
punggahan atau megengan lebih sadis lagi
karena bila “Malam Merah Ibu“ berkaitan
dengan kain dan baju, kue apem yang
terhidang adalah kuliner yang disantap
dengan nikmat. Cerpen ini membawa
aroma sadistis kanibal. Perilaku kekerasan
pada orang tua khususnya ibu sekalipun
bukan ibu kandung juga tergambar dalam
cerita ini.
Pertanyaan yang menyeruak dibenak
adalah, mengapa para penulis muda berbakat
menjadikan penghilangan nyawa orang lain
dengan alasan dendam, amarah, dan nafsu
sebagai narasi. Apakah itu menggambarkan
kecenderungan kehidupan masyarakat
sekaligus menjelaskan alam bawah sadar
beberapa orang dalam situasi sulit? Ataukah
ada motif lain.
Namun, pesan terpenting yang perlu
dicermati adalah: rona dinamika kehidupan
memungkinkan setiap orang berada dalam
ritme tantangan dan problem kehidupan.
Inspirasi apa pun yang dianggap
menyelesaikan masalah dapat diambil
orang dalam kondisi kalut dan panik,
termasuk isi cerita sebuah cerpen.
Bukan berarti tidak boleh ada cerita
demikian, tetapi dapatkah disajikan cerita
yang lebih mendidik dan membelajarkan
jiwa. Saya menunggu karya-karya penulis
muda yang menginspirasi positif untuk
bangsa dan kemanusiaan.
Penulis adalah dosen Bimbingan
dan Konseling