IKHWANTO - AKU, KAMU, DAN

Riuh rendah suara ranting bambu berderit memukul-mukul kaca jendela. Segerombol awan yang mengelabu meliuk-liuk seolah sedang berdansa di depanku. Angin semilir seakan tak lelah membelai wajahku yang kini semakin basah. Kulihat jarum infus masih tertancap kuat di salah satu urat nadiku. Entah mengapa aku merasa seperti tak bertulang. Tubuhku lemas bagaikan kain perca usang yang terbuang tak berguna. Bahkan untuk membuka mataku saja sudah tak sanggup lagi. Rasanya tak mampu lagi mata ini melihat dunia luar. Mata ini sudah terlalu lelah untuk menahan air mata yang terus mengalir tanpa henti.
Aku memang bodoh. Kenapa semua itu harus aku lakukan? Di saat hubunganku dengan Faris sudah mulai membaik, aku malah menghancurkannya hingga berkeping-keping. Jangankan menyapa, memandang diriku pun seolah benar-benar haram buatnya. Dan akhirnya kenyataan inilah yang harus kutelan. Kenyataan yang sungguh menyakitkan. Aku tak sanggup. Tuhan, seberat inikah balasan yang harus kuterima?
***
Seminggu yang lalu, tepat di hari Senin sore, aku duduk di kantin kampus dengan ketiga sahabat dekatku. Di tengah obrolan santaiku dengan sahabatku, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sesosok pria yang sudah sangat aku kenal. Oh my God, Faris.
Entah mengapa, pria ini sering sekali mondar-mandir di benakku. Aku pun tak mengerti. Semenjak pertemuan di taman masjid Al-Hikmah itu, aku seolah terkena mantra darinya yang membuatku sulit untuk tidak memikirkannya. Bahkan saking penasarannya, aku pun banyak mencari tahu tentangnya. Mulai dari tanggal lahirnya, alamat rumahnya, makanan kesukaannya, warna faforitnya, hingga klub sepak bola faforitnya.
Sekarang aku dan Faris terlibat dalam sebuah proyek organisasi yang mengharuskan kami untuk sering bertemu dan membicarakan tetek bengek program kerja. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Tidak sampai memakan waktu yang lama akhirnya kami menjadi sahabat yang sangat akrab.
Satu hal lagi yang membuatku semakin tak mampu berhenti memikirkan dirinya, adalah ketaatan ibadahnya. Pernah suatu saat, ketika aku dan dia sedang membicarakan sebuah program kerja yang kebetulan menjadi tugas kami. Ketika adzan sholat Ashar berkumandang, ia langsung pamit izin untuk sholat berjamaah di masjid dan meninggalkan semua pekerjaannya.Subhanallah…
Apakah ini yang dinamakan cinta? Setiap kali aku bertemu dengannya, setiap kali itu pula hatiku bergetar tak karuan. Kini, pandanganku tak beranjak dari Faris. Kulihat ia bersama teman-temannya sedang asyik makan di kantin yang sama denganku.

“Za…? Khanza!” gertak Nafisa membuyarkan lamunanku.
“Kamu kok bengong aja sih Za? Lagi mikirin apa sih?” selidik Naura.
“Iya nih, sedari tadi kita dicuekin mulu” tambah Amira.
“Eh maaf, guys.. sampai mana tadi?” jawabku sekenanya.
“Oh.. aku tahu kenapa si Khanza bengong aja dari tadi,” selidik Nafisa.
“Emang apa Naf?”
“Naura, coba deh kamu lihat pria yang berbaju putih di meja paling ujung itu”
“Mana sih?” Naura kebingungan mencari orang yang dimaksud Nafisa.
“Oh itu… pria itu, Faris bukan sih?” sahut Amira.
“Benar, pria itulah yang membuat si Khanza dari tadi nyuekin kita,” ucap Nafisa mantap.
“…….” aku hanya terdiam tanpa daya.
“Benar kan, Za?” desak Nafisa.
“Apaan sih Naf, nggak kok. Aku cuman agak moody aja hari ini,” kataku beralasan sekenanya.
“Udahlah Za, jangan bohong. Kita ini sahabatmu. Kita udah tahu banget kalau kamu itu sedang beneran moody atau nggak”
“Iya Za, kamu dan Faris ada hubungan apa sih? Cerita dong ke kita, jangan dipendam sendiri gitu,” tambah Amira.
“Apa aku cerita saja ya ke teman-teman?” tanyaku dalam hati.
“Khanza… cerita dong…,” rengek Naura.

Akhirnya karena didesak sahabat-sahabatku, aku pun menceritakan ketertarikanku pada Faris. Aku ceritakan semuanya mulai dari awal kami ketemu, berkenalan, berorganisasi, hingga aku menaruh hati padanya. Aku pun mengatakan kepada mereka bahwa aku sudah lelah memendam rasa ini. Aku ingin sekali mengatakan apa yang ada di dalam hati ini langsung kepada Faris. Aku pun meminta pendapat kepada ketiga sahabatku.

“Jangan Za… Jangan lakukan itu, aku rasa ini bukan waktu yang tepat,” nasihat Nafisa.
“Menurutku juga jangan, kamu belum tahu apakah dia juga memiliki perasaan yang sama atau tidak,” ucap Naura.
“Iya Za, lagi pula Faris itu berbeda dengan pria pada umumnya. Dia benar-benar menjaga dirinya dalam hal pergaulannya dengan lawan jenis,” tambah Amira.
“Tapi guys, aku tak tahu lagi harus gimana membendung perasaan ini, semakin kuat aku memendamnya, maka semakin kuat pula perasaan ini tumbuh.”

Ketiga sahabatku terdiam. Mereka tidak tahu lagi harus mengatakan apa kepadaku. Aku sendiri pun semakin bingung dengan perasaan ini. Entahlah… aku pasrahkan semuanya kepada Tuhan.
***
Aku semakin galau. Perkataan sahabat-sahabatku tadi sore memang benar. Untuk saat ini, memang masih terlalu cepat untuk mengungkapkan perasaanku kepada Faris. Lagi pula aku baru mengenal Faris dan sedikit demi sedikit mulai bisa akrab dengannya. Aku tak ingin jika aku mengatakan apa yang aku rasakan kepadanya sekarang ini, hubungan kami jadi berubah.
Namun di sisi lain, aku sudah tidak sanggup  menahan perasaan ini. Jauh di dasar hatiku, ingin rasanya aku mengungkapkan seluruh isi hatiku padanya. Tuhan, kenapa cinta begitu rumit? Apakah semua orang juga akan mengalami hal yang sama ketika mereka jatuh cinta?
Akhirnya kuputuskan hari ini juga, saat ini juga, aku harus mengatakan perasaanku kepada Faris. Kusimpangkan semua bisikan yang melarangku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Termasuk pendapat ketiga sahabatku. Kuberanikan diri. Kuambil handphone-ku, masuk ke menu pesan dan mengetik kata demi kata yang kutujukan untuk Faris.
***
“Assalamualaikum, Faris, kamu sedang sibuk?”
“Waalaikumussalam wr wb, nggak kok, aku baru saja mengkhatamkan Alquran, Khanza.”
“Wah, udah berapa kali khatam?”
“Udah sering Za, ini yang ketiga sejak satu bulan yang lalu”
“Subhanallah… Faris, kamu benar-benar istiqomah ya..”
“Alhamdulillah Za, masih belajar istiqomah, hehe”
“Oh iya Ris, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu, tapi mungkin agak kurang penting juga sih. Nggak papa kan?”
“Oh silakan tanya aja”
“Menurutmu cinta itu apa sih Ris?”

Dengan tekad yang sudah bulat, aku memberanikan diri untuk menanyakan hal itu kepadanya. Aku pun semakin galau ketika sms-ku yang terakhir tidak juga dibalas oleh Faris. Aku semakin gelisah dan memohon dalam hati agar Faris menjawab pertanyaan ini. Setelah lebih dari dua puluh menit, akhirnya Faris membalas pesanku.

“Wah pertanyaan yang berat itu, Za. Menurutku cinta adalah fitrah yang diberikan oleh Allah untuk saling menyayangi sesamanya dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT”
“Oh seperti itu? Lalu menurut kamu, apa yang harus dilakukan oleh seorang muslimah yang sedang dilanda jatuh cinta kepada seorang pria?”
“Menurutku dia harus memohon kepada Allah dalam setiap doanya agar Allah senantiasa melindungi hatinya dan selalu menyebut nama lelaki itu dalam doanya. Agar ditunjukkan apakah lelaki itu memang jodoh untuknya apa bukan, hehe”

Jawaban Faris semakin membuatku galau. Kini aku merasa sedang berdiri di sebuah persimpangan jalan. Jalan yang satu menuntunku untuk terus melanjutkan percakapan ini dan mengarahkanku agar segera mengungkapkan perasaanku padanya. Sementara jalan satunya menuntunku agar segera menghentikan percakapan ini untuk menjaga hatiku agar tidak terluka semakin dalam saat Faris tidak meresponku. Akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan sms-ku.

“Tahukah kamu Faris, bahwa muslimah yang sedang jatuh cinta itu adalah aku. Dan kamu benar, bahwa setiap kali sehabis sholat, aku selalu berdoa kepada Allah sambil menyebutkan sebuah nama yang aku harapkan akan menjadi imamku kelak”
“Subhanallah… Khanza, semoga  segera kamu didekatkan oleh Allah jodoh yang kamu harapkan.”
“Aamiin… Dan sepertinya jodoh yang aku harapkan sangat dekat denganku. Tahukah kamu siapa nama yang selalu aku sertakan dalam doa-doaku?”
“Siapa ya? Tidak tahu.”

Aku pun menata niat dan hatiku untuk membalas sms berikutnya. Tanganku mulai gemetar. Sengaja aku berpikir lama dan tidak langsung membalas sms-nya terakhir. Dan pada akhirnya, dengan mengucap bismillah, kusebutlah sebuah nama.

“Nama itu adalah Khilman Al Faris”

Aku pun langsung beristighfar. Hatiku semakin gusar dan gelisah. Jantungku berdetak hebat laksana penunggang kuda dalam medan perang. Aku semakin menantikan responnya. Aku bertanya-tanya apakah yang dipikirkan oleh Faris ketika mengetahui aku menyukainya. Aku merasa seolah-olah hubunganku dengan Faris sedang dipertaruhkan pada sms ini.
Akhirnya setengah jam kemudian Faris menjawab pesanku.

“Terimakasih”
***
Semenjak hari itu, Faris berubah sikap. Dia yang dulu selalu baik denganku kini malah mengacuhkanku. Bahkan setiap kali kami bertemu, salam saja tidak pernah terucap dari mulutnya. Mungkin baginya, aku adalah sesosok setan yang harus dihindari. Tuhan, apa salahku? Apakah mengungkapkan perasaan kepada orang yang kucintai adalah salah? Seperti inikah balasan yang harus kuterima?

“Sudah kubilang kan, Za.. kamu jangan ceroboh, jangan turuti nafsumu,” ucap Nafisa.
“Sudahlah Naf, jangan salahkan Khanza terus. Jangan bikin dia jadi tambah sedih,” bela Naura.
“Iya Nafisa, kasihan tuh Khanza,” tambah Amira.
“Nggak papa kok,guys! Kamu bener Naf, harusnya aku tidak ceroboh. Seharusnya aku lebih mikirin saran dari sahabat-sahabatku, yaitu kalian semua dan tidak menuruti nafsuku saja,” jawabku sambil terisak.
“Sudah dong Za, jangan nangis. Aku jadi ikut sedih nih,” rengek Amira.
“Sabar ya Za…,” ujar Naura.
“Maafin aku Khanza, aku cuman nggak habis pikir aja kenapa sikapnya si Faris jadi dingin kayak gitu. Kita labrak aja dia, kita cari tahu apa maksudnya nyuekin kamu, Za,” ucap Nafisa geram.
“Nggak perlu Naf. Faris nggak salah. Aku yang salah. Aku merasa aku ini seorang wanita bodoh yang merindukan seorang pria yang dengan jelas ditakdirkan bukan untukku,” tangisku semakin pecah.
“Khanza… Jangan nangis gitu dong,” ucap Amira terisak.
“Khanza… kami disini selalu ada buat kamu, jangan sedih ya,” tutur Naura.
“Kamu yang sabar Za… jodoh nggak ada yang tahu. Kita hanya bisa pasrah dan terus berusaha memantaskan diri untuk menyambut jodoh kita nanti,” hibur Nafisa.
“…..” aku terdiam seribu bahasa dan tak sanggup lagi berkata sepatah kata pun.
***
Hari ini sungguh melelahkan. Rasanya ada tumpukan beban berton-ton menggelayuti pundakku. Sepulang kuliah aku langsung pulang ke kost. Sesampainya di kamar, langsung kulemparkan tubuhku ke kasur. Merilekskan sejenak pikiran, batin dan tubuhku. Kupeluk guling kesayanganku dan kupejamkan mataku.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Tok…tok…,” terdengar suara ketukan pintu. Dengan malas aku pun membukanya.
“Eh, Rani, ada apa Ran?” Rani, adik angkatan dari jurusan Fisika yang serumah kost denganku.
“Maaf mengganggu Mbak Khanza, ini ada surat undangan, katanya buat Mbak”
“Oh surat ya? Yaudah makasih ya Ran”

Segera kututup pintu kamarku dan membukanya. Undangan ini begitu indah. Hiasan pita berwarna ungu di sudut kiri atas undangan begitu anggun dan cantik. Kubaca namaku di kotak penerima undangan. Tapi, siapakah yang sedang berbahagia ini?
Aku sungguh penasaran. Segera kutarik pelan pita yang menutup kertas undangan itu. Kubaca pelan nama mempelai yang tertulis di dalam undangan tersebut. Masyaa’ Allah… Ternyata nama calon mempelai pria yang ada dalam undangan indah ini adalah Khilman Al Faris. Aku terdiam. Pandanganku nanar. Dunia tiba-tiba gelap. Sungguh gelap.
Penulis adalah mahasiswa  Kimia