Dok.BIPA (Annisah ketika mengunjungi industri keramik)Siang itu Annisah keluar dari kelasnya. Suasana kampus sepi, tak seramai ketika hari efektif kuliah. Ia ramah menyapa orang yang ditemui di sepanjang jalannya. Tanpa ragu, senyumnya yang manis ia berikan pada orang yang sisipan dengannya. Lesung yang ada di pipinya membuat gadis yang lahir pada 09 Juli 1995 itu semakin memesona. Alisnya tebal. Rambutnya pirang menjuntai hingga bahu.
Annisah merupakan salah satu mahasiswa Critical Language Scholarship (CLS), yaitu program beasiswa yang diselenggarakan oleh pemerintah Amerika, diperuntukkan bagi mahasiswa Amerika yang ingin memperdalam bahasa-bahasa penting bagi Amerika. Ada 16 bahasa dunia yang dianggap penting oleh pemerintah Amerika. Salah satunya adalah bahasa Indonesia dan merupakan satu-satunya bahasa yang penting bagi Amerika di kawasan Asia Tenggara. Program CLS sudah berjalan selama enam tahun sejak 2010.
Nama lengkapnya Annisah Fatma Smith. Nama itu cukup membuat heran setiap orang yang pertama kali mengenalnya. Bagi telinga kebanyakan orang, terutama orang Amerika, nama itu bukanlah nama orang Amerika. Nama itu mewakili nama Islam, Indonesia, dan Amerika. Ya, sebab darah Amerika dan darah Batak mengalir dalam tubuhnya. Memiliki nama pemberian neneknya itu, Annisah suka. Ia bangga ketika harus menjelaskan bahwa namanya mengandung unsur budaya yang berbeda dan merepresentasikan nama orang muslim, Indonesia, sekaligus Amerika.
Ayahnya, Philip Smith, bekerja di sebuah perusahaan pesawat terbang sebagai konsultan. Hal itulah yang membuat Philip bertemu dengan Nina Simatupang, perempuan yang melahirkan Annisah. Kala itu Philip mengurusi pesawat yang memberangkatkan haji orang-orang Medan. Di sana ia bertemu dengan Nina. Hatinya pun tertambat pada orang Islam, jadilah ia mualaf.
Pekerjaan ayahnya di perusahaan pesawat membuat keluarga Annisah sering pindah. Annisah dilahirkan di Kuala Lumpur, lalu menetap di sana selama sembilan tahun. Karena pekerjaan ayahnya, pada 2004 mereka pindah ke Kota Atlanta, Provinsi Georgia. Ketika awal tinggal di Amerika, sering kali gadis yang berusia dua puluh tahun itu harus menjelaskan pada teman-teman atau guru-guru barunya terkait namanya yang aneh, bagi orang-orang Amerika. “Dulu ketika saya baru pindah ke Amerika, banyak teman yang tidak pernah bertemu dengan orang muslim, jadi mereka menganggap saya jahat,” tutur Annisah. Berbeda ketika ia masih sekolah di Malaysia, ia sekolah di sekolah internasional. Anak bungsu dari enam bersaudara itu sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang yang memiliki budaya beragam.
Banyak temannya yang tidak mengetahui di mana Indonesia atau ternyata Indonesia memiliki penduduk muslim lebih banyak dibanding negara Timur Tengah. Mereka berpikir bahwa orang muslim selalu mengenakan jilbab. “Dulu sulit sekali, saya merasa semua orang jahat sekali sama saya. Kasihan, saya masih kecil, kenapa semua orang pikir saya jahat karena saya muslim?” keluhnya. Namun, sang ibu selalu mendukung dan menguatkan dirinya agar tidak membenci orang-orang yang menganggapnya jahat. Mereka hanya tidak mengerti. Annisah hanya harus mengajari, membuat mereka mengerti. Bapak dan ibunya selalu kompak dalam mendidik anak-anaknya.
Mahasiswa Hubungan Internasional School of International Service Washington DC itu dididik dengan budaya yang beragam. Sang ibu tak membiarkannya lupa bahwa ia memiliki darah Indonesia. Semua dicampur. Budaya Islam, budaya Indonesia, dan budaya Amerika pun sudah dikenalkan padanya sedari ia kecil. “Ibu saya dari kecil sudah menekankan bahwa kamu Indonesia, jangan lupa, ya!” terang gadis yang hobi membaca dan berenang itu.
Annisah tak diizinkan keluar malam oleh sang ibu, terlebih ketika kuliah di Washington DC. Awalnya ia marah. Banyak teman yang mengucilkannya karena tak pernah ikut keluar malam, party. Tapi, lama-lama Annisah mengerti dan menurut. Ia hanya menonton TV, belajar bersama temannya atau menelepon ibunya. Untungnya ada satu temannya asli Albania yang memiliki budaya sama, yaitu tidak boleh sering keluar malam. Kakak-kakaknya pun demikian, tak sering keluar malam. Lagi pula, Annisah kasihan pada ibu dan bapaknya. Ia sadar bahwa biaya kuliahnya mahal sehingga ia tidak mau keluar untuk membeli barang ini itu yang tidak terlalu penting.
Annisah merupakan mahasiswa yang aktif mengikuti kegiatan di kampus dan luar kampus. Satu-satunya anak perempuan Philip itu juga bekerja untuk membantu sang ayah membiayai kuliahnya yang mahal. Baginya, bekerja tidak apa-apa, sudah biasa, nanti insyaAllah pasti sukses. Berbeda dengan mahasiswa yang ketika kuliah tidak terbiasa bekerja, nanti ketika lulus mereka bingung mau bekerja apa.
Annisah bekerja di School of International Service untuk membuat penelitian dan membantu dosen-dosen menyusun jadwal konferensi. “Dua kali dalam seminggu kerja di rumah orang,” tutur gadis yang juga hobi berlari itu. Orang-orang di sekitar kampusnya bekerja di pemerintahan, jadi mereka orang kaya. Annisah harus mengantar-jemput anak-anak mereka, mengajak bermain serta mengajari matematika dan bahasa. Annisah juga bekerja untuk membantu orang-orang yang hendak mencari rumah, menyewa rumah, kamar, apartemen atau kos. “Saya sibuk sekali, karena saya membantu bapak dan ibu saya untuk membayar,” ungkapnya.
Selain bekerja untuk membiayai kuliahnya, Annisah juga aktif mengikuti kegiatan sosial. Ia mengikuti Peer Health Exchange, dua kali dalam seminggu mengajar anak SMA tentang kesehatan. “Saya suka banget mengajar,” katanya dengan gaya memanjangkan huruf u. Di bidang olah raga, Annisah mengaku paling hobi bermain softball bahkan sebelumnya ia ingin kuliah fokus ke softball. Tapi, karena biayanya mahal, maka ia mengurungkan niat itu. Saat ini ia aktif mengikuti tim softball di kampusnya. Inspirasi mengajar itu ia dapat dari sang ibu sedangkan inspirasi semangat bekerja itu dari bapak. “Saya suka sekali anak-anak. Ayo kita bermain, ayo kita belajar,” ungkapnya bersemangat.
“Inspirasi saya dari kakek Indonesia,” tuturnya bangga. Kakeknya dahulu adalah bupati di Kisaran, sekitar dua jam dari Medan. Sang kakek membangun sekolah agama Islam untuk hafid Quran, juga rumah sakit. “Kakek dan nenek saya sangat baik, tapi sudah meninggal semua,” katanya haru. Belum pernah ia bertatap muka dengan sang kakek. Selama ini ia hanya mendengar cerita dari ibu dan kakak-kakaknya. Meskipun demikian, inspirasi terbesarnya untuk belajar tentang Indonesia adalah dari sang kakek. Setiap Ramadan, sang kakek membuka gerbang rumahnya dan memberi makan orang-orang miskin, mengajak mereka berbuka puasa.
Kecintaanya pada budaya Indonesia membuatnya ingin kembali ke Indonesia. Ia selalu rindu pada keluarganya, ia selalu rindu pada Indonesia. Ia rindu Ramadan dan hari raya di Indonesia. Sejak sebelas tahun di Amerika, Annisah hanya dua kali berkunjung ke Indonesia karena tiketnya mahal. “Saya mau, insyaAllah kembali di Indonesia untuk kerja,” tuturnya mantap. Maka, salah satu cara yang ia lakukan adalah mempelajari bahasa Indonesia.
Annisah membuat aplikasi untuk program CLS. Awalnya ia bingung, karena ia juga sangat ingin mempelajari bahasa Arab. Lalu, ia berkonsultasi dengan dosennya. Sang dosen memberi masukan bahwa Annisah telah mengikuti kelas bahasa Arab di kampus selama dua tahun. Annisah juga telah mampu berbicara bahasa Indonesia, tapi masih informal karena belum pernah belajar bahasa Indonesia di kelas. Jika Annisah mau bekerja di Indonesia, maka ia harus belajar bahasa Indonesia yang formal. Annisah pun membuat aplikasi program CLS untuk bahasa Indonesia. Awalnya ia pesimis aplikasinya tidak diterima. Ia pikir tidak apa-apa, meski tidak diterima, ia masih bisa pulang ke Indonesia. Tapi, ternyata aplikasinya diterima dan ia bisa belajar bahasa Indonesia gratis.
Menurut Annisah, program CLS sangat bagus. Ia suka. Ada banyak orang, beragam budaya sehingga ia bisa belajar banyak hal. “Ketika mengikut CLS, saya jadi ooooh, ini saya bicara bahasa apa, Indonesia, Melayu, Jawa, Batak. Saya bingung,” tuturnya sambil tertawa. Ia sudah sering mendengar kosakata-kosakata yang ada. Sebelumnya, Annisah malu. Malu karena sebagai orang Indonesia, ia hanya sedikit berbicara bahasa Indonesia. Namun, setelah mengikuti CLS, ia tak lagi malu. Ia merasa guru-guru di CLS sangat baik dan mau membantunya.
Keluarganya yang heterogen membuatnya mengenal sedikit-sedikit banyak bahasa. Keluarga di Indonesia campur, omnya dari Sunda, ada tantenya orang Dayak, ada yang dari Banyuwangi, ada pula yang di Surabaya. “Jadi semua campur. Jadi ke mana-mana ada saudara. Enak. Keluarga saya semua dekat,” ungkapnya senang. Semua keluarga dan sepupunya yang di Amerika pun suka dengan Indonesia. Sebab, sang ibu selalu cerita serta mengenalkan budaya muslim dan budaya Indonesia sehingga mereka paham. “Semua keluarga saya baik,” katanya bangga.
Setelah mengikuti program CLS dan mempelajari bahasa Indonesia, Annisah ingin melanjutkan kuliahnya. Ia ingin mengambil S2 dan fokus pada kebijakan lingkungan. Ia ingin kerja untuk deforestasi lingkungan, green peace, dan semua tentang hutan dan lingkungan untuk Indonesia. “Ya ampun, saya melihat Indonesia, itu negeri ibu saya, kenapa begitu? Sumatera dan Kalimantan deforestasinya sudah banyak. Kalau ini tetap saja, dua puluh tahun lagi pohon-pohon di Sumatera dan Kalimantan bisa habis,” paparnya khawatir. Annisah mau membantu Indonesia untuk membuat lingkungan yang bagus. Annisah sangat cinta Indonesia. Ia akan mempelajari banyak hal di berbagai tempat untuk nantinya kembali ke Indonesia dan menyelamatkan hutan-hutan Indonesia. Tak menutup kemungkinan ia akan menikah dengan orang Indonesia. “Orang mana pun, tidak apa-apa, kata ibu yang penting dia muslim, ya,” tuturnya sambil mengulur senyum.
Annisah berpesan untuk orang-orang asli Indonesia agar mencoba budaya yang berbeda karena ada banyak budaya yang mirip Indonesia. “Kita harus banyak belajar, masih banyak yang belum kita tahu. Ambil banyak cerita dari banyak orang. Jika belum bisa datang ke tempat-tempat jauh, ada buku, ada internet,” tegasnya. Moto gadis perpaduan tiga budaya itu adalah “Kapal laut tetap aman di pelabuhan, tapi itu bukan takdirnya”.Yana