1Oleh Ardi Wina Saputra

Terlalu bebasnya kebebasan pers hingga munculnya beragam media online merupakan masalah yang merambah persuratkabaran tanah air. Menanggapi kebebasan pers, Ketua Dewan Pers Indonesia, Bagir Manan, menemukan tiga persoalan besar. Pertama, ada yang menyebut kebebasan pers telah kebabalasan. Kedua, mutu jurnalistik sebagian pers tidak memadahi. Ketiga, sebagai fourth estate, pers masih tertarik pada persoalan politik baik menjadi partisipan politik maupun kontrol. Belum tuntas masalah tersebut diselesaikan, fenomena media online (media digital) mulai bermunculan. Budayawan, Radar Panca Dahana dengan keras mengatakan bahwa media massa dengan bentuk mutakhirnya tidak lain merupakan wujud imperialisme data yang paling komprehensif dan super represif. Inilah yang dianggap sebagai kebisingan di tengah masyarakat. Istilah kebisingan sengaja diciptakan oleh Jacob melihat kondisi masyarakat yang dihujani berbagai informasi setiap harinya. Hujan informasi dianggap bising karena hujan tersebut berasal dari berbagai sumber sehingga masyarakat harus mampu memilih dan memilah sumber mana yang dapat dipercaya dan mana yang hoax belaka.
Reinald Kashali secara tegas mengatakan bahwa pembaca sekarang memiliki perilaku membaca yang berbeda total dari 10-20 tahun sebelumnya. Pembaca yang tersegmentasi, itulah istilah yang digunakan oleh Guru Besar Universitas Indonesia tersebut. Segmentasi baru, akan muncul berdasarkan kecepatan dan ketepatan. Tidak dipungkiri, pembaca yang sibuk membutuhkan informasi yang cepat dan tepat. Mereka mencari berbagai sumber berita dan membaca sekilas. Perilaku tersebut secara tidak langsung menjadi bom waktu bagi perusahaan media cetak. Khususnya majalah yang juga harus bersaing dengan koran. Melihat fenomena tersebut, para awak pers yang menggeluti bidang majalah janganlah sampai gusar.
Bekerja di bidang pers merupakan panggilan (vacatio) dalam diri seseorang. Bukan berdasarkan uang, jabatan, atau tuntutan. Realita tersebut sekaligus cambuk bagi awak pers mengingat dasar bertahannya media tidak dapat dilepaskan dari modal dan bisnis. Awak pers merupakan orang yang terjun langsung dalam bidang media publikasi, baik itu cetak maupun elektronik. Para mahasiswa dan pelajar yang mengabdikan dirinya dalam bidang media, baik skala mikro (media intern) ataupun media makro (media ekstern) juga termasuk awak pers. Di sinilah mereka dituntut untuk berdikari dari kebisingan informasi dengan cara yang elegan, akademis, dan santun, bisakah?
Bisa! Jurnalisme makna adalah jawabannya. Jurnalisme makna atau yang disebut sebagai jurnalisme pembangunan diperkenalkan sebagai cara yang tidak hanya mengedepankan strategi survival, namun juga berani melakukan pembelaan terhadap underdogs yang dikemas dalam bentuk yang santun. Di era milenium ini, jurnalisme makna terbukti mampu bersuara lantang di tengah kebisingan arus informasi. Jangan sampai terintimidasi media online.
Mengutip pidato Soekarno pada Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia , 23 Oktober 1965, Proklamator nomor wahid tersebut berpesan pada rakyatnya Dat wij onze kluts niet kwitz raken! (supaya kita tidak kehilangan akal). Pesan Dat wij onze kluts niet kwitz raken! harusnya dijaga oleh media cetak yang terintimidasi online. Para awak media harus tetap tenang dan yakin akan keterbacaan medianya. Mengantisipasi hal tersebut, jurnalisme makna layak dijadikan sebagai jawaban yang patut diprioritaskan awak media. Jurnalisme makna lebih mengedepankan cara memaknai sebuah fakta. Inilah yang membuat jurnalisme makna lebih dikenal sebagi jurnaisme pembangunan. Ikut membangun, mengonstruksi solusi pemecahan masalah bersama dengan pembaca.
Pembangunan dan pemaknaan sebuah fakta tentu mengedepankan sisi kemanusiaan. Oleh sebab itu, jurnalisme makna membentuk pola perilaku humanisme transedental. Secara harfiah humanisme transedental merupakan roh kemanusiaan yang beriman. Suharyo, menerangkan bahwa humanisme transedental merupakan tindakan menghormati kehidupan, menjunjung tinggi martabat manusia, memperjuangkan kesejahteraan umum, memperluas semangat solidaritas, dan memberi perhatian lebih pada sesama yang kurang beruntung.
Saya bisa saja menyuarakan kritik asal dengan cara di mana tidak ada orang tertentu merasa terkena, ungkap Franz Magnis Suseno, Guru Besar STFT Diryakara Jakarta. Baginya, penulis harus sengaja menulis dengan kabur, atau kurang jelas, tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga membuat pembaca tahu apa yang dimaksud. Level penulisan demikian merupakan level yang sangat cerdas. Bukan hanya menggunakan akal, namun juga diperlukan empati dalam menulis. Pembaca tidak diajak untuk menghakimi masalah, namun diajak berembug bersama memecahkan masalah.
Majalah Komunikasi UM yang kini memasuki usia 37 tahun terbukti semakin matang dalam menentukan arah jurnalismenya. Kematangan tersebut terbukti dengan majalah ini, baik secara sadar maupun tidak sadar, telah menerapkan prinsip jurnalisme pembangunan dalam setiap tulisannya. Mulai dari laporan utama, hingga rubrik-rubrik berita soft news.
Topik yang diangkat dalam laporan utama selalu cerdas, bebas, dan bermartabat. Bukan hanya mengkritisi tentang fenomena yang terjadi di kampus, namun juga turut memberi prespektif lain yang juga mengonstruk pemahaman pembaca untuk lebih arif, bijakasana, dan teredukasi dalam memandang setiap fenomena yang ada. Pemilihan berita soft news juga disajikan demikian. Kejadian atau peristiwa yang notabene telah berlangsung dan mungkin juga disajikan di media online UM, oleh Komunikasi disajikan dari sisi yang berbeda. Behind the scenes, itulah sudut yang diambil oleh para awak media Komunikasi agar berita yang ditampilkan tetap layak untuk dibaca dan memberi pemahaman lebih pada pembaca dalam menanggapi suatu peristiwa.
Wujud humanisme transedental juga tampak dalam Majalah Komunikasi UM. Penulisan rubrik feature, merupakan wujud nyata bahwa media ini telah mampu mengemban fungsi memanusiakan manusia. Profil yang diangkat adalah orang orang yang keberadaanya berada di sekitar kampus, namun belum terekspose secara nyata. Uniknya lagi tidak sedikit inspirasi yang dapat dipetik dari mereka. Hal ini membuat para pembaca yang notabene adalah warga kampus akan terenyuh, tergelitik, bahkan terlecut hatinya untuk kembali tegar setegar para kaum inspiratif yang diangkat oleh majalah Komunikasi.
Wujud jurnalisme makna yang mengemban sisi-sisi humanisme transedental ini alangkah baiknya tetap dijaga. Namun, dengan tetap rendah hati dan penuh kesederhanaan membuka diri terhadap kemajuan zaman yang semakin berkembang agar dapat lebih inovatif lagi dari waktu ke waktu, sesuai dengan semboyannya: cerdas, bebas, dan bertanggung Jawab.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia UM. Opini ini Juara I kategori Opini Kompetisi Penulisan Rubrik
Majalah Komunikasi 2015.