Masihkan keperawanan telah menjadi persyaratan yang mutlak dalam sebuah perkawinan budaya timur? Di satu sisi, keperawanan bisa menjadi harga mulia seorang mempelai wanita. Di sisi lain, keperawanan telah menjadi kartu mati bagi seorang perempuan untuk menatap masa depan.
Novel ini mengupas sebuah hal tabu namun begitu dekat dengan kehidupan wanita masa kini. Isu keperawanan menjelang pernikahan diceritakan dengan mengangkat psikologis tokoh utama tanpa menjebak pembaca dalam nuansa dramatis. Pergolakan jiwa tokoh utama Charista disampaikan dengan jujur dan lugas tanpa kehilangan muatan emosi yang kuat. Di sini Charista seolah mengajak pembaca menggugat peraturan tidak tertulis mengenai arti sebuah keperawanan dalam pernikahan. Sesuatu yang rahasia justru sepatutnya dibicarakan demi sebuah keadilan kaum perempuan.
Melalui pemikiran Charista, penulis mengajak pembaca kritis tentang isu gender terutama keperawanan. Charista pernah terjeremus cinta buta bersama Farel di masa muda sehingga membuatnya kehilangan mahkota keperawanannya. Hal tersebut membebaninya seumur hidup sehingga sempat membuatnya takut menikah. Charista mulai kembali berani membuka hati ketika bertemu Nathan. Segala pengertian Nathan perlahan meyakinkan Charista untuk menerima lamaran lelaki itu.
Namun bayang-bayang keperawanan mulai menghantuinya lagi justru ketika mendekati hari pernikahannya. Sosok Farel tiba-tiba datang dan menawarkan kembali kisah cinta yang dulu pernah ada. Charista terjebak antara masa depan dan masa lalu yang sama-sama memikat sekaligus menjerang kepedihan. Charista, sosok perempuan yang sukses dalam karir dan sosial ini harus kembali menyesali dan mempertanyakan esensi keperawanan dalam sebuah pernikahan?
Sebenarnya Charista ini mewakili kaum perempuan pada umumnya, terutama orang yang pernah mengalami hal yang sama dengannya. Keperawanan perempuan selalu menjadi kambing hitam dalam sebuah pernikahan. Entah undang-undang mana yang menjamin bahwa kebahagiaan sebuah pernikahan adalah dimulai pada keperawanan yang mutlak. Secara humanis, penulis ingin menunjukkan bahwa Charista hanyalah manusia biasa yang pernah melakukan suatu kesalahan besar pada masa remajanya. Bisa jadi masih banyak remaja lain yang melakukan kesalahan yang lebih parah dari Charista, tapi kesalahan yang terlalu tabu ini telah menggiring perempuan pada keputusasaan memperbaiki keadaan.
Setiap kesalahan berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki, walaupun tidak akan bisa menjadikannya seperti semula. Sekecil apa pun keputusan yang diambil pada masa lalu, pasti akan berdampak pada masa depan. Novel ini sesuai dengan konteks kekinian dalam melihat pergaulan pemuda Indonesia yang semakin bebas. Hampir setiap semester terdapat kasus siswa dikeluarkan dari sekolah karena hamil di luar nikah. Belum lagi kasus pelecehan seksual yang mengancam anak-anak sampai dewasa. Semua itu sepatutnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia, terutama orang tua dan sistem pendidikan untuk berbenah.
Pendidikan seksual mungkin sesuatu yang masih dianggap tabu, namun sebenarnya memiliki manfaat yang baik jika diajarkan dengan tepat. Novel ini hanya fragmen kecil dari kegelisahan jutaan perempuan di Indonesia yang harus menanggung beban dari sebuah keperawanan. Sementara itu, mereka bahkan tak berkutik untuk mempertanyakan hal sebaliknya kepada pihak lelaki.
Novel ini memang hanya merangkum segi psikologis satu tokoh korban saja. Bahasa yang digunakan cukup rapi meskipun terkadang terlalu monoton sehingga klimaks kurang memikat. Namun, setidaknya novel ini sudah berani bersuara untuk membela sekaligus mengadili keperawanan yang selalu dijunjung sebagai sebuah keniscayaan menuju kebahagiaan pernikahan. Hal ini membuat esensi sejati pernikahan yang membahagiakan justru dilupakan, yaitu gerbang bagi kedua pasangan untuk saling memperbaiki dan melengkapi dalam bahtera kehidupan bermasyarakat. Penerimaan terhadap pasangan sebenarnya mendidik diri kita sendiri untuk rajin mensyukuri segala nikmat Tuhan. Apa berani menggugat pernikahan tanpa kepercayaan untuk saling memiliki?
Penulis adalah mahasiswa
Pascasarjana Pendidikan Sejarah UM. Pustaka ini Juara III kategori Pustaka Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2015.