Oleh Kurnia Indrianti, S.Pd

Ku taruh dua piring nasi yang sudah ku dinginkan di atas meja yang bertaplak batik. Kulirik, kau hanya melihatku seolah-olah mengamati apa yang aku lakukan. Ku hela nafas panjang. Rumah kontrakan berbentuk persegi itu seolah menjadi saksi kerepotanku yang tak henti henti sejak dimasjid membunyikan qiroah pertanda mau adzan subuh. Kaki dan tanganku sudah mulai beraksi dirumah kontrakan yang bercat coklat serta ada dua kamar yang bisa dihuni. Sebenarnya jumlahnya ada 3 kamar tapi pemiliknya tidak membolehkan kamar yang berada di belakang ruang tamu untuk dihuni, entah apa alasannya aku juga tidak tahu.

Kursi kayu berlapis spon yang sudah hampir rusak selalu kau duduki sambil menatapku dan mengamati setiap gerak gerikku. Sesekali kau julurkan lidahmu yang merah, seolah olah tak mau kalah dengan Einstein yang menjulurkan lidahnya karena melihat seorang temannya diantara kerumunan sehingga Einstein mengejeknya dengan menjulurkan lidahnya.

“Sudah siap apa belum makan malamnya?” suara suamiku terdengar dari kamar yang berukuran 3 x 2 meter. Kudatangi suamiku ke kamar

“Ayo kita makan, sudah kusiapkan dimeja” jawabku sambil kuselimuti sikecil  yang sedang tidur pulas karena seharian bermain-main dengan temannya. Segera suamiku melangkahkan kakinya ke tempat makan sambil melihat hidangan yang telah kusiapkan seolah-olah ingin mengabsen kehadiran lauk pauk yang akan dia makan. Senyumnya mengembang ketika suamiku melihat ikan pindang yang ku goreng, sambal tomat, dan sayur lodeh.

“Wah, perutku sudah tidak sabar untuk segera makan.“ suara ringan suamiku memecahkan kesunyian. Langsung dilahapnya makanan yang sudah aku siapkan. Sesekali suamiku minum air putih karena tersedak, kami makan berdua ditempat makan yang hanya beralaskan hamparan karpet berwarna hijau dengan ukuran 2x 2 meter. Kami tak pernah menawarimu makan, karena pasti kau tolak, apalagi suamiku tak pernah menghiraukan keberadaanmu. Walaupun saat ini kau melihat dan mengamati kami sedang makan berdua, tak juga aku menawarimu makan, kau pasti akan makan sendiri kalau kau merasa lapar tak perlu harus kusuruh atau bahkan harus kusiapkan.

Sesekali kulirik kedalam kamar, kulihat nisa anak perempuanku sedang berganti posisi tidur.  Ku lirik juga kau yang duduk dikursi usangmu, lagi-lagi kau julurkan lidahmu yang merah itu.

“ Sudah disiapkan apa belum mobilnya besok yah ?” ku awali perbincanganku dengan suamiku.

“Kemaren kata pak sopirnya sudah siap besok akan datang sesuai perjanjian, kita tunggu besok ma” jawab suamiku sambil mengunyah sedikit makanan yang tertingal di mulutnya.

“ Jam berapa katanya mau kesini “ sahutku sambil membereskan piring kotor yang ada di depan ku.

“Katanya antara jam 9 atau jam 10an, agak siangan sih ma tapi tidak apa-apa kita bisa siap-siap dan beres-beres dulu” tutur suamiku

Setelah kami selesai makan ku bersihkan semuanya dan ku cuci piring-piring yang kotor. Malam semakin larut, angin dingin yang mulai bertiup smakin menekan mataku. Tetesan air huajn tidak berhasil menahan kantuk yang sudah mendera ku. Kupandang jam dinding yang bergantung di sebelah foto ku jarum jam telah menunjukan 20.15 menit. Belum begitu malam masih ada waktu untuk beres-beres. Ku pandangi kardus-kardus yang tertata rapi di ruang tamu.

“Sudah ada 5 kardus, tinggal 3 kardus lagi.” gumamku sambil menarik kardus kosong untuk ku isi barang –barang perlengkapan yang ada di kontrakan itu.

Aku tau kau tiba-tiba mendekatiku. Bajumu yang kumal itu terlihat jelas oleh mata ku. Entah sudah berapa lama baju mu itu tidak kau cuci

”Tidak usah kau membantu ku, aku sudah bisa mengerjakannya sendiri, tak usah kau bantu pun nanti juga akan selesai” ucapku sambil ku masukan barang-barang ku ke dalam kardus. Tetap saja kau berdiri di sampingku tanpa bersuara atau menanggapi ucapanku tadi. Kuambil barang-barang yang ada di dapur ku, kau berjalan mengikuti gerak langkah ku kedapur. Ketika aku berjalan ke ruang tamu kau juga mengikuti di belakang ku. Ku biarkan kau dengan kemauanmu itu. Aku tetap beres-beres hinga jarum jam menunjukan pukul 23.00 WIB.

Terasa badanku sudah tak kuat lagi, mata ku terasa lengket akhirnya ku rebahkan badan ku di kamar, di samping anak dan suamiku yang sudah tertidur pulas sejak beberapa jam yang lalu. Ku pejam kan mata ku yang sudah tadi minta di istirahatkan. Beberapa menit kemudian aku sudah tidak tau apapun yang terjadi. Termasuk apa yang kau lakukan di ruang tamu, atau kah kau masih duduk termenung di kursi usang mu ataukah kau sudah tidur terlelap di kamar mu.

Hening malam serasa di kumur waktu, langit berganti gaun dari merah tua menjadi hitam dan lembut. Kudengar suara gemericik air dari arah kamar mandi yang tak jauh dari kamarku kucoba membuka kelopak mataku yanng masih terasa lengket. Samar-samar kulihat suami dan anak ku tertidur pulas, ku dongakan kepalaku ke arah pintu kamar yang terbuka separuh, takterlihat apapun kembali kuletakan kepala ku di atas bantal.

” Pasti kau sedang mandi, kerjaan mu setiap malam pasti mandi dan menghabiskan air. Kenapa tidak sekalian kau cuci baju mu yang kumal itu biar terlihat bersih” gerutuku sambil memejamkan mata. Suara gemericik air itu tetep saja berbunyi hingga aku tertidur lagi.

Aku terbangun ketika pak Ahmad seorang takmir masjid telah mengumandangkan adzan subuh. Pelan-pelan ku meningalkan tempat tidur karena takut mengganggu tidur suami dan anak ku, mungkin merekaa sedang bermimpi indah. Ku langkahkan kakiku kekamar mandi, terbelalak mataku melihat dikamar mandi tak ada air sama sekali

” Pasti ini kelakukan mu tadi malam, kau tak mau mengalirkan air kau habiskan dan tak kau sisakan sedikitpun, apalagi kalau masih pagi seperti ini aliran airnya kecil sekali. “ gumam ku sambil ku nyalakan kran air. Aku duduk di ruang tamu sambing menuggu air penuh, kulihat tumpukan kardus yang berisih peralatan rumah tangga ku sudah siap di anggkut. Sesaat kemudian aku berjalan menuju kamar mandi aku segera membersihkan diri dan kulanjutkan sholat subuh. Selesai sholat aku menuju ke dapur dan memasak untuk sarapan pagi. Tak lama kemudian terdengar suara canda tawa dari arah kamar. Ternyata anak dan suamiku sudah bangun. Segera ku suruh mereka untuk membersihkan diri.

Sarapan pagi sudah ku siapkan. Nisa , bidadari kecilku mulai merengek meminta makan. Karena badannya yang gendut sehingga dia tak kuat menahan lapar. Kami sarapan pagi bersama, kau tak juga muncul dihadapan kami, tetapi kami tak peduli dimana kau berada. Aku membereskan semua piring dan peralatan dapur dan segera ku masukan ke dalam kardus. Terlihat suamiku mengepel lantai. Tak lama kemudian mobil pick up sudah datang, kupersilahkan pak supir masuk tapi beliau menolaknya malah membantu kami mengangkat barang-barang ke atas mobil.

Hampir satu jam kami membereskan barang-barang akhirnya semua terangkut menuju rumah baru kami. Kupastikan semua bagian rumah kontrakan telah bersih. Sikecil nisa sudah tak sabar mau naik mobil, pak sopir sudah siap meluncur. Aku berdiri di samping mobil sembari menunggu suamiku memberikan kunci kontrakan ke pemiliknya. Satu tahun aku mengontrak di rumah ini, tapi tak pernah sekalipun kau berkata-kata. Yang ku tau kau hanya bisa menjulurkan lidah mu. Kulirik kaca jendela rumah itu, begitu terperanjak saat aku melihat mu di balik kaca jendela. Tak biasanya kau memeprlihatkan diri saat siang hari. Ku lihat kau tetap memakai bajumu yang kumal, tapi ada yang aneh, kali ini kau menjulurkan lidah mu semakin panjang, kau tarik lidah mu dengan tangan dan semakin panjang hingga bemeter-meter atau bahkan kiloan meter. Ruang tamu itu terlihat hampir penuh dengan juluran lidah mu yang semakin panjang dan terus menujur semakin panjang. Aku masuk ke dalam mobil bersama anak dan suamiku. Pak sopir telah menancapkan gas, tanda mobil akan dijalankan. Aku hanya bisa melihatmu dari kaca jendela mobil. Sepertinya rumah itu sudah penuh dengan lidah mu yang tak berhenti menjulur. Kami meningalkan rumah itu tepat pukul 10 siang. Selamat tinggal penghuni kontrakan aku takkan bertemu kamu lagi

“Biarlah dia menjaga rumah itu, kita sudah punya rumah yang baru serta penjaga rumah yang baru juga “ tutur suamiku sambil mengembangkan senyum ke arahku. Ku kerutkan dahiku, bertanda banyak pertanyaan yang muncul diotakku atau bahkan ribuan pertanyaan.