Hentikkan, selametan besok kuharap jangan lakukan!

Jangan tanyakan mengenai dendangan koplo, suara serak tetangga dan keramian.  Karena hujan tahu tak seharusnya ia datang hari ini, tanpa iapun Sumberjo Kulon sudah membiru. Hujan tahu, para tetanggapun tahu. Selamatan kematian adalah satu-satunya acara susah yang diadakan secara meriah. Layaknya korban nelangsa, keluarga yang ditinggalkan akan selalu terlihat malang. Setidaknya begitu hasil baca wajahku pada tetangga yang menyerbu ruang tamu dan latar yang telah dibeberi karpet pinjaman masjid. Para tetangga seakan sepakat bahwa mereka harus tutup mulut, tak bicara perihal sawah atau kerja, pun tentang desas-desus yang tersisa setelah bapak tiada.

Sudah jelas, tugas kami adalah untuk bersedih, karena kami adalah anak bapak. Kami sepatutnya bersedih laksana skenario yang ditugaskan sutradara. Namun perkara menjaga mulut bagi manusia adalah hal sulit, mustahil. Bahkan setelah kami berusaha sekuat tenaga selama 3 hari ini untuk bermuram durja, berharap memanen iba. Namun para tetangga tetap berbagi suara bising, mendekatkan daun telinga dan mulut lain, berghibah mengenai desas-desus itu. Jangan salahkan aku jika aku terdengar durhaka, memang begini adanya. Kematian bapak seolah tak mengagetkan. Iba itu hanya untuk gadis ingusan dan usia belasan yang tak tahu beratnya menanggung tugas merawat bapaknya serta hidup selalu dihantui kekurangan uang. Setelah kuteliti kembali, rasa iba itu memang sudah lenyap.

Tak usah saja, tak usah dilaksanakan jika sudah dilupakan!

Pandanganku mengekor pada barisan sebelahku, ibu, adik-adikku, Dimas dan Dinanti. Duduk berjejaran berkerudung kelambu. Kecuali kepada 2 saudaraku aku terus memicingkan mata pada ibu yang telah menjanda. Lamat-lamat kulihat, berusaha mencari senyum yang kutahu tengah ia sembunyikan. Jarang pernah coba bohongi orang yang senasib, aku tahu ia tengah berjoget India di dalam, namun ia tutupi dengan wajah yang kelam. Secepatnya aku hentikan lirikanku, takut segera muntah kalau kelamaan. Jijik!. Aku terima jika ia tak merasa sedih, tapi harusnya dia mempunyai rasa tanggungjawab pada desas-desus yang disebabkan karenanya, bukan?

Seiring pak Karmin membaca yasin secara solo, aku beralih menatap pada Pak Kusno. Mantri desa yang anteng duduk di depanku. Laki-laki paruh baya, duda sekaligus pahlawan bagi keluarga kami. Pahlawan akan datang saat lakon menderita, begitu juga dengan Pak Kasmin. Saat bapak mengalami kecelakaan kerja yang berujung pada kelumpuhan, Pak Kasminlah mucul. Tak terasa sudah hampir 8 tahun ia menjadi bayangan bapak, dan Arjuna bagi ibu. Ia datang membawa beragam bantuan pada keluarga kami yang malang. Ia datang saat uang semesterku tak ada. Ia hadir saat uang SPP adik-adik menunggak, ia pun hadir kala beras di lumbung tinggal satu dua butir. Tak lama aku segera tahu, tak ada kebaikan yang tak meminta balasan.

Selametan malam ini terasa lebih cepat, mungkin sudah terbiasa, karena ini kali ketiga. Satu persatu tetangga keluar, meninggalkan Pak Kusno, satu-satunya yang tinggal saat yang lain tidak. Beliau mendekat pada ibu, seakan ingin meniupkan harum kehidupan pada wanita yang baginya terlihat malang itu. Aku memantau dua pendosa itu dari ruang tengah, harap-harap cemas apabila ada satu-dua tetangga yang datang. Aku tidak ingin keluargaku menjadi bahan gunjingan lebih dari sekarang.

Hentikkan, selametan besok kuharap jangan lakukan!

“tidak usah selametan besok, hentikan saja” ibu masuk ke ruang tengah. Sindiranku menghentikan tangannya dari mengambil gelas di ujung meja.

“apa maksudmu?”

“tidak usah berpura. Ibu tahu kalau ibu jadi gunjingan orang. Ndak usah selamten saja dari pada menimbun malu”  ku berusaha setenang mungkin mengatur nada

“apa?” ibu menyalak, Dimas menggeleng tanda tak setuju

“semua orang tahu kalau ibu main gila sama Pak Kusno!” ibu bangkit, mengambil gelas di meja dan melemparkannya ke arah lain. Seakan membuang emosinya.

Beliau berbalik, mendekatkan wajahnya padaku “memangnya kenapa, huh? Kenapa?” bibir ibu bergetar, namun air mata yang kuharap setidaknya satu-satu jatuh ternyata tidak. Matanya membesar, ia berkacak pinggang, aku hanya menunggu,

“kamu kira ibu akan mengelak? Akan meminta ma’af? Oh tuhan! Kalian tidak berhak untuk menghakimi ibu?” Dinanti memeluk ibu, gadis 14 tahun itu ikutan menangis. Aku berdiri, merasa benar akan sikapku aku berkata,

“aku malu bu”

“mbak!” Dimas angkat bicara, takut bagaimana percakapan ini berlanjut pada arah yang tak diinginkan.

“kamu yang ndak tahu malu! Memang siapa kamu berani menghakimi? Kamu kira siapa yang membuat kamu sukses seperti ini?” ibu menyalak, aku semaki tidak mengerti dengan ucapannya

“kamu ndak akan jadi PNS seperti sekarang kalau ndak ada laki-laki itu, adikmu ndak akan bisa sekolah kalau bukan uang laki-laki itu! Memang siapa bapakmu? Bisa apa bapakmu? Siapa yang selama ini menjaganya? Siapa yang memndikannya? Siapa yang membersihkan tinjanya?”

Bagai keserupan, ibu melesat meninggalkan kami.

?          ?          ?

Kuharap dicukupkan derita keluarga kami!

Sunyi, yang terdengar hanya hembusan nafas milikku senidiri. Rasanya amat ngantuk, efek menangis karena percakapan tadi. Malam menjalankan tugasnya untuk menghadirkan sepi, sepi memberi kelegaan pada pikiranku sehingga bisa melayang ke sana-kemari. Memikirkan masak-masak, menganalisis, dan mengklasifikasi tiga tokoh utama malam ini, ibu, bapak dan Pak Kusno. Pembagian peran antagonis dan protagonist harus selesai malam ini, karena skenario kini telah jelas. Ibu mengakui bahwa pak Kusno adalah selingkuhannya.

Sayup-sayup terdengar gemericik air dan suara kran dihidupkan di belakang. Aku setengah ragu, memaksakan ragaku untuk beranjak. Memastikan jenis makhluk apa yang mencoba mengusik malam suci ini. Ruang gelap, hanya cahaya rembulan yang menyela lewat jendela kecil dan lubang-lubang dinding dapur sebagai penerang. Sunyi namun penglihatan cukup jelas, aku berjinjit, setenang mungkin untuk mengambil momentum penyergapan. Lamat-lamat sebuah punggung terlihat, ia bergerak maju mundur tepat di pancuran, tempat pencucian di pojok dapur. Aku hanya memperhatikan punggung yang amat kukenal itu dari kejauhan, punggung milik ibu.

Kran dimatikan, suara gemericik air berganti dengan isak tangis wanita tua itu. Sesekali ia menggerakkan sikunya ke arah muka, sepertinya menyapu air mata. Aku bergerak ke samping satu dua langkah, mencari tahu apa yang tengah ia lakukan. Gelapnya malam membuat putih beras semakin bersinar. Ia tengah mencuci beras yang sangat banyak. Aku merasa ganjil, untuk apa beras itu? Bukankah itu beras yang disiapkan untuk selametan besok?

“selametannya ndak boleh berhenti” ucapnya di antara isak yang menggema di ruang ini.

Aku mengerti, melangkah satu-satu, mendekat padanya,

Satu langkah,

Bayangan masa lalu berselebak, satu-satu penjelasan ingin ku rangkai menjadi satu frame,

“akhirnya hal yang besar terjadi dalam hidupku! Bapak kecelakaan, divonis lumpuh, dan aku pun bersyukur sebesar-besarnya bahwa ia tak dipanggil oleh yang di atas. Aku tak tahu bahwa suatu hari aku akan menyesal karena bersyukur sebesar itu”

Dua langkah,

“aku benar-benar lelah dan putus asa. Aku datangi rumah sakit seusai kuliah karena aku dengar bapak memarah. Panik yang kurasa 2 tahun lalu saat bapak kecelakaan ku rasa sudah sirna, berganti kejengkelan dan kekecewaan karna tuhan memutuskan tidak mengambil beliau. Aku lelah menggurusnya, menjaganya, menyemangatinya, terutama lelah karena hidup semakin susah. Uang kuliah tak ada, harus membeli obat dan kebutuhan. Tak salah, toh aku sudah kerja sambilang, namun tak cukup. “kenapa bapak ndak mati saja” ucapanku tak terkontrol lagi, menangis di pojok kamar rumah sakit, mengadu pada ibu yang kuharap memiliki solusi.”

Tiga langkah,

“semenjak pak Kusno datang pada keluarga kami, semuanya terselamatkan. Ia adalah obat manjur yang tidak tertulis di resep dokter. Ia menolong saat kami tak ada bahan makanan, ia datang saat uang kuliah dan sekolah kami tak ada, ia datang saat ibu kesepian, ia selalu ada saat ibu menangis dan butuh sandaran”

Tinggal selangkah lagi sehingga aku bisa memeluk tubuh ringkih itu,

“katamu ndak papa to pak, ndak papa”

Isaknya terus mengeras, semakin aku mendekat, semakin jelas. Aku baru tersadar, setelah sekian lama. Cincin sederhana yang selalu melingkar di jari manisnya, cincin pemberian bapak, bukti bisu betapa kerasnya ia telah berusaha menjadi wanita bapak dan ibu bagi kami. Aku baru menyadari bahwa seberat apapun hidup kami, ibu tak pernah menjualnya. malam ini, di bawah temaram cahaya bulan, wanita tua yang tengah mencuci beras untuk selametan besok, sangatlah cantik, wajahnya bersinar kemerah-merahan.

ESTI VITA NINGTIAS-DRAMA MALAM KE-3

Penulis: Esti Vita N