Hanief Surya

Faizah Kamilah. Dia adalah anakku. Ia belum lahir. Mungkin tak akan pernah lahir ke dunia ini. Tapi, ia anakku. Ia ada. Buktinya ia punya nama.
Faizah Kamilah. Nama itu pemberian istriku. Ah, tidak! Nama itu pemberian pacarku. Sebab, sejak kami berpacaran, nama itu sudah ditetapkan untuk menjadi nama anak kami. Saya setuju-setuju saja asal di belakang nama itu ditambahkan namaku. Bukan apa-apa, supaya semua orang tahu kalau dia adalah anakku.
Faizah Kamilah, kata istriku nama itu berarti “keberuntungan yang sempurna”. Ini bukan bentuk frustasi kami atas hidup yang serba pas-pasan: pas ada uang kami makan, pas tidak ada uang kami mengencangkan ikat pinggang. Orang bilang hidup yang pas-pasan seperti itu kurang beruntung. Tapi Faizah Kamilah tidak ada sangkut pautnya dengan hidup pas-pasan, hidup yang kurang beruntung.
Aku pengangguran. Kalau istriku, dia sibuk. Sibuk ngurusi aku, ngurusi pengangguran. Sebenarnya aku punya pekerjaan, menulis artikel kemudian mengirimkannya ke koran-koran. Tapi jarang dimuat. Makanya aku kelihatan nganggur. Kerja kerasku hanya istriku yang tahu. Sebenarnya ada orang lain yang tahu, redaktur koran. Tapi redaktur koran tidak mau tahu dengan kerja kerasku. Jadi, sebut saja aku pengangguran.
Istriku kupanggil dengan sebutan Ummu Kamilah, atau Ibu Kamilah. Maksudnya aku memanggil dia ibunya Faizah Kamilah. Memang aneh, istriku belum pernah hamil. Tapi, kami sudah punya anak. Ya, Faizah Kamilah itu. Kultur di masyarakat, Faizah Kamilah tidak akan disebut anak kalau kami belum menikah. Faizah Kamilah adalah anak kami. Tapi, dia tidak punya akta kelahiran dari pemerintah. Sebab, dia belum lahir. Tapi, dia ada. Buktinya dia punya nama.
Disela-sela aku menulis, istriku pernah bercerita padaku, kalau Faizah Kamilah tidak akan pernah lahir. Istriku sempat frustasi. Diam-diam aku mengutip kata-kata penyair, “Yang paling menakjubkan di dunia ini adalah sesuatu yang tidak ada. Dengan begitu, kita bebas memberinya nama apa saja. Dan orang lain berhak juga menyebut kita gila.”
Faizah Kamilah adalah harta kami satu-satunya. Selain dia, kami tidak punya apa-apa. Apa yang berarti dalam hidup ini, kalau harapan hanya mimpi? Dan mimpi hanya mimpi. Faizah Kamilah bukan mimpi. Meski ia hanya hadir dalam mimpi, kami selalu merasa ia bersama-sama kami. Bercanda, tertawa, yang sering menangis.
Kalau malam semakin hitam dan waktu menjulur ragu, Faizah akan datang. Tanpa halilintar, desah pun tidak. Dan aku, hanya bisa menunggu. Menunggu Faizah Kamilah keluar dari perut istriku yang buncit lantaran kebanyakan minum air oase yang kami temukan. Tangis pertama yang kami tunggu mengalun merdu, bagai nyanyian bidadari sembari mandi di kali. Sebentar kemudian, mereka kembali ke sorga lewat bianglala yang memudar waktu senja. Dunia menjadi sepi. Tinggal kami berdua, menunggu Faizah Kamilah.
***
“Kenapa kau diam?”
“Biasanya aku juga diam!” jawab istriku yang terus-terusan diam.
“Ada apa? Apa yang kau pikirkan?” Istriku tetap dalam kebisuannya. Masa bodoh dengan aku yang mencoba memberi perhatian. Dengan tanya ini, itu, maksudku biar suasana menjadi lebih ceria. Tapi, tidak. Istriku sangat hobi diam. Entah apa yang dipikirkan. Mungkin perutnya yang tak kunjung membesar, atau sangat mungkin tidak akan membesar.
Tanpa sepengetahuan istriku, aku menyusun sebuah rencana. Gila! Diam-diam aku menyuruh temanku menggantikan aku dalam adegan ranjang. Istriku tidak akan tahu, sebab lampu gelap.
Ini kulakukan untuk membuktikan kalau aku yang busung, bukan istriku. Aku tidak mau ke dokter. Bukan aku takut disuntik, biaya laboratorium mahal. Aku pengangguran.
Bulan berganti, perut istriku tak kunjung membesar. Padahal, istri temanku setiap tahun melahirkan. Ini tahun keempat perkawinan mereka. Anaknya sudah lima. Maklum, sebelum menikah sudah kebobolan duluan. Nikah mereka pun sebagai kedok untuk menutupi aib keluarga. Tapi, istriku belum hamil juga.
Sekali lagi, aku ingin membuktikan kalau aku yang busung. Temanku marah-marah. Aku ingin menggauli istri temanku, supaya aku tahu kalau aku yang busung. Ia malah menyebutku gila. Padahal dulu, waktu ia kusuruh menggantikan aku, dia he eh saja. Mungkin temanku sudah sadar kalau aku memang benar-benar gila. Yang jelas, biaya laboratorium mahal, aku pengangguran.
***
Kami ingin anak pertama kami berjenis kelamin perempuan. Kata istriku, anak perempuan lebih nurut nasihat orang tua. Tidak seperti anak laki-laki, selalu membantah. Ini mengaca padaku. Aku boleh dibilang anak durhaka, membantah nasihat orang tua. Tapi, menurutku orang tualah yang durhaka pada anaknya. Selalu saja memaksakan keinginan pada anak. Seharusnya orang tua mengerti apa keinginan anak, bukan sebaliknya. Orang tua lebih dewasa, mestinya ia lebih mengerti anaknya. Dan sangat bisa dimaklumi kalau ada anak yang belum bisa mengerti ayahnya. Mereka masih sangat muda untuk bisa mengerti keinginan orang tua yang begitu banyak.
Menikah dengan istriku adalah tekadku dengan konsekuensi tidak mendapat warisan dan dicoret dari daftar anggota keluarga. Ini keputusanku. Aku anak laki-laki, ditakdirkan untuk selalu membangkang perintah orang tua. Itu sebabnya istriku tidak mau anak pertamanya laki-laki. Sebenarnya ia mau, anak laki-laki yang tidak seperti aku. Pembangkang, keras kepala, egois.
Istriku menginginkan anak perempuan yang selalu mengalah. Legowo dengan segala perlakuan kaum laki-laki. Wanita diciptakan untuk ditindas. Maka tugas kehidupannya adalah mempersiapkan diri, menerima berbagai bentuk penindasan. Kalau aku arogan, istriku sudah mengerti aku. Dan ia memilih untuk menghabiskan hidupnya denganku, bagaimana pun keadaannya. Aku juga seperti itu. Semua ini adalah pilihan. Orang merdeka adalah orang yang punya pilihan. Ah, masa bodoh dengan kemerdekaan. Aku pengangguran.
Saat Faizah Kamilah beranjak dewasa, aku sempat berpikir kalau dia akan baik-baik saja. Dia anak yang teramat manis. Nurut  apa kata ibunya. Kalau kami duduk bertiga, dunia ini lengkap rasanya. Ada ayah, ibu, dan anak. Apa yang harus dicari dalam sebuah keluarga? Aku sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Perjalananku sebagai penyambung sejarah sudah aku penuhi. Aku sudah beranak. Ternyata, semua tidak berjalan segampang itu. Ibarat mawar sedang mekar, tentu banyak tangan jahil dengan bernafsu akan merengutnya. Mungkin mawar diciptakan untuk direnggut. Tidak dengan anakku. Dia mawar yang sedang mekar, tapi tidak untuk direnggut. Diciumi sebentar, diremas-remas, kalau sudah, cepat-cepat dibuang di pinggir jalan. Sebab kalau tidak segera dibuang, mawar itu akan mengotori tangan kita.
Orang ingin tangannya selalu bersih. Orang juga ingin harum mawar. Memang begitulah orang, harus punya keinginan. Dan sayangnya, keinginan tidak selalu terpenuhi. Dan inilah yang disebut dengan penderitaan.
Aku ingin seorang anak, begitulah keinginanku.
Faizah Kamilah adalah anakku. Dia belum punya akta kelahiran. Bagiku itu tidak begitu penting. Ini hanya masalah pengakuan. Tanpa diakui oleh banyak orang pun dia tetaplah anakku. Tapi istriku, dia belum juga terlambat bulan. Dan aku masih pengangguran.

Hanief Surya adalah alumnus Universitas Negeri Malang.