Asih menengok keluar kamarnya di lantai 5 gedung apartemen itu.

“Tidak kelihatan apa-apa lagi pagi ini,” renungnya dalam hati.

Sudah satu bulan ini dia menjadi TKW di Shanghai, dan selama itu pula pemandangan di sana selalu tertutup kabut asap ini. Kabut jualah yang telah menggelayuti hatinya selama ini.

Pertama kali ia bertemu dengan majikannya, mereka adalah suami-istri penduduk asli Shanghai yang awalnya terlihat seperti orang baik-baik, bahkan cukup ramah. Namun, watak asli mereka pun lambat laun terbongkar. Mereka suka menyiksa Asih. Mereka akan sangat marah apabila Asih melakukan kesalahan dalam tugasnya. Mereka pun juga menjadikan Asih sebagai pelampiasan atas segala stres yang mereka miliki, walaupun Asih tidak bersalah atas apapun. Mulai dari memukul, menjambak rambutnya, hingga pada puncaknya, malam tadi Asih diperkosa oleh majikan laki-lakinya, saat majikan perempuannya sedang tidur.

“Apa yang harus aku lakukan, Ya Allah?” tanya Asih kepada Tuhan dalam kesedihannya ini.

Ia hanya seorang TKW ilegal dari Indonesia yang masih terbata-bata berbahasa Mandarin. Berbahasa Inggris pun masih seadanya.  Kalaupun ia ingin melapor ke polisi, ia takut malah dia yang akan dipenjara karena statusnya sebagai pekerja ilegal yang tidak memiliki visa kerja. Ia juga tidak memiliki teman di gedung apartemen 5 tingkat yang didiami majikannya ini, apalagi mengenal orang lain selain majikannya di Shanghai. Apartemen majikannya sendiri sudah berasa seperti penjara bagi Asih.

“Asih, Zài zhèl?!” tiba-tiba majikan perempuan Asih memanggilnya dari ruang depan.        Asih pun terseok-seok berjalan keluar dari kamarnya.

What take you so long to come here?!” sahut majikannya itu dengan ketus.

I’m sorry, ma’am”, kata Asih dengan lirih.

            “Huh! I want you to take care of Ping while we’re out,” katanya sambil menyerahkan Ping, anaknya yang masih berusia 1 tahun. Ia menyuruh Asih untuk menjaga Ping selama ia pergi keluar untuk sarapan dan juga jalan-jalan bersama suaminya.

            “Yes, ma’am,” ujar Asih, sambil menggendong Ping.

            “Honey, come on now,” panggil majikannya itu kepada suaminya, “and you should start making lunch,” tunjuknya kepada Asih, menyuruh Asih untuk memulai membuat makan siang.

            Asih pun mengangguk. Majikan laki-lakinya keluar dari kamarnya, acuh tak acuh dengan Asih, tanpa perasaan bersalah apapun, hanya berjalan keluar apartemen dengan santainya bersama istrinya.

Kamar Ping merupakan satu-satunya tempat di apartemen itu dimana Asih merasa tenang dan aman. Dindingnya berwarna biru dan mainan berwarna-warni pun menghiasi kamar itu. Di sudut kamar, tepat di samping jendela dan meja ganti popok, ada tempat tidur mungil. Asih pun meletakkan Ping di tempat tidurnya. Ping adalah bayi mungil dan imut yang juga satu-satunya “teman” bagi Asih di negeri orang ini. Kadang Asih bingung, bagaimana bisa orangtua sekejam itu bisa memiliki bayi selucu Ping, ia hanya berharap agar Ping tidak tumbuh menjadi sejahat orangtuanya. Ping di usia 1 tahun mulai bisa untuk memanjat, ia senang sekali memanjat apapun, seperti sekarang ia memanjat pagar tempat tidurnya itu.

“Aduh, Ping, jangan manjat gini dong, nanti bisa jatuh,” kata Asih sambil tersenyum melihat Ping. Ia pun membaringkan Ping, dan menyelimutinya. “Mbak Asih tinggal dulu ya. Ping tidur dulu aja,” ujar Asih, seperti Ping mengerti apa yang ia bicarakan.

Di dapur, Asih pun memulai memasak makan siang bagi majikannya. Ia tidak fokus, merenung akan hidupnya sekarang.

Semua dimulai dari peristiwa terbakarnya rumah Asih di daerah pedesaan di Jawa Tengah. Kedua orangtua Asih juga ikut tewas dalam kejadian tragis itu. Asih waktu itu sedang pergi ke luar desa untuk liburan selama beberapa hari bersama teman-temannya, sehingga ia sangat syok saat kembali ke desa dan mendengar tentang nasib orangtuanya itu. Dalam kedukaannya, ia juga gundah akan memikirikan masa depannya, apalagi yang akan ia lakukan di desa ini, rumah sudah tidak punya, keluarga pun tidak ada seorang pun lagi yang tersisa. Sehari- hari pun dulu ia hanya mengurus ladang pertanian milik saudagar di desa itu dan merawat kedua orangtuanya yang sakit-sakitan.

 

Sampai suatu hari, seorang temannya, Welas, mengajaknya untuk menjadi TKW. Welas sendiri memang seorang mantan TKW yang sekarang bekerja sebagai agen perekrut calon TKW baru di desa tempat Asih berasal. Memang sudah menjadi semacam tradisi di desanya bagi para perempuan yang ingin “mengubah hidupnya” untuk menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri.

Asih yang saat itu sudah cukup putus asa pun termakan ajakan temannya itu. Asih tidak begitu paham dengan mekanisme agar ia bisa menjadi TKW, hingga akhirnya ia telah sampai di Shanghai dan bertemu majikannya ini, semua diurus oleh Welas.

“Andai saja, aku dulu tidak termakan rayuan Welas,” renung Asih, “Namun nasi sudah menjadi bubur, aku harus bertahan hingga hidupku menjadi lebih baik disini,” Asih mencoba menutupi kesedihannya dengan optimisme.

Asih pun selesai memasak makan siang. Ia pun kembali ke kamar Ping. Dibukanya selimut di tempat tidur Ping, namun tidak ada Ping, hanya ada bantal dan gulingnya.

“Ping? Dimana anak itu?” tanya Asih dalam hatinya.

Dicarinya Ping ke seluruh sudut di kamar itu, tetapi tidak ada.

“Tadi pintunya ku tutup, tidak mungkin dia bisa keluar,” batinnya.

Tapi, tetap dia cari Ping di seluruh bagian di apartemen itu, seluruh tempat yang kemungkinan bisa dijangkau Ping di apartemen itu, tetapi tetap tidak ada.

“Ping, kamu dimana?” Asih makin panik.

Namun, sayup-sayup terdengar keramaian di lantai dasar. Asih pun menengok ke jendela di kamar Ping, makin terdengar keributan itu. Kabut masih menyelimuti kota Shanghai, sehingga tidak terlihat jelas apa penyebab keributan di bawah itu.

B?ob?o!”

            “Oh my god, a baby!”

            “A baby just fell!”

            “He’s dead!”

            “I think he fell from the fifth floor.” Keributan di bawah berbunyi bahwa seorang bayi kemungkinan telah jatuh dari lantai lima dan langsung meninggal dunia.

 

            ”Apa? Ada bayi yang jatuh? Tidak! Tidak mugkin itu Ping!” tutur Asih, yang mendengar semua teriakan di bawah itu. Memang lantai apartemen majikan Asih berada di lantai lima, dan juga Asih baru ingat bahwa ia tadi tidak menutup jendela di kamar Ping.

“Apakah mungkin Ping memanjat hingga ke daun jendela ini, lalu ia jatuh?” kepanikan Asih bertambah.

Asih berlari ke balkon untuk melihat lebih jelas, tetapi sama saja, kabut tetap menutupi penglihatan di sekitar, tapi keributan di bawah makin terdengar nyaring.

            “Ping! Oh my God! No!” teriak seorang wanita di bawah, meneriakkan bahwa bayi yang jatuh itu memang Ping. Suara itu, dengar Asih, mirip dengan suara majikan perempuannya.

“Bayi yang jatuh itu ternyata memang Ping. Astaghfirullah!” Asih menangis terisak-isak.

”Maafkan mbak Asih, Ping,” katanya ditengah isakan tangis. Ia merasa sangat bersalah atas meninggalnya Ping, karena memang dia yang lupa untuk mengunci jendela di kamar Ping.

Dalam keadaan panik itu, Asih berpikir apa yang harus ia lakukan.

“Mereka semua akan berpikir bahwa aku yang membunuh Ping. Bahwa aku membunuh Ping sebagai balas dendam atas perbuatan para majikanku,” teriak Asih dalam hatinya. “Tapi tidak! Aku tidak melakukan itu! Aku bahkan sudah menganggap Ping sebagai anakku sendiri.”

Di tengah kondisi hatinya yang kacau itu, Asih menjadi terlalu putus asa. Ia membayangkan apa yang akan terjadi pada saat majikannya kembali ke apartemen, dan apa yang akan mereka tuduhkan kepadanya. Pastilah ia yang akan disalahkan atas kematian Ping. Setelah semua yang telah terjadi dalam hidupnya, bahkan kemungkinan dikurung dalam penjara di negeri orang belum pernah terlintas di pikirannya sebelumnya. Batinnya sudah kosong. Kehidupan sudah menjadi beban yang tidak dapat dipikulnya lagi.

Ia memanjat pagar balkoni itu. Ia ingin pergi, terbang bagaikan burung, menembus kabut. Tapi sayap burung itu patah, ia pun terjun menghujam tanah. Asih telah menyerah akan hidupnya.

FADHIL RAMADHANI – Kabut di Shanghai