Oleh Yusuf Hanafi

Eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba telah dilaksanakan baru-baru ini. Namun masih tersisa pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman mati tersebut. Sejumlah negara sahabat yang warganya dieksekusi mati karena terlibat dalam sindikat perdagangan Narkoba di Indonesia, seperti Brazil dan Belanda, menarik duta besarnya dari Indonesia sebagai bentuk keberatan, penolakan, dan protes atas eksekusi mati tersebut.

Pihak yang menolak praktik hukuman mati beralasan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun. Menurut mereka, tidak satupun orang di dunia ini memiliki hak untuk menjatuhkan hukuman mati. Hanya Tuhan yang berwenang mengambil dan mengakhiri hidup seseorang. Tak heran, mereka menilai hukuman mati itu primitif dan biadab karena tidak memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan diri.

Pro dan kontra seputar hukuman mati merupakan akibat dari paham sekuler. Tuhan memang diakui keberadaan-Nya, namun peran-Nya dibatasi hanya dalam hal-hal pribadi (privat). Penilaian baik-buruk dan benar-salah dalam kehidupan tidak mengacu kepada apa yang digariskan oleh Tuhan. Aturan-aturan Tuhan dalam paham sekuler dikalahkan oleh produk hukum hasil kesepakatan segelintir manusia. Ironisnya, untuk menolak aturan Tuhan, manusia tidak segan mengatasnamakan Tuhan, seperti ungkapan mereka: “hanya Tuhan yang berwenang mengambil hidup seseorang”, sambil tetap mengabaikan hukum pidana yang telah Tuhan tetapkan.

Harus disadari, manusia adalah makhluk terbatas yang tidak memahami hakikat kebenaran segala sesuatu. Sehingga, tidak ada standar kebenaran yang bersifat tetap, baku, dan disepakati semua pihak. Wajar, apabila peraturan hukum yang dihasilkan itu senantiasa berubah-ubah. Dulu, gembong narkoba dibebaskan, karena hukuman mati dianggap tidak manusiawi dan mendidik. Sekarang, gembong narkoba dihukum mati, karena aktivitas mereka dianggap merusak kehidupan manusia lainnya. Ke depan kita tidak tahu apa yang akan ditetapkan dan dipandang baik oleh manusia, jika kita tetap menggunakan hukum sekuler.

Dalam pandangan Islam, kejahatan (jarîmah) tidaklah lahir secara fitri dan alamiah dalam diri manusia. Kejahatan merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan syara’. Jika ia melanggar hukum-hukum tertentu, maka ia dikatagorikan telah berbuat cela dan keburukan. Sanksi, termasuk hukuman mati, merupakan kebutuhan penting dalam masyarakat, yang akan menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (zawâjir) sekaligus penebus (jawâbir).

Disebut sebagai “pencegah” (zawajir), karena sebuah sanksi akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Allah SWT berfirman: “Dalam Qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai kaum yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 179).

Fungsi hukum Islam berikutnya adalah “penebus” (jawabir). Hal inilah yang tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Yakni, sanksi yang dijatuhkan, jika diterima dengan baik, akan menggugurkan sanksi yang bersangkutan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda:Barangsiapa yang melanggar, lalu Allah menghukumnya di dunia, maka itu adalah kafarat (pembebas) baginya (dari hukuman di akhirat)” (HR. al Bukhari). Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa hukuman mati untuk menindak pelaku kejahatan tertentu bukan hanya perlu, tetapi juga wajib.

Kejahatan narkoba merupakan salah satu ancaman terbesar bagi bangsa dan negara Indonesia, selain korupsi. Narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang harus dihadapi secara sangat serius, dan dengan tindakan hukum yang luar biasa pula. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak akan bisa dihadapi hanya dengan tindakan hukum yang normal dan wajar.

Karenanya, penulis berpendapat, hukuman mati merupakan salah satu bentuk hukuman yang sangat efektif untuk kepentingan korban agar  mendapatkan keadilan, mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat, sekaligus menciptakan efek jera. Penjatuhan hukuman mati merupakan salah satu wujud ajaran Islam yang sangat menghargai dan menjunjung tinggi kehidupan.

Islam mengajarkan melalui Q.S. al-Maidah: 32 bahwa membunuh satu orang manusia sama saja dengan membunuh seluruh umat manusia:“Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh umat manusia seluruhnya.”

Apabila dianalogikan dengan kejahatan narkoba yang membunuh bukan saja orang per orang, tetapi  membunuh ribuan bahkan ratusan ribu manusia, bahkan membunuh dan melenyapkan sebuah generasi, maka khatib meyakini hukuman mati sangat pantas dan tepat untuk pelaku kejahatan narkoba. Bahkan hukuman mati sebenarnya masih kurang setimpal, apabila dibandingkan dengan kerusakan yang demikian dahsyat yang diakibatkan kejahatan narkoba itu.

Penulis tentu sangat mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai dibolehkannya negara menjatuhkan hukuman mati untuk Tindak Pidana Tertentu. Di dalam fatwa yang dikeluarkan pada 29 Juli 2005 lalu, MUI secara tegas menyatakan bahwa Islam mengakui eksistensi hukuman mati dan pemberlakuannya dalam jarimah (tindak pidana) hudud, qishah dan ta’zir. Negara boleh melaksanakan hukuman mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu.

Atas dasar itulah, kita semua perlu mendukung keputusan Presiden RI yang menolak memberikan grasi kepada terpidana Narkoba sebagai wujud komitmen yang kuat dan dukungan yang sungguh-sungguh dalam pemberantasan kejahatan narkoba.

Kita berharap, sikap tegas pemerintah, termasuk dalam penjatuhan vonis hukuman mati terhadap terpidana narkoba, dapat mengurangi dan mengikis peredaran narkoba di Tanah Air yang telah sangat memprihatinkan, dimana konon saat ini Indonesia berada di peringkat 3 dunia setelah Kolombia dan Meksiko sebagai negara dengan peredaran narkoba tertinggi.

Last but not least, kita berharap agar pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Badan Narkotika Nasional  (BNN) tetap bersemangat untuk melakukan pemberantasan Narkoba di seluruh penjuru Tanah Air demi melindungi keselamatan seluruh bangsa dan negara, terutama kaum generasi muda dari ancaman Narkoba.

Kita juga berharap agar lembaga-lembaga peradilan, mulai dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga Mahkamah Agung mempunyai kesamaan sikap dan kebijakan dalam menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, termasuk hukuman mati, kepada seluruh pelaku kejahatan Narkoba tanpa kecuali.

Kita berharap pemerintah tidak terpengaruh pada tekanan dan intervensi pihak asing yang mencoba menggugat pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana mati Narkoba di Tanah Air.