Oleh  Novia Anggraini

Menurutmu, apalagi yang lebih melegakan selain mencintai seseorang yang bisa dipercaya? Barangkali, mencintai seseorang yang bisa menjaga dirinya sendiri dengan baik adalah jawabannya. Kau tak perlu bersusah payah mengajarinya bernafas, ia telah mampu menghirup oksigen dari udara dengan seksama, kemudian dimasukkannya ke dalam paru-paru sehingga jantungnya bisa terus berdenyut. Kau pun tak usah menyiksa diri dengan rasa khawatir yang mendera siang dan malammu ketika kalian sedang berjauhan. Sebab apa? Sebab kau telah percaya dengan segenap jiwa ragamu bahwa ia akan menjaga dirinya dengan baik untukmu. Hanya untukmu. Bukankah begitu, Ayah?

Berulang kali Ayah berkata demikian padaku ketika usiaku menginjak kepala dua. Tepat di hari ulang tahunku yang keduapuluh, ayah mengucapkan selamat datang padaku di kehidupan nyata dengan cara menolak memberi kecupan manja pada pipiku –sebagaimana yang selalu beliau lakukan setiap kali aku merayakan tanggal lahirku. Waktu itu aku mengajukan protes keras dengan sebuah teriakan menahan marah, “Ayah tidak boleh memperlakukanku seperti ini!”

Aku ingat, waktu itu pula kau memegang pundakku dengan lembut sambil menenangkan ketidakterimaanku atas sikap ayah. Kau berujar padaku dengan nada selirih yang kau bisa, “Alia, jangan bersikap begitu pada ayahmu. Kau kan sudah berusia duapuluh tahun sekarang.”

“Aku akan tetap jadi putri kecil ayah sampai kapanpun. Dan hal itu tidak akan pernah berubah sedikitpun, meski usiaku kini sudah duapuluh tahun!” seruku membantah ucapanmu.

Bersyukurlah kau, sebab Tuhan kita telah menciptakan matamu sedemikian rupa sehingga keteduhan kedua bola matamu itulah yang kemudian membuatku menyesal telah mengeluarkan kata-kata kasar.

“Aku hanya ingin lelaki yang seperti ayah,” ucapku menahan haru.

“Aku bisa menjadi lelaki yang seperti ayahmu,” balasmu meyakinkanku.

“Ya, aku tahu.”

Hanya itulah penggalan memori masa silam yang sampai detik ini masih terekam dengan begitu jelas di otakku. Seperti roll film yang diputar di bioskop, adegan demi adegan di hari ulang tahunku yang keduapuluh itu seringkali muncul dengan tiba-tiba di saat yang paling tidak kuinginkan sekalipun. Seperti saat ini, misalnya.

***

Aku ingin lelaki yang seperti ayah.

Kukatakan itu padamu sekali lagi pada saat perayaan ulang tahunku yang keduapuluh satu. Kau tentu masih ingat kan, Zal, apa jawabanmu pada saat itu? Kau bilang kau bisa menjadi lelaki yang seperti ayahku. Dan anganku melambung tinggi karena ucapanmu. Sebab aku benar-benar tak menginginkan lelaki lain yang tidak seperti ayahku.

Awalnya aku menganggap itu sebuah janji yang tentu saja, menjadi kewajibanmulah untuk memenuhinya. Tak ada sedikitpun ragu pada jawabanku ketika sekali lagi engkau bertanya, “Kau yakin ingin lelaki yang seperti ayahmu?”

Sebuah kata “iya” yang meluncur dari bibirku dan diiringi dengan anggukan kepala penuh keyakinan menjadi jawabannya. Aku yakin, kau pun kehabisan akal untuk mencari celah keragu-raguan yang mungkin bisa kau gunakan demi mengetes sampai sejauh mana aku memegang teguh keyakinanku yang satu ini.

“Kau tak ingin aku?” tanyamu lirih, lebih kepada dirimu sendiri. Sebab dari caramu mengucapkannya, aku yakin bahwa kau sendiri tidak tahu mengapa bibirmu bisa melontarkan pertanyaan yang semacam itu.

“Maksudmu apa, Rizal?”

“Alia, kau ingin lelaki yang seperti ayahmu kan? Itu berarti apakah kau tidak menginginkanku?”

“Tentu saja aku menginginkanmu,” aku sengaja memberi jeda sebentar sebelum melanjutkan kata-kataku, “asalkan kau bersedia menjadi lelaki yang seperti ayahku.”

“Wajahku kan tidak bisa segalak ayahmu,” kelakarmu waktu itu, menutup malam perayaan ulang tahun keduapuluhsatuku dengan gelak tawa dari dua bibir kita yang saling bersatu di bawah sabda langit biru.

***

Aku ingin lelaki yang seperti ayah.

Kembali kukatakan itu padamu di hari ulang tahunku yang keduapuluh dua, duapuluh tiga, hingga duapuluh empat. Aku tahu kau pasti sudah sangat bosan mendengarkannya. Tapi entah mengapa, aku merasa wajib mengingatkanmu akan cita-citaku yang satu itu di setiap hari ulang tahunku.

“Iya, Alia, iya. Aku sudah tahu itu sejak dulu,” katamu dengan mimik wajah sebal.

“Hanya sebatas itu saja? Kau tak ingin mewujudkannya untukku?”

Aku tahu sulit bagimu untuk tidak marah mendengar ocehan yang selalu saja sama dariku selama lima tahun kita bermain peran sebagai sepasang kekasih. Tapi aku bersyukur, sebab seperti ayahku, kau pun adalah tipe lelaki yang tidak mudah tersulut emosi apabila tengah berhadapan denganku. Oleh karena itu, kau hanya menjawab pertanyaanku dengan sebuah tanya balik, “Kamu mau aku melakukan apa untuk mewujudkan keinginanmu itu?”

Aku tahu banyak perempuan lain yang akan mencercaku –sebab mereka begitu menggilaimu, sedang kau adalah milikku– tatkala aku menguji kesabaranmu lagi dengan berkata, “Aku tak suka bila pertanyaanku kau jawab dengan mengajukan pertanyaan lagi, Rizal!”

“Dan aku tak suka kau terus-terusan berkhayal seperti itu, Alia!” serumu ketus. Itulah untuk yang pertama kalinya selama bertahun-tahun aku mengenalmu, kau mengeluarkan amarahmu di hadapanku.

“Ini ulang tahunku yang keduapuluh empat. Kau tak berhak membentakku di hari paling istimewaku ini!” seruku sambil sesenggukan menahan lelehan air mata yang untuk pertama kalinya jatuh di pipiku demi menangisi seorang lelaki yang bukan ayahku.

Deru nafasmu yang terdengar semakin keras menandakan gelegak amarah yang barangkali telah mencapai puncaknya kali ini. Dengan gemetar kau bertanya padaku, sebuah pertanyaan sulit yang tak akan sempat kuralat lagi apapun resikonya, “Jadi, yang kau inginkan itu siapa, Alia? Aku atau ayahmu?”

“Bodoh! Pertanyaan macam apa itu tadi yang baru saja kau lontarkan? Tentu saja aku ingin lelaki yang seperti ayahku.”

***

Dia ingin lelaki yang seperti ayahnya.

Itulah sebabnya ia tak datang ke acara pernikahan kami hari ini yang bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang keduapuluh lima. Sebab lelaki yang ia inginkan bukanlah aku. Sebab lelaki yang ia inginkan bukan lelaki yang saat ini tengah mengenakan baju pengantin dan siap mendampinginya menghabiskan sisa usia. Sebab ternyata pada waktu itu, lelaki yang ia inginkan sedang berada di dalam ruangan sebuah rumah sakit besar untuk melakukan operasi penyumbatan pembuluh darah; dan ia jelas lebih memilih berada disana daripada mengikat janji untuk menjadi pasangan suami istri bersamaku disini.

“Ini mau kita tunda sampai kapan?” tanya ayahku.

“Sampai dia datang,” jawabku singkat, berusaha tidak menampakkan nada-nada getir yang begitu dahsyat menghantam ulu hatiku.

“Kalau dia tak datang hari ini bagaimana?”

“Kita tunda besok.”

“Kalau sampai besok dia tidak datang?”

“Kita tunggu sampai dia datang.”

“Bagaimana kalau dia tak akan pernah datang?”

“Itu artinya aku tak jadi menikah.”

“RIZAL!” tegur ibuku keras, setelah mendengar jawabanku barusan. “Omongan itu ialah doa. Maka bicaralah yang baik-baik saja!”

Seperti sabda Tuhan yang telah dipercaya banyak orang, tiba-tiba langit menggelegarkan petir terampuhnya untuk menghantarkan rasa takut yang mulai menyusuri lapisan kulit ariku. Aku tahu, langit sedang berusaha mengamini –entah perkataan ibu, atau perkataanku yang sama-sama terbang ke langit dan tak sengaja menjelma sebagai doa.

***

“Aku turut berduka cita atas seribu hari tiadanya ayahmu, Alia.”

Semua orang menolehkan kepalanya ke arah dua orang yang tengah tenggelam dalam percakapan di ruang tamu itu. Sebab semua orang tahu, bahwa lelaki yang tengah berbicara dengan Alia itu bernama Rizal. Tak ada yang akan membuat orang-orang memerhatikan percakapan kedua insan itu dengan seksama, kecuali jika mereka telah tahu bahwa sepasang laki-laki dan perempuan itu pernah saling memadu kasih dan hampir menikah tepat di hari gagalnya operasi sang ayah si perempuan.

“Terima kasih, Zal. Maaf untuk kejadian yang dulu itu. Sungguh, aku sama sekali tak berniat meninggalkan lelaki yang kucintai di saat ia telah siap mengucapkan ijab qabul untukku.”

“Lelaki yang kau cintai bukan aku, Alia,” jawab Rizal. Sungguh sebenarnya ia tak ingin melukai hati perempuan yang tengah berada disampingnya saat ini.

“Apa yang kau maksudkan? Tentu saja aku mencintaimu waktu itu, bahkan sampai saat ini. Meskipun…”

“Bukankah lelaki yang kau cintai harus seperti ayahmu?”

“Ya, tentu saja. Meskipun sekarang ayahku…”

“Setelah ayahmu tak ada, bukankah tak akan pernah ada juga lelaki yang seperti itu? Sebab ayahmu hanya satu, Alia. Dan kau begitu mendambakannya, sedangkan ia adalah takdir dari ibumu.”

“Maksudku bukan begitu, Rizal. Sekalipun kau tak akan pernah bisa menjadi seperti ayahku, tentu saja aku akan belajar mencintaimu. Aku akan…”

Sedetik kemudian, semua orang menyaksikan sebuah kisah sedih yang kelak akan mereka ceritakan kepada anak cucunya tentang seorang lelaki yang mengelus lembut rambut seorang perempuan sembari berkata, “Izinkan aku terus menyela pembicaraanmu, Alia, sebab aku ingin sekali menjaga perasaan perempuan yang amat kucintai. Sebab aku tak ingin melihat ada kesedihan di raut wajah perempuan yang aku yakin juga amat mencintaiku. Hentikan, Alia, hentikan. Sebab istriku sedang hamil, dan aku tak ingin membuatnya bersedih.”

Tentu saja setelah ini kau akan setuju dengan pendapat seorang perempuan yang kini tengah berdiri disamping Rizal dengan perut gembung ketika ia berkata dalam hatinya bahwa ternyata tidak ada yang lebih melegakan di dunia ini selain mencintai seseorang yang bisa dipercaya.

Penulis adalah mahasiswa Sastra indonesia UM,
bergiat di UKM Penulis UM.