foto 16Judul               : Kambing dan Hujan

Penulis             : Mahfud Ihwan

Penerbit           : Bentang Pustaka

Tahun Terbit    : Mei, 2015

Tebal               : vi+374 halaman

Centong tumbuh dengan menyimpan bertumpuk sejarah yang tak seorang pun enggan menggali kembali. Bukan hanya karena kisah tersebut membawa perpecahan, tapi semua orang tak ingin lagi menyiram air garam pada luka lama yang tak kunjung kering tersebut.

Seperti Miftah dan Fauzia yang tumbuh dalam keberbedaan tradisi, mereka sekolah dalam madrasah yang berlainan serta belajar fikih yang berlainan pula. Tapi suatu ketika keduanya bertemu tanpa sengaja dalam sebuah bus menuju Surabaya. Titik-titik cinta tumbuh membuat perasaan keduanya buncah. Setelah berbilang tahun hubungan mereka berjalan, keduanya memutuskan untuk mantap menapaki pernikahan.

Tapi keputusan keduanya seperti merobek kembali sejarah di Desa Centong. Bu Yatun, ibu Fauzia menangis ketika anak perempuannya mengutarakan keinginannya. Bukan karena Bu Yatun tak mau mengambil mantu yang tak melafalkan doa qunut dalam salatnya ataupun menantunya tak bisa mengimami tahlilan seperti kebanyakan orang Centong. Karena alasannya tidak sedangkal itu.

Begitu pula saat Miftah mengutarakan maksud untuk meminang anak Pak Fauzan tersebut, Abahnya hanya menunduk dengan tenggorokan tercekat. Bukan karena Fauzia merupakan  bagian dari orang selatan—orang Muhammadiyah menyebutnya demikian, yang kerap sekali melangsungkan selamatan serta cara puasa dan jumlah rakaat tawawihnya berlainan dengan kelompok mereka. Alasannya juga tak sesederhana itu. Badai yang menghalangi mereka silih berganti sampai mereka mendapati cerita sejarah yang kembali melibatkan perasaan. Tentang persahabatan, serta keyakinan cinta di antara kedua orangtuanya.

Pak Iskadar, Abah Mif merupakan sabahat kecil Pak Fauzan. Mereka tumbuh dalam tradisi menggembala kambing. Mencari rumput bersama-sama, tidur di masjid ketika malam tiba, serta merampungkan sekolah rakyat bersama-sama pula. Mereka saat itu benar-benar menjadi dua orang yang tak bisa dipisahkan. Meskipun pada akhirnya Pak Fauzan melanjutkan ke pesantren di kota dan Pak Iskandar dengan segala keterbatasannya memilih untuk menetap di Centong, membesarkan tanah kelahirnannya, tapi jarak bukanlah menjadi penghalang kerekatan hubungan mereka berdua.

Dahulu hanya ada satu masjid yang berdiri di Centong—masjid orang selatan. Tapi kedatangan Cak Ali, guru Pak Iskandar menjadi sekat baru yang tengah berlangsung di tanah Centong. Di mana kaum muda terbakar semangat Kaum Pembaharu, menentang segala bentuk tindakan masyarakat yang tidak sesuai di pikiran mereka. Tak urung gesekan sosial tersebut timbul menjadi titik api yang kemudian melebar merapuhkan semangat persatuan. Para tetua tak terima tradisi mereka selama bertahun-tahun harus diinjak-injak oleh orang-orang yang tak jelas juntrungnya. Begitu pula Kaum Pembaharu yang menyesalkan pemikiran kaum tua yang kolot dan tidak bisa menerima sedikit masukan tanpa mempertimbangkan kebaikannya lebih jauh. Perlawanan semakin sengit dan gencar memperebutkan masjid yang seharusnya mempersatukan seluruh orang Centong tersebut.

Bagi Pak Fauzan, Pak Iskandar dan kelompok Cak Ali seharusnya tak membuat kelompok-kelompok sendiri apalagi saat itu persatuan sangat dibutuhkan untuk menghalau komunis yang menjamur. Dan kedua sabahat tersebut sampai pada titik di mana konflik-konflik tak dapat lagi diselesaikan dengan pikiran terbuka. Mereka berdua berubah menjadi ‘musuh’ saat Kaum Pembaharu membangun sendiri masjid yang jaraknya hanya selemparan batu dari masjid Nahdliyin—mereka menyebutnya masjid utara, masjid Muhammadiyah.

Kedua kelompok ini saling berebut hati masyarakat. Saling bersaing dalam kegiatan keagamaan, sampai-sampai Kaum Pembaharu mendatangi satu persatu orang-orang yang tengah menggarap sawah untuk diajari mengaji. Sehingga Centong memiliki jamaah salat yang terpecah. Pak Fauzan pulang dari pesantrennya dengan membawa harapan yang disematkan oleh golongan tua untuk menghalau derasnya perkembangan masjid utara. Keduanya tak lagi saling tegur, mereka tak ubahnya seperti kambing dan hujan. Tak akan pernah bisa disatukan.

Dan puncak dari sikap dingin mereka adalah ketika Bu Yatun, seseorang yang disukai Pak Iskadar harus dijodohkan oleh orangtuanya dengan Pak Fauzan. Membuat jurang yang mereka gali menjadi semakin lebar dan semakin tak terlihat ujungnya.

Setelah itu Pak Fauzan menjadi pemimpin masjid utara dan Pak Iskandar menjadi pemimpin masjid selatan, keduanya tak semestinya mengorbankan masa depan anak mereka berdua. Pada akhirnya kebijaksanaan mereka berdualah yang menjadi sebuah jembatan untuk melewati jurang yang kelewat lebar dan dalam itu.

Mahfud Ikhwan dalam bukunya ini tidak sedikitpun bermaksud untuk membela salah satu golongan, ia tak sekadar menujukkan perbedaan antara dua ormas yang kini telah tumbuh besar di Indonesia. Atau membenarkan salah satu ihwal fikih diyakini paling benar oleh masing-masing kelompok. Tapi ia justru menawarkan sebuah sudut pandang dalam menyikapi sebuah perbedaan yang begitu lekat mendarah daging di masyarakat.

Buku ini menjadi sumbangan besar bagi sastra di Indonesia, sekaligus menjadi sebuah dokumentasi sosial yang teramat berharga. Di dalamnya turut merawat ingatan mengenai sejarah tumbuhkembangnya agama di desa Centong. Pun bisa menjadi obat bagi kedua kelompok tersebut yang masih bergesekan sampai sekarang. Semangat dalam mengajarkan Islam pada masyarakat yang sebagian besar adalah petani merupakan semangat dakwah Muhammadiyah yang patut dicontoh, serta persatuan kelompok Nahdliyin dalam menghidupkan kembali kegiatan masjid mereka, juga menjadi sebuah langkah bijak yang bisa ditiru oleh masyarakat saat ini.

Melalui Miftah dan Fauzia, kedua kelompok itu akhirnya melunak dan saling menerima. Pernikahan keduanya benar-benar menjadi jembatan yang bahkan tak seorang pun ragu untuk melewatinya. Karena sejatinya perbedaan bukan untuk saling menjatuhkan, bukan untuk saling ditonjolkan, tapi untuk saling diterima dan dihormati.

Teguh Dewangga