Kala itu cahaya keemasan bola api memantul di atas permukaan air nan tenang. Hamparan keemasan itu membentang tanpa batas, menjadi satu garis pembatas antara samudera dan matahari yang akan segera kembali ke peraduannya. Seorang pemuda berdiri tegak di ujung jembatan dermaga. Fokusnya tertuju pada lukisan alam, merelakan visualnya menikmati keindahan itu. Begitu tenang dan memesona. Perlahan, angannya mulai melayang, menyiratkan film dokumenter hitam putih dalam memorinya. Menayangkan pahit getir kehidupan yang selama ini menjadi skenario kedua orang tuanya. Berbagai macam tuntutan dilimpahkan padanya sejak kecil, demi membentuk karakter seorang pemuda tangguh tanpa memedulikan perasaan sang putera bungsu, Dimitri Dostoyevski.

Dimitri memejamkan kedua matanya erat-erat. Bayang itu makin memenuhi pikirannya. Membuat dada terasa sesak tiap kali mencerna kenyataan buruk bahwa ia selalu mengorbankan banyak hal untuk mereka tanpa ada perlawanan. Menjadi seorang manusia robot yang tak akan pernah didengar saat mengungkapkan ketidaknyamanan atas perlakuan ini.

Pemuda itu menarik napas dalam-dalam. Sayang, hal ini justru membuat dadanya terasa begitu nyeri. Tekanan yang telah ia pendam selama bertahun-tahun perlahan mengundang setetes air jatuh dari sudut matanya. Dimitri segera menghela napas dan membuka kedua mata, meninggalkan gelap. Punggung tangan kanannya menghapus tetes air mata itu dengan kasar. Seorang laki-laki memang wajar jika menangis setelah tak sanggup menahan amarahnya. Namun dalam keadaan seperti ini ia masih berusaha menyangkal bahwa dirinya tak boleh menangis. Menangis hanya akan membuatnya tampak lemah.

Dalam keadaan seperti ini, ia ingin berteriak kencang. Membiarkan suaranya diterpa angin menuju lautan luas. Menghilang bersama kesenggangan molekul udara, tanpa ada yang mendengar selain alam. Namun sayangnya semua itu tak mudah. Tenggorokannya tercekat, seolah pita suaranya tak dapat berfungsi dengan baik. Pemuda itu pun hanya dapat terdiam dan mengepalkan kedua tangannya seerat mungkin. Darah yang mengalir dengan normal melejit dengan cepat menuju otak. Lautan seolah berputar sekali dengan cepat. Memaksanya berkedip sekali dan kembali menuju alam sadar dan mendapati tubuhnya terasa lemas.

Terdiam. Ia berkutat dalam pemikirannya sendiri. Ia berbalik. Kedua kakinya mulai melangkah. Kepalanya tertunduk, menyembunyikan wajah yang telah merah padam. Kedua tangannya yang terkepal dimasukkan ke saku celana dan mulai terkulai lemas. Pada saat yang bersamaan, sebuah suara menggetarkan gendang telinganya.

“Dimitri Mikhailovich Dostoyevski!”

Lamunan yang memenuhi pikiran Dimitri buyar seketika. Langkahnya terhenti bersamaan dengan hal ini. Ia masih terdiam di tempat dan menegakkan kepala tanpa berminat menoleh untuk mengetahui pemanggil namanya. Dari sudut matanya, tampak seorang laki-laki yang sebaya dengannya. Sama-sama bertubuh tinggi dan tegap, Mateusz Kowalski.

“Aku ingin berbicara denganmu,” jeda sesaat lalu Mateusz melanjutkan, “Ini tentang dia. Figlia Hercegsdottir.”

Jantung Dimitri berdetak satu kali, memberikan hantaman keras yang terasa sedikit menyakitkan kala nama itu disebut. Baik ia maupun Mateusz tak pernah berbicara satu sama lain selama bertahun-tahun meski ditempatkan pada kelas yang sama. Namun kini, pemuda bermata biru itu memulai percakapan. Bukan mengenai hal biasa, melainkan seorang gadis.

“Aku percaya padamu.”

Mateusz menatap Dimitri yang mengernyitkan dahi. Ia menarik sudut bibir kirinya dan menyandarkan diri pada pagar kayu dermaga, tak peduli. Ia  hanya merasakan sedikit kelegaan muncul dari dalam diri setelah mengatakan hal ini. Semuanya harus segera diakhiri sebelum pesta kelulusan malam ini diadakan. Sebuah awal yang sedikit memberi penekanan sebelum ia memperdengarkan pengakuannya. Ya. Sebuah pengakuan yang tak pernah ia berikan pada siapa pun. Dimitri lah orang pertama yang akan mendengarnya.

“Apa kau menyukainya?”

Pertanyaan itu akhirnya meluncur begitu saja dengan ringan. Air muka Mateusz tak berubah, masih santai. Dimitri yang sudah merasa pikirannya kacau kembali merasakan satu hantaman dari dalam rongga dada kirinya, diikuti detak jantung yang lebih cepat. Ia berusaha tetap bersikap tenang. Seulas senyum ia paksakan, menjadi sebuah persona yang mengisyaratkan bahwa pertanyaan tersebut bukanlah masalah besar.

“Harus kujawab?”

“Terserah. Aku tak memaksamu,” jawab Mateusz ringan, seolah ia tak membutuhkan kejujuran Dimitri. Sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.

Air muka Dimitri tetap tenang. Fokusnya menatap langsung kedua mata Mateusz, mencoba membaca adanya sebuah perasaan tersembunyi. Ini bukan masalah kebencian di antara mereka, melainkan rasa cinta Mateusz pada Figlia. Biar bagaimanapun juga, baik Dimitri maupun Mateusz sama-sama terlahir sebagai kaum adam. Sedikit banyak, Dimitri dapat mengerti. Ia pun mulai angkat bicara dalam spekulasinya.

“Kau— mencintainya?”, jeda sesaat. Dimitri mengendalikan suaranya agar tak terdengar berat dan melanjutkan, “Cinta. Bukan sekadar suka. Dari tatapanmu.”

Benteng pertahanan yang selama ini melindungi Mateusz seakan hancur begitu saja. Cinta? Semudah itukah Dimitri membaca kebenaran dengan cepat? Suatu kesalahan besar bagi Mateusz yang telah memilih Dimitri sebagai orang yang akan mendengar pengakuannya. Sekeras apa pun ia berusaha menyangkal kebenaran, hasilnya akan nihil. Menyangkal dari kenyataan hanya akan membuatnya menjilat ludah sendiri.

“Aku rasa begitu. Tapi rasanya mustahil memilikinya. Dia lebih memilihmu.”

Dimitri menghela napas yang sengaja disamarkan. Kata-kata itu terdengar miris. Bibirnya terasa kaku untuk sekadar tersenyum samar sebagai pertanda bahwa semuanya baik-baik saja. Pernyataan dari Mateusz justru menimbulkan kebingungan. Entah kata-kata tersebut hanya sebuah anggapan berdasarkan sudut pandang seseorang yang dibakar api cemburu, atau justru merupakan sebuah fakta yang baru saja terkuak.

“Bukan perkara hati yang dimenangkan. Biarkan nuraninya berbicara.”

Mateusz sedikit tertegun mendengar kata-kata itu. Kedua matanya membulat. Menyadari bahwa dirinya mulai lepas kendali, ia pun menormalkan tatapannya. Baginya, Dimitri bukanlah lawan yang mudah. Cukup sulit membaca strategi yang dimiliki oleh seseorang dengan pemikiran bertolak belakang dengannya.

Kedua tangan Mateusz mengepal erat. Dirinya yang tenang perlahan mulai dikuasai amarah. Memang ia membenarkan dan menyetujui respon Dimitri. Namun hal yang ia dengar tidaklah meredam kekecewaan. Hal ini justru mengundang kemarahan tak tertahankan.

“Kau,” suaranya tertahan.

Mateusz memperpendek spasi di antara mereka dan menarik krah baju Dimitri. Rahangnya mengeras, diikuti dengan tatapan tajam yang secara langsung ia tujukan pada Dimitri. Segala hal yang ada di sekeliling mereka seolah telah menjadi titik buta. Pemuda yang menjadi sasaran empuk Mateusz diam tak berkutik. Ia hanya mengikuti alur permainan dan bersiap menghindar jika sebuah pukulan dilayangkan ke arahnya.

Sadar dengan perlakuan yang baru saja dilakukan, Mateusz melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Ia berbalik dan mendengus kasar, lalu melayangkan kepalan tangannya ke arah kayu jembatan hingga retak. Tubuhnya berdiri tegak menghadap laut.

“Kau hanya belum mengerti keadaan sebenarnya. Dia memendam perasaan padamu. Ujian akhir yang berhubungan dengan fisik. Ingat? Fisiknya lemah tetapi ia memaksakan diri demi dirimu. Aku melihatnya sendiri. Ini fakta. Bukan dongeng murahan yang aku karang hanya untuk membanggakanmu.”

Tenggorokan Dimitri kembali tercekat. Dadanya terasa nyeri. Memang benar yang dikatakan oleh Mateusz. Dimitri mulai menyadari bahwa dirinya menyukai Figlia. Namun sayang, perasaan ini terpaksa terabaikan karena adanya perjodohan yang telah menjadi keputusan mutlak kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak, ia tak dapat melawan. Melawan hanya akan membuat namanya dicoret dari silsilah keluarga. Hidup Dimitri tak akan tenang dengan segala cibiran dan pencorengan nama baik keluarga yang dilakukan olehnya.

“Diam saja? Tak ingin menjelaskan sesuatu?” ujarnya tanpa membalikkan badan.

Mateusz menunggu jawaban dari Dimitri. Memang perkataannya bukan hal yang pantas. Mungkin sebentar lagi Dimitri akan melayangkan beribu pukulan untuk menghabisinya. Mateusz lebih rela menerima perlakuan ini daripada harus membiarkan Figlia merasakan sakit hari mendalam, melampaui lebam pada fisik akibat pukulan Dimitri.

“Bukan perkara hati yang dimenangkan. Biarkan nuraninya berbicara. Aku paham dengan maksudmu. Tetapi aku tidak bisa menerima jika kau menyakitinya.”

Tatapan Dimitri lurus ke depan, menampakkan kehampaan. Segala sesuatu yang terjadi benar-benar berada di luar dugaan. Jujur saja, untuk kali ini saja sebenarnya ia tak ingin mendustai perasaannya sendiri. Sayang, tekanan yang dititikberatkan padanya terasa begitu menyulitkan. Di satu sisi Dimitri ingin mengikuti kata hati, seperti kata-kata yang telah ia ucapkan pada beberapa orang, “Just follow your heart and believe that everything will be okay”. Namun di sisi lain ia lebih tak rela membiarkan Figlia yang tak bersalah harus terlibat dalam masalahnya dan merasakan sakit yang jauh lebih dalam.

“Kowalski,” suaranya terdengar berat. Dimitri terdiam sejenak, membiarkan suara ombak yang menghempas karang mengisi keheningan. Lalu ia melanjutkan, “Jaga dia. Bukan untukku, bukan juga untukmu. Namun untuk dirinya.”

Kata-kata itu terucap perlahan, namun pasti. Setiap penekanan pada kata menyiratkan kesungguhan Dimitri. Mateusz mendengus kesal mendengar kata-kata tersebut. Ia berbalik dan mengangkat sudut bibir kirinya sambil menatap Dimitri. Tentu saja di balik senyumnya ia tak dapat menerima hal ini. Kata-kata Dimitri di awal terdengar begitu meyakinkan, namun kini justru berbanding terbalik. Baginya, Dimitri tak lebih dari seorang pembual.

Tanpa pikir panjang, Mateusz mengambil ancang-ancang. Kedua kakinya berlari mendekat ke arah Dimitri. Sampai pada satu titik tertentu, kaki kirinya menjadi tumpuan berat badan, sedangkan yang kanan terarah persis ke perut Dimitri. Menendang pemuda itu hingga terhempas, terbentur pagar kayu dermaga. Konflik pun telah berada di titik puncak.

“Pembual! Sudah lupa dengan kata-katamu tadi? Pengecut! Apa itu yang disebut dengan laki-laki sejati jika mundur sebelum berperang?”

Pada saat yang bersamaan, darah mulai keluar dari mulut Dimitri. Membuat pemuda itu terbatuk hingga mengeluarkan cairan merah serupa dengan bau anyir yang lebih banyak. Cercaan yang ia terima terasa menyayat hati. Tak ada yang dapat dilakukannya selain diam dan membenarkan. Dalam keadaan seperti ini, Dimitri memang lebih memilih diam untuk meredam konflik. Sampai akhirnya ia pun menggunakan sisa tenaganya untuk berdiri dan bersandar di pagar dermaga, meski sempat terhuyung.

“Aku tahu ini salahku. Terima kasih telah memberi pelajaran berharga. Namun aku memiliki alasan tersendiri melakukannya. Bukan keputusan mudah. Konflik keluarga. Semuanya bergantung padaku. Suatu saat kau akan mengerti.”

Dimitri berusaha menahan diri untuk tak meneteskan air mata kedua kalinya. Air mukanya tenang. Seulas senyum kembali ia paksakan meski wajahnya telah pucat. Ia menghela napas panjang dan berdiri tegak. Rasa nyeri yang merajai tubuh tak lagi dipedulikannya. Kedua kaki Dimitri melangkah, mengubah posisi memunggungi Mateusz.

“Tak ada yang salah. Ikuti kata hatimu dan percayalah kau dapat melakukannya.”

Hening sesaat. Mateusz berusaha keras mencerna kata-kata itu. Jika ia berada pada posisi di ujung tanduk seperti Dimitri, mungkin yang dipilihnya adalah keluarga. Konflik yang begitu rumit akan menumbuhkan sulur hitam, bagai jerat mematikan tanpa ujung. Satu-satunya yang dapat meredam semua itu hanyalah sang titik penentu. Tak seharusnya ia gegabah dalam mengambil keputusan tanpa mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

“Dostoyevski!” serunya dengan cepat, menghentikan langkah Dimitri.

Dimitri terdiam dan berbalik menggunakan tenaga yang tersisa. Ia menatap datar Mateusz tanpa berusaha mengumpulkan beberapa anggapan baru di dalam pikirannya. Kali ini ia lebih memilih semuanya berjalan apa adanya, bagai air yang mengalir. Mateusz berjalan mendekat. Air muka dan tatapannya menampakkan penyesalan.

“Maafkan aku,” ia menelan ludah dengan berat kemudian melanjutkan, “Sekarang aku mengerti mengapa kau melakukannya. Aku mungkin akan melakukan hal yang sama jika berada pada posisimu.”

Mateusz tersenyum masam. Tangan kanannya terulur. Dimitri tersenyum lemah dan berjabat tangan dengannya secara tegas. Mateusz melangkahkan kedua kakinya mendekati Dimitri. Ia menepuk bahu pemuda itu.

“Terima kasih. Aku akan membuktikannya. Selamat untuk kelulusanmu— Dimitri,” ujarnya setelah memutuskan memanggil nama depan Dimitri sebagai pertanda bahwa ia bukan lagi orang asing untuk Mateusz. Bukan lagi Dostoyevski yang tak mengesankan keakraban.

“Sama-sama. Selamat juga untuk kelulusanmu, Mateusz.”

ANWAR KIROM-Kehilangan Kesederhanaan

Penulis: Anwar Kirom