Sri Rahayu

Elingono poro menungso
Siro kabeh bakale lunga
Bakale lunga
Tumpakane kereto Jawa
Rudo papat
Rupo menungso

Menceritakan tentang sosok bapak ibarat bernafas menghirup udara. Selalu lekat dan tak ada habisnya. Bapak saya itu hanya pensiunan pegawai golongan II/b. Setelah tentara Nippon takluk pada revolusi Indonesia, Bapak diangkat menjadi pegawai di pemerintahan. Beruntung Bapak mahir menggunakan mesin ketik, oleh karenanya ia menjadi juru ketik di kantor kabupaten. Bapak tidak mempunyai titel pendidikan di depan atau belakang namanya. Itulah kenapa jabatan Bapak tidak pernah berubah sejak pengangkatannya sekalipun setengah dari umurnya diabdikan kepada negara. Tapi Bapak memang orang yang luar biasa nrimo, selalu bersyukur dengan rezeki yang diberikan Pengeran kepadanya.
Bapak orang yang taat agama. Lima waktu tak pernah ia tinggalkan. Bapak selalu mengingatkan kami tentang sejatine urip di dunia. Bahwa Pengeran telah menggariskan qodo’ dan qodar manusia bersamaan dengan ditiupnya nyawa ketika masih di rahim ibu. Mulai dari rezeki, jodoh, jalan hidup, hingga kematian. Seperti tata surya ini, manusia hanya berjalan sesuai dengan garis rotasi yang telah ditentukan oleh-Nya. Tentunya apa yang telah diberikan Pengeran sesuai dengan batas kemampuan manusia. Demikianlah Bapak telah membesarkan kami berempat.
***
Rencananya Bapak akan menggunakan uang pensiunan untuk pergi umrah. Ketika Bapak mengutarakan niat suci tersebut, saya memonggokan saja. Adik-adik juga mengamini niat Bapak. Demi keamanan, saya menyarankan kepada Bapak agar mempercayakan uangnya di bank saja. Bapak mengiyakan usul saya. Jadilah lepas salat Jumat nanti saya mengantar Bapak ke bank untuk membuka rekening.
“Le, nanti kalau Bapak jadi pergi, nitip ibumu ya.”
Ah, bapak ini. Anakku sudah dua, masih saja dipanggil “Le”. Apa nanti kata anak-anak kalau mendengarnya. Tak biasa Bapak memanggil dengan sebutan itu, biasanya langsung panggil nama.
“Insyallah, Pak.”
“Lo kok insyallah? Yang satu persennya bagaimana?”
“Ya kalau Allah mengizinkan barulah saya menjalani amanat Bapak itu. Saya bisa janji hanya sembilan puluh sembilan persen. La yang satu persen itu hak Allah. Nggeh nopo nggeh, Pak?”
Bapak tertawa. Tawa yang mengandung kebanggan. Ah, usia boleh memakan fisik Bapak. Tapi untuk urusan pegangan urip, usia tak mampu menggoyahkannya. Jangankan menggoyahkan, menyentuhnya saja tidak.
***
Menjadi anak laki-laki tertua ya begini ini. Secara otomatis menjadi tangan kedua Bapak. Lihat saja, pada waktu adik yang nomor dua mau kuliah di Bandung. Bukan dia yang bingung, tetapi saya. Saya harus bolak-balik Jawa Timur-Bandung hanya untuk mengurusi regristasi mahasiswa baru, mencari dan memastikan adik perempuan saya itu ngekos di tempat yang bener. Saya baru bisa pulang ke rumah kalau adik saya benar-benar sudah pepeg kuliah di Bandung, ya akademiknya, ya pergaulannya. Saya kira dia juga mengerti, bukan untuk membatasi, tetapi melindunginya.
Tetapi saya juga tahu batasan, tidak semua kehidupan adik-adik, saya yang mengontrol. Kalau saya rasa dia bisa dipercaya, ya saya biarkan saja. Demokratis, bebas asal bisa dipertanggung jawabkan. Ya, pernah terjadi kasus. Adik saya yang nomor satu itu seorang sarjana muda kedokteran. Mendapat sukwan di rumah sakit kota. Pada waktu Yogjakarta terjadi gempa, adik saya ngotot pergi ke sana untuk jadi sukarelawan. Jujur, saya tidak tega. Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi gempa susulan waktu adik saya bertugas. Ya itu kalau gempa, kalau tsunami? Tapi saya tahu adik saya bisa diberi amanah, dia bisa menjaga diri dan nama keluarga. Maka berangkatlah dia, saya hanya bisa memastikan ia sampai dengan selamat di tujuan.
“Bapak sebenarnya masih kepengen sama-sama kalian. Belum legowo aku, kalau adik-adikmu belum mentas semua. Kayak masih ada ganjelan di hati.”
Sajadah dan tasbih saya letakkan begitu saja di meja ketika Bapak mengutarakan pendapat itu. Saya memandangnya dalam. Saya bisa memahami apa yang dirasakan oleh Bapak. Kami sama-sama telah menjadi bapak.
“Adik-adik kan sudah dewasa, Pak. Insyallah bisa jaga diri. Saya juga akan bantu Bapak ngawasi adik-adik nantinya kalau Bapak sudah di tanah suci.”
“Kalau ada kamu, Le, Bapak bisa legowo lunga ke mana-mana. Tentrem. Bapak bisa percaya sama kamu.”
Tarkhim sudah menggema di masjid. Menjadi tanda bagi laki-laki untuk segera menunaikan kewajibannya di hari Jumat. Bapak berjalan mendahului saya keluar rumah.
Pikiran saya agak kalut. Pembicaraan Bapak terasa tidak biasa hari ini. Sempat saya berpikir, sepertinya Bapak mau pergi jauh. Jauh dan lama. Ya, Bapak akan pergi jauh. Pergi umrah. Tetapi tidak lama, tidak sampai sebulan. Saya segera saja menepis pikiran ganjil itu. Bapak sudah di ambang pintu rumah. Ia memanggil saya untuk lekas ke masjid. Sajadah dan tasbih yang tergeletak di meja saya ambil. Saya segera menyusul Bapak menuju pintu rumah.
***
Sungguh, hari ini terasa ganjil bagi saya. Mulai dari pembicaraan Bapak tadi, sampai dengan khotbah Jumat siang ini. Sebenarnya hal yang wajar kalau khotbah Jumat bertemakan kehidupan setelah mati. Sebelum ini saya juga sering mendengarnya. Tetapi entah mengapa saya memperhatikan Bapak begitu khidmat mendengarkan isi khotbah itu. Seolah-olah Bapak sedang menanti-nantikan datangnya kehidupan kekal itu. Menunggu Izrail menjemput dirinya dengan kegembiraan. Astagfirullah. Segera saya tepis pikiran itu jauh-jauh. Bapak terlihat sehat dan bahagia. Saya percaya batas yang diberikan Allah kepada Bapak masih lama. Tidak sebelum anak-anaknya mentas semua.
Sepulang dari salat Jumat, saya sengaja tidak langsung pulang ke rumah. Saya masih di rumah Bapak. Hari ini Bapak akan saya antar ke bank untuk membuka rekening. Setelah agak lama menunggu di ruang keluarga, Bapak keluar dari kamar dengan menggunakan setelan jas dan kemeja putihnya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Bapak seperti mau ijab qabul saja. Kita kan hanya mau pergi ke bank. Tidak perlu seformal ini, Pak.”
“Ndak apa-apa. Sesekali Bapak ingin pakai setelan ini lagi. Dulu eyangmu yang membelikan. Bapak kan baru sekali saja memakainya, waktu walimatul ‘ursy pernikahan kamu. Habis itu Bapak tidak pernah memakainya lagi. Hanya sebagai simpanan kalau ada acara-acara penting.”
“Tapi kita hanya mau ke bank, Pak. Bukan ke wisudanya adik. Bapak ini gimana to?”
“Ah. Bapak jadi kangen sama eyangmu. Pengen ketemu lagi. Sayang, emak dipanggil sebelum sempat melihat cucu-cucunya jadi orang.”
Bapak mengalihkan pembicaraan begitu saja. Pandangan Bapak menerawang, seperti mengulang kenangan masa lalu. Masa ketika eyang masih hidup. Dari tiga bersaudara, Bapak anak kesayangan eyang. Bukan sebagai anak emas, tetapi lebih pada anak yang bisa diberi tanggung jawab orang tua. Di mata Eyang, Bapak ibarat kisah Lukmanul Hakim yang abadi dalam surat Al-Lukman. Tak pernah sekalipun membuat kecewa atau malu keluarga. Perangainya selalu membuat bangga keluarga.
“Monggo, Bapak. Lekas kita berangkat. Nanti keburu banknya tutup.”
Sepertinya Bapak tidak mengindahkan kata-kata saya. Ia masih larut dalam kenangan. Saya segera saja keluar rumah dan men-stater mobil di halaman. Mungkin kaget mendengar derum mobil, sekonyong-konyong Bapak keluar rumah.
Sepanjang perjalanan, saya sengaja mengarahkan pembicaraan pada hal-hal yang terkait umrah. Menceritakan beberapa teman kantor saya yang pernah pergi umrah. Sesekali Bapak juga memberi komentar tentang cerita saya.
***
Benar saja. Perasaan saya menjadi tidak karuan. Saya kaget bukan main, tiba-tiba saja Bapak menyimpan uangnya di bank atas nama saya. Ketika saya tanya mengapa, bukankah uang itu akan digunakan untuk pergi umrah. Bapak hanya tersenyum saja, tidak menjawab. Saya tidak berani memaksa Bapak. Begitulah Bapak kalau mempunyai keinginan, tidak ada yang berani menggugatnya.
Malamnya saya susah tidur. Saya sengaja tidak cerita hal ini kepada istri. Takut kalau-kalau itu hanya pikiran saya saja. Begitu juga dengan adik-adik. Saya sengaja menyembunyikannya. Dalam hati saya tetap yakin, ini hanya prasangka saja. Insyallah tidak terjadi apa-apa. Saya sempat menelepon Ibu, bagaimana kabar di rumah. Saya mendengar Ibu tertawa di telepon. Wajar jika Ibu menertawakan saya. Seharian saya ada di rumah dengan Bapak, konyol sekali jika tiba-tiba saya telepon hanya untuk menanyakan kabar.
Sungguh, perasaan ini tidak bisa dibohongi. Saya sangat cemas. Rasanya seperti menunggu tamu agung akan datang di keluarga kami. Dan tamu agung itu akan mengambil sesuatu yang sangat berharga bagi saya, bagi keluarga kami.
***
Saya duduk termenung di teras rumah Bapak. Kenangan tiga hari yang lalu masih lekat dalam ingatan saya. Ah, betapa sulitnya belajar untuk ikhlas. Merelakan sesuatu yang sangat kami butuhkan. Saya menghirup nafas dalam, udara yang masuk begitu terasa di rongga paru-paru. Bersyukur, karena saya masih diberi nafas oleh Pengeran. Nafas untuk menjaga titipan Bapak. Menjaga Ibu, menjadi wali bagi adik-adik.
Bapak. Ia pergi dengan menitipkan kedewasaan kepada saya. Andai saya tahu Izrail akan datang menjemput Bapak pada waktu malam ketika semua orang terlelap. Saya akan menunggunya, sekalipun itu meletihkan. Saya ingin meminta waktu kepada Izrail, barang semenit. Membisikkan syahadat kepada Bapak, memastikan Bapak khusnul khotimah. Nyawa itu terlepas ketika anak-anaknya tidak ada di samping Bapak. Rasanya banyak hal yang ingin saya dengar dari Bapak, paling tidak pesan terakhir sebelum Izrail membawa Bapak pergi bersamanya.
“Mas, ayo masuk dulu. Tahlilan sudah mau dimulai. Orang-orang sudah datang.”
Teguran itu membuyarkan lamunan saya. Ada keikhlasan di mata adik saya. Ya, tentu. Saya memang harus ikhlas. Ikhlas melepas kepulangan Bapak, serta ikhlas menjaga titipan Bapak. Benar kata Bapak, manusia berjalan sesuai dengan rotasi takdirnya. Tidak seorang pun bisa membelokkan rencana dari Sang Pemilik Hidup.

Jujug ane omah guwo
Tanpo bantal, tanpo kelasa

Sri Rahayu adalah alumnus Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah angkatan 2006. Ia meraih juara harapan I tangkai menulis cerpen Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional 2010.