Tsabit Nur Pramita

Gadis itu masih tak sadarkan diri. Semua orang mulai panik. Sudah lewat satu jam, tapi tubuhnya tetap tak bergeming sedikit pun. Jemarinya sesekali bergerak, namun tak lama kemudian dingin menyerang seluruh tubuhnya. Bibirnya pucat membeku, sementara detak jantungnya tak lagi beraturan. Tangis mulai membahana di seluruh ruangan kecil berukuran 3 x 3 di sudut kelas 3 rumah sakit itu. Angin telah membawa kabar kedatangan malaikat maut. Langit berucap selamat datang untuk roh yang akan menjadi penghuni baru di dalamnya. Bumi pun mulai gemeretak, mempersiapkan diri menjadi tempat terakhir jasad yang akan segera memasukinya. Laki-laki muda terus saja menggoncangkan tubuh gadis yang setengahnya telah berbau bangkai itu. Seakan tak pernah diizinkan gadis itu pergi secepat ini. Tidak untuk semuda ini. Dua puluh tahun.
Nenek menemukannya tergeletak dengan mulut berbusa siang tadi. Sudah seharian ia tak keluar kamar. Mereka tak pernah curiga karena memang terbiasa keluar kamar ketika makan siang. Namun, ketika jarum jam mulai bergeser dari angka dua belas, semua mata mulai saling berpandangan. Nenek adalah orang pertama yang panik dengan keganjilan itu. Seolah dapat dirasakannya apa yang terjadi di balik kamar yang selalu gelap sejak tiga bulan terakhir. Dengan tergopoh-gopoh, wanita 68 tahun itu mencuri kunci duplikat. Kamar itu memang selalu terkunci. Karena itu, sejak kejadian satu bulan yang lalu, nenek memutuskan untuk membuat kunci duplikat tanpa sepengetahuan si empunya kamar.
Nenek masih saja terus memanggil nama gadis yang berada di balik pintu, yang saat ini tengah dicoba untuk dibuka. Tangan wanita itu gemetar, kulit yang mulai bergelambir semakin kuyu,  guratan-guratan yang memetakan wajahnya terasa tak sanggup menahan derita yang begitu perih. Sudut matanya mulai membentuk awan hitam. Tak lama kemudian membawa gerimis luka yang semakin menyayat relung hatinya.
Ini bukan kali pertama ia mencoba mengakhiri hidupnya. Satu bulan lalu, masih nenek yang pertama kali menyaksikan, ia mencoba mengundang Izroil dengan memutus urat nadi tangannya. Untung nyawanya masih bisa terselamatkan. Sejak itu, nenek tak pernah meninggalkan satu-satunya peninggalan buah hatinya itu sendirian. Meski pintu kamar selalu terkunci, sesekali nenek mengintip dari kaca jendela. Memastikan keadaan di dalam baik-baik saja. Gadis itu tak pernah mau bicara. Sepanjang hari ia hanya bergumul dengan tumpukan album foto yang terus saja dibolak-balik. Sesekali ia tersenyum pada satu halaman, cemberut pada halaman lain, dan terkadang menangis sesenggukan. Tak jarang ia berteriak, membuat seisi rumah kelimpungan, bingung harus berbuat apa. Pernah anak bungsu nenek menyarankan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa, tapi nenek menolak mentah-mentah.
“Dia masih waras,” kata nenek dengan terbata-bata.
“Tapi dia sudah tidak berfikir normal, Bu. Kami tidak mungkin menjaganya dua puluh empat jam. Kami punya kesibukan sendiri.”
“Aku yang akan merawatnya,” tegas nenek yang diiringi buliran bening terjatuh di lantai keramik putih tanpa sedikit pun melewati guratan-guratan tipis yang terukit di wajahnya.
Nafasnya mulai tersengal-sengal, matanya terbelalak seolah tengah menatap sesuatu yang mengerikan. Bola mata di dalamnya terbalik, sedangkan tangannya tergenggam kuat. Nenek hanya bisa menangis, yang lain berdiri lemas mengitari ranjang putih di mana si gadis berjuang melawan sakit yang dipilihnya sendiri. Laki-laki muda itu masih saja memanggil-manggil si gadis. Bukan lagi awan pekat yang mendatangkan gerimis di bumi hatinya, melainkan hujan badai yang merobohkan segala bentuk kekuatan, menenggelamkan semua tawa dan kehangatan. Sementara itu, dokter masih mencoba memaksimalkan kemampuannya sebagai manusia. Beberapa kali ia mencoba mengembalikan detak jantung si gadis dengan sengatan listrik. Satu, dua, tiga, hasilnya sama. Alat deteksi jantung masih menggambarkan garis lurus. Ia mulai putus asa, namun Tuhan masih memberi kesempatan kedua. Sengatan listrik keempat, garis naik turun macam sandi rumput mulai terlihat. Semua berucap syukur alhamdulillah, termasuk nenek dan laki-laki muda itu, dua orang yang mungkin paling tak sanggup menerima kenyataan jika gadis itu benar-benar pergi.
Hampir setiap hari, laki-laki itu berkunjung ke rumah nenek. Gadis itu tak lagi mengunci pintu kamarnya, bibirnya pun tak lagi dalam seribu bahasa.

Tsabit Nur Pramita adalah alumnus Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Saat ini menjadi editor bahasa harian Jawa Pos.