Qurrotu Aini Laila

“Sungguh Allah menahan langit dan bumi agar tidak lenyap.“

Sudah tiga hari ini langit menunjukkan gelagat yang kurang baik. Gelegar petir terdengar berhasil menggetarkan beberapa pucuk pohon spesies baru, Eu Betelguesse. Tinggi menjulang hampir tiga puluh meter. Buah-buahan dari pohon hasil kloning itu tidak bisa menahan sambaran elektron berjatuhan, mengepulkan asap putih pada bumi yang tak lagi punya tanah. Lazuardi memerah marah, tak lagi ada gelap. Ia seakan menumpahkan kesumat pada seluruh penghuni Bimasakti.
Hari ini  hari kedelapan di tahun 2105. Tak ada kehangatan di tahun baru ini. Bumi mungkin hendak kembali ke zaman beku. Zaman di mana temperatur bumi terlalu dingin, tak ada kehidupan.
Bip… bip….
X3000, Cast.
COBE Center, 3.20 am.
New Extrasolar Planet finding, 3544667865.
The door will be opened 3.10 am.
Tut….
Kualihkan pandangan dari pesan di layar monitor. Kuusir segala penat, kuputar pinggangku ke kiri, ke kanan. Lalu kupencet tombol.
HMNYD
Coming….
Humanoyd X85 b bergerak mengambil sesuatu dari mesin pemproses minuman termutakhir abad ini, cairan berwarna hijau, hangat, nyaman. Rasa pegalku pun mendadak hilang.
Aku berada dalam kabin yang tidak terlalu luas, dengan beberapa perangkat penghubung komunikasi, sebuah komputer multifungsi, invisible monitor, beberapa perangkat dengan kendali jarak jauh yang semuanya terhubung pada alat pengaman pada sistem yang melekat pada semua dinding kabinku yang terbuat dari kaca tebal transparan. Beberapa teropong bintang ukuran kecil berjajar di balkon menghadap gugusan bintang di cakrawala. Sayang, teropong-teropong itu bukan untukku. Padahal aku suka sekali bintang dan Lyra juga ingin sekali melihat.
Namaku Castor. Tujuh hari yang lalu sebuah meteor berhasil menembus bumi. Menciptakan nganga yang cukup besar. Aku berada di sana. Meteorid itu berasal dari asteroid yang hancur membentuk kepingan-kepingan kecil akibat tertarik oleh gravitasi raksasa Jupiter yang tak lagi berbahaya bagi bumi. Berterimakasihlah engkau wahai makhluk bumi!  Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Kepulan asap itu masih ada. Tak jauh dari sana, beberapa meter dariku juga ada nganga yang lebih besar dengan asap putih yang mulai menghilang. Kulihat beberapa orang berseragam mendekat ke arahnya. Tanpa kusadari, di depanku sendiri sudah berkerumun beberapa orang yang sangat asing bagi penglihatanku. Orang-orang rapi berseragam putih bersih. Beberapa dari mereka mengucapkan kata-kata yang kurang kumengerti pula. Ketika tangan-tangan  itu menarikku dari serpihan reruntuhan, aku tersenyum getir. Bukan karena menahan sakit. Sama sekali tidak. Tapi kurasakan kehadiran beribu macam ambisi. Tajam.
Aku pendek.
Sejak ratusan tahun silam manusia mulai tergelitik meneliti kehidupan di luar bumi. Sekarang keingintahuan itu semakin tak terkendali. Mereka ingin menguasai seluruh jagad raya dengan menemukan hunian- hunian baru. Kata mereka bumi semakin sesak. Licik. Mulailah mereka mencari dan mencari. Usaha yang bodoh bukan? Lucu.
Tubuhku sedikit kurus.
Aku mungkin gila. Tapi manusia bumi lebih gila lagi. Kami tahu siapa manusia, lebih dari mereka mengenali kami. Spekulasi yang harusnya berujung negatif. Mereka amat pandai berkongkalikong membuat teori. Mereka membuat teori-teori baru yang amat mengusik kami. Kami lelah menyaksikan tingkah mereka, sebaliknya mereka seolah tak pernah lelah mengobservasi kami.
***
Aku dipekerjakan atau lebih tepatnya diletakkan pada sebuah pusat penelitian bintang yang terletak di dekat gedung tinggi luas bertuliskan Lawrence Berckley Laboratory. Mugkin karena aku terlalu jenius, terlalu banyak tahu tentang angkasa yang mereka teliti, dan mungkin terlalu asing.
Warna kulitku semu abu.
Aku tak bisa keluar kamar tanpa perintah dari luar yang bisa membuka sistem pengaman dalam kabinku. Setiap malam aku berusaha berkomunikasi dengan teman luar angkasaku. Lewat monitor yang hanya bisa dijangkau oleh indraku. Tentu saja kami tak bisa bertemu. Hanya layar yang menghubungkan kami. Hari ini aku bebas dari perintah, bebas dari sentuhan kabel yang membuat otakku ngilu. Itu artinya aku tak bisa keluar. Kukirim pesan, kutekan beberapa tombol.
On.
Bip… bip….
Ready to see.
Enter.
Lyra mendahului percakapan.
“Vv0fgdsghf kokdag 3344 jjha dskhlj 324 jjijj jojh vvv bb ahahhh zzz.”
“Zzz zzzz zzzz… vvv.”
“Kjgabt.”
Ooo… oo… 00.
Close.
Off.
Kepalaku pipih dan agak di luar ukuran.
Lyra temanku berasal dari rasi kecil sebelah utara. Ia tinggal di Vega, bintang paling terang di sana. Kadang–kadang kami pergi bersama melihat hujan leonid di Regulus setiap November datang. Mensyukuri betapa indahnya ciptaan Tuhan yang dibentangkan di jagad angkasa. Tapi sayang tahun ini rupanya kami tak bisa pergi ke rasi Leo itu seperti biasa. Lagi-lagi gara-gara manusia bumi. Pesawat kami hancur yang kepingan-kepingannya pun telah di rampas jadi objek penelitian, tak ada yang tersisa. Berdua kami sering menertawakan kebodohan manusia. Bersama-sama menahan geli dan menceritakan cerita-cerita yang menggembirakan. Demi mengisi ruang kebosanan sambil menanti sebuah takdir buruk yang telah nyata terduga. Menanti dengan bosan dan juga geli, itulah hari- hari kami.
Sepasang antena kecil menyembul.
Kulihat pagi dari balkon. Embun masih menyisa. Semburat merah fajar mulai tampak merona. Sayup-sayup seperti kudengar suara azan. Ah, tapi mana mungkin. Manusia di kota ini sudah tidak mengenal Tuhan mereka. Mereka lenyap di antara kesibukan-kesibukan dunia. Kuintip jalan di bawah. Rapi, dengan kanan kiri berpagar pohon gubahan manusia. Dengan daun keperakan yang berguna untuk memantulkan sinar mentari yang tidak lagi sehat tapi terik membakar dan juga mencipta bahaya. Tentu saja hal ini karena bumi tidak lagi punya topi. Pemanasan global, itu kata mereka lagi. Bumi tak lagi punya hijau. Pohon-pohon mati karena sinar mentari tak lagi mau membantu fotosintesis. Dan manusia tak mampu membuat subtitutenya.
Bumi gersang.
Bumi yang malang.
Bumi tak lagi bumi.
28 Januari 2105, Mars Odissey dan Mars Global Surveyor menunjukkan kembali adanya tanda-tanda kehidupan di planet si dewa perang.
Spekulasi adanya kehidupan di sana semakin jelas, karena ukurannya yang terlihat 4,5 au dari bumi. Menakjubkan.
Di bulan yang sama, Januari lima tahun yang lalu. Pesawat antariksa tak berawak yang beberapa menit kemudian kuketahui meluncur dari bumi mendarat dari salah satu sisi lembah sebelah timur planet kami. Pesawat yang bertugas untuk selalu meng-up-date data tentang perkembangan planet ini mulai melancarkan sinar laser beradiasi tinggi yang sangat kuat. Menelanjangi setiap sudut rumah kami. Aku terusik. Kami tak mampu menghalanginya. Hingga dua tahun setelah pesawat itu ditarik ke bumi, kami sadari alam kami mengalami gangguan. Akibat gelombang kejut yang meradiasi keberadaan orbit bintang–bintang kami. Dengar dan saksikan penghuni bumi, kami sangat terusik. Semua kacau balau.
Telingaku panjang meruncing.
Hari ini  aku boleh keluar karena aku dibutuhkan untuk sebuah percobaan, tentu saja dengan Humanoyd yang selalu mengekoriku. Ternyata di bumi banyak robot! Kulihat beberapa dari mereka membersihkan jalan taman ini. Bekerja penuh teliti dengan sistem yang dibuat teramat kaku. Bekerja dengan gerakan yang seragam bersamaan.  Membuat jalan menjadi mengkilat. Kulihat satu dari mereka mengeluarkan asap, dadanya berkedap-kedip merah. Mobil berukuran besar pun tiba-tiba datang dan menggilas remuk tubuh besi itu. Tragis. Dan aku mungkin akan bernasib sama ketika aku tak lagi berguna.
Tak ada lagi empat musim, yang ada hanya dingin yang terlalu dingin dan panas yang terlampau panas. Hujan pun tak lagi berpelangi. Katanya pelangi di bumi sangat indah. Begitu indahnya hingga melebihi indahnya sinar leonid dan kecerlangan bintang pada supernova. Katanya pelangi begitu indah. Bentuknya melengkung membentang menghubungkan langit–langit cakrawala. Aku begitu ingin melihat pelangi. Begitu ingin.
***
Tit… tit… tit….
Bahu kiriku menyala-nyala. Aku pernah melihat yang seperti ini sebelumnya.
Bunyi ini.
Tit… tit… tit….
Rasanya ada yang memukul kepalaku. Sakit dan berdenyut- denyut.
Tit… tit… tit….
Ya, rasanya aku pernah mendengarnya.
Dulu di kawah meteoroid.
Tit… tit… tit….
Kudengar bunyi ini semakin cepat. Nampaknya telingaku menangkap bunyi lain. Bunyi hujan yang sangat deras. Mataku mulai terbuka lebar. Sesaat aku sadar tubuh dan kepalaku telah dipenuhi kabel. Kuedarkan pandangan. Orang–orang berjubah putih dan dia, sepertinya aku mengenalnya. Dua meter dariku. Tergeletak tak berdaya dengan kabel- kabel melilit yang terhubung pada alat yang besar. Matanya tertutup, tak ada bunyi dan tak ada pendar cahaya keluar dari tubuh kurusnya. Tangan-tangan itu mendorongnya. Tubuhnya menjauh. Kudengar suara mesin penghancur bekerja.
Grek… grek… grek….
Dia telah hancur! Sudah mati.

Andai aku bisa bicara.
Dengan mulutku yang tak terbentuk.

Hi makhluk bumi.
Musnahkan aku dulu.
Remukkan aku dulu.
Karena sebentar lagi.
Hujan tentu reda.
Dan pelangi itu tentu akan datang.

Lyra, bangun Lyra.
Lihatlah, Lyra.
Warnanya sungguh indah.
Mereka benar, Lyra.
Begitu indah.
Ada tujuh lapis.
Merah, hijau, dan jingga.
Dan warna apalagi itu, Lyra?
Aku tak mampu menyebut warna.

Ajari aku Lyra.
Lihat, lihat Lyra.
Jangan biarkan aku terus bercerita padamu.
Tatap, Lyra.
Tataplah sendiri indahnya warna itu.

Semua telah redup, Lyra. Warna itu perlahan kabur. Aku tak tahu kenapa. Apa pelangi hanya muncul satu menit? Aku lupa tanya pada mereka, Lyra. Tapi kau bahagia kan, Lyra? Aku pun sama. Bahagia. Akan kuusahakan untuk terus mengingat warna itu, Lyra.
Aku merasakan tubuhku sangat lemah dan aku tak mampu lagi membuka mataku. Mesin penghancur itu telah menelan tubuhku, Lyra. Dan aku tak yakin aku akan mampu bercerita lagi tentang indahnya pelangi padanya.

Namaku Castor.
Aku pendek.
Tubuhku sedikit kurus.
Warna kulitku semu abu.
Kepalaku pipih dan agak di luar ukuran.
Sepasang antena kecil menyembul.
Telingaku panjang meruncing.
Aku suka pelangi. Pelangi yang terakhir.

Catatan
humanoyd: robot yang berkapasitas dan berbentuk seperti manusia
asteroid   : sekumpulan benda angkasa yang berkuran kecil dengan    bentuk tidak beraturan
leonid        : Hujan meteor yang terjadi di rasi Leo sebelah utara
Mars Odissey dan Mars Global Surveyor: pesawat antariksa yang dipersiapkan untuk penelitian planet Mars dalam jangka panjang
au           : satuan jarak dalam astronomi (austronomical unit)
supernova : ledakan cemerlang pada akhir kehidupan  sebuah bintang

Qurrotu Aini Laila adalah alumnus Sastra Inggris