Lukisan awan di atas bumi Sumatera shubuh itu sangatlah sejuk, membuat para manusia yang berlindung di bawahnya merasakan kenyamanan dalam nafasnya. Suara sahut-sahutan antar katak penghuni rawa yang berbeda membumbung tinggi di angkasa. Tetesan embun pagi membasahi rumput yang masih terlelap dalam tidurnya. Jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, sang ibu yang sedang mengandung selama 9 bulan ini sudah terbangun dari mimpi. Namun yang ia rasakan adalah rasa sakit yang menandai bahwa si jabang bayi akan segera memasuki dunia baru. Setelah beberapa menit, sang ayah pun membawa seorang bidan untuk membantu proses kelahiran istrinya. “Alhamdulillah…”. Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari sanubari sang ayah maupun sang ibu yang menandakan rasa syukur seorang hamba kepada Yang Maha Kuasa. Tak lupa ayah mengumandangkan adzan dan iqomah pada sang jabang bayi. Sang jabang bayi tumbuh menjadi gadis cilik yang periang dan anggun. Oya, adalah nama kesayangan yang diberikan oleh orang tuanya. Dia selalu tertawa dan melewati masa pertumbuhan dengan bahagia, meski hanya hidup di desa terpencil yang jauh dari kemewahan dunia tengah kota.

Menurut takdir yang telah ditetapkan, ibu pun mengandung untuk yang ke dua kalinya. Saat ini, ibu melalui masa kehamilan dengan hari-hari yang ceria karena Oya selalu membuat bibir ibu tak henti tersenyum. Tingkahnya yang masih lucu dan suara berbau nada kemanjaan masih saja melekat padanya meski sekarang sudah memasuki 2 tahun menyandang gelar siswi Sekolah Dasar.

Sekitar pukul 06.00 pagi, ibu merasakan nyeri pada perut ketika Oya akan berangkat ke sekolah, kemudian ayah langsung membawa ibu ke bidan bersalin di desanya, namun jaraknya lumayan jauh dan melewati beberapa kebun penduduk desa. “Oya sekarang berangkat sekolah ya, biar ayah saja yang mengantar ibu ke bidan. Kamu harus jadi anak pintar, biar nanti kamu bisa jadi contoh adik kamu. “. Oya kecil tak lagi membantah perkataan ayahnya, dengan rasa riang gembira ia melangkahkan kaki menuju sekolah berharap ketika pulang ia dapat melihat adik sudah tersenyum manis di depan rumah menantikan kedatangannya. “Adik hati-hati ya di rumah, jaga ibu sama ayah.” Ucap Oya dalam hati tulusnya.

Langkah kecil itu semakin cepat ketika terik matahari semakin membakar tanah. “Assalamualaikum..” Ucap Oya dengan riangnya. Namun yang terlihat di dalam ialah sebuah tubuh yang tergeletak tak berdaya di tengah kerumunan orang-orang yang duduk bersila.

Setelah 1 tahun kepergian ibunya, ayah berencana untuk kembali ke rumah kakek di Jawa. Namun dengan berbagai alasan yang telah dipertimbangkan, Rizky (adiknya Oya) akan dirawat oleh budenya di Sumatera, sedangkan Oya akan ikut bersama ayah di Jawa. Perpisahan itupun menjadi saat terakhir Oya melihat adiknya yang diiringi dengan menetesnya air mata dan teriakan kecil sang adik.

Kini Oya kecil telah  berubah menjadi seorang gadis remaja yang anggun. Oya kini telah berumur 16 tahun dan sedang menempuh sekolah kelas 2 SMA. Hari-hari dia lalui bersama para sahabat dan teman-temannya di sekolah. Ketertarikan seorang remaja memang sangat wajar. Pilihan Oya jatuh pada sosok remaja putera yang baru saja duduk di kelas 1 SMA. Namanya Zainuddin, tetapi teman-temannya terbiasa memanggi Zain. Pertemuan pertama mereka terjadi saat kegiatan orientasi siswa baru dimana Oya menjadi ketua pelaksana kegiatan.

Bel sekolah berbunyi ketika matahari berada pada garis lurus 90 derajat celcius di atas setiap kepala yang merasaknnya. Zain yang berjalan santai tiba-tiba berhenti di depan kelas Oya, melihat Oya sedang duduk manis dengan sejuta senyum yang mengembang dipipinya. Saat itupun Oya melempar senyum kepada Zain yang sedang berdiri kaku di depan kelasnya.

Kalender menunjukkan tanggal 9 Agustus 2015, tepat hari minggu. Satu pesan singkat Oya terima dari Zain sekitar pukul 5 setelah subuh. “Kamu mau nggak hari ini keluar sama aku ?”. Dengan hati berdetak kencang dan tangan yang gemetar, perlahan-lahan Oya memencet tombol di handphonenya secara acak. “Bisa. Jam berapa ?” . “Aku tunggu kamu jam 9 pagi di pertigaan jalan Bandung Lautan Api ya, jangan lupa bawa helm.”

Sekitar pukul 09.00, Oya menunggu Zain ditempat yang telah disepakati. Oya membuka kembali pesan singkat dari Zain, membacanya berulang-ulang hingga dari arah selatan terlihat orang yang ditunggu-tunggu mengendarai motor. Hati Oya berdebar kencang, pipinya mulai memerah, matanya mulai berkaca dan tangannya bergetar. Maklum, ini adalah kali pertamanya dia pergi bersama laki-laki.

Berjalan berdua, layaknya remaja yang sedang jatuh cinta, duduk dibawah pohon yang rindang ditemani durian yang baunya sangat wangi. Berbagai ceritapun saling dilontarkan, saling melempar senyum, dan kata-kata memanja. Tenangnya air telaga menjadi saksi menyatunya dua pasang hati. Kisah kasih yang dirajut oleh keduanya terus berjalan mengisi lembaran baru mereka yang telah dibuat sejak hari itu. Hingga suatu saat, salah satu guru BK sekolah, sering melihat mereka bersama saat di sekolah maupun diluar sekolah. Akhirnya sidang perdana mereka pun terjadi saat jam istirahat sekolah. Suasana mencengkeram, kali ini Oya dan Zain pun hanya diam tertunduk, hendak berkata jujur tapi malu, hendak berkata bohong pun takut berdosa. Segala nasehat panjang lebar telah disampaikan oleh sang guru BK. Oya dan Zain hanya bisa menjawab “Iya bapak”, dan seperti itu hingga diulang beberapa kali. Kejadian ini pun langsung menyebar sampai penjuru sekolahan, sehingga hampir semua siswa mengetahui hubungan mereka berdua dan sudah menjadi rahasia umum.

Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Kini hanya dalam hitungan hari Oya akan meninggalkan kabupaten tercinta, karena harus melanjutkan studynya ke kota Malang. Hari-hari dalam penantian itupun dilewati dengan hati yang was-was, berharap hari itu tidak segera tiba.

Jam tangan hitam yang melingkar itu mengingatkan Oya pada sosok Zain yang selalu menggenggam tangannya saat pergi bersama. Semua rasa bahagia selalu tertumpah dalam canda dan tawa yang tercipta saat suasana cinta itu ada. Betapa rindunya Oya pada Zain yang selalu memberikan semangat untuk belajar dan menghibur Oya saat banyak masalah yang menghimpitnya. Hingga perpisahan yang masih menyisakan misteri itu memisahkan mereka. Hanya bayangan yang menemani Oya menyusuri setiap jalan berliku yang membawanya menuju Kota Malang. Hingga perjalanan itu pun kini menjadi kenangan dan saksi atas suksesnya Oya berpartisipasi dalam suatu organisasi kampus. Tidak hanya itu, dia juga pandai bergaul sehingga banyak menciptakan relasi-relasi yang menyebar hingga ke beberapa kabupaten sekitar.

Udara kabupaten Ponorogo memang tetap sama seperti 4 tahun dulu. Setelah tiba di teriminal kota, Oya tidak segera pulang, melainkan masih memainkan daya ingatnya, saat dulu dia harus menunggu jemputan dari pamannyaDi tempat ini pula, Oya tidak sengaja melihat Zain menaiki bis bersama seorang wanita membawa beberapa koper pakaian. Saat itulah hati Oya terasa hancur karena merasa hatinya dibohongi, diduakan cintanya dan disakiti hatinya yang selalu setia menyayangi Zain.

Sudahlah! Itu hanya kenangan masa lalu yang seharusnya sudah tertimbun, tak terasa air mata Oya jatuh membasahi jilbab yang dikenakannya, seperti daratan es di kutub yang meleleh karena efek rumah kaca. Nostalgia itu memakan waktu yang lama, dan mengungkit rasa sakit yang ingin dijadikan pembelajaran untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tiba-tiba lamunannya terputus karena ada satu pesan singkat masuk di handphonenya. “Maaf Oya, ayah telat jemput kamu, soalnya ban ayah bocor dijalan. Sabar ya nak.”.

“Maaf mbak.”. tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang yang menabrak Oya, hingga jam tangan yang ia pegang terjatuh. “Oya, kamu Oya kan?” . Semua berhenti tak bergerak, nafas memburu semakin cepat, seluruh badan menjadi lemas, ingin rasanya berteriak  kegirangan, namun lidah terasa kaku. Seperti mimpi yang tidak mungkin terjadi, namun takdir mempertemukan disaat jarum pendek pada jam tangan Oya menunjukkan angka empat.  Dengan sepontan, tangan lelaki itu memeluk tubuh Oya yang masih berdiam di tempatnya, semakin erat dekapan itu, saat itu Oya menangis dan air mata semakin deras, sederas air terjun terderas di dunia. “Ya Allah, Engkau pertemukan aku dengan dia”.   Perlahan-lahan rangkulan tangan itu mulai merenggang, dan akhirnya terlepas. Segera Oya menghapus air matanya. Zain pun menarik tangan Oya, dan mengajaknya untuk duduk di kursi tunggu terminal.

Suasana penuh hikmad menyelimuti peristiwa disahkannya seorang adam dengan seorang hawa yang lemah. Dibingkai dengan ucapan rasa syukur beribu manusia terkasih yang senantiasa mendoakannya dalam kebahagiaan. Tulus doa beriring air mata membasahi Oya sebagai seorang istri yang senantiasa berusaha menjadi insan terbahagia, karena telah menjadi pendamping seorang adam yang telah menemani perjalanan hidupnya dari saat pertama memakai baju putih abu-abu sampai memakai baju putih tanda sahnya menjadi seorang istri.

“Aku dahulu hanyalah mentari, tetapi aku tidak bisa menghangatkanmu. Dahulu, aku adalah pelangi, tetappi tidak memberi warna dalam hidupmu. Dahulu, aku adalah sang bulan yang hilang ditelan kegelapan. Namun, dalam ijab qobul yang telah kau ucapkan dalam keikhlasanmu, dengan seperangkat alat sholat ini kau jadikan aku pendamping yang akan menjadi saksi perjalanan hidupmu. Aku ingin menjadi tempat terakhir berlabuhmu, sebelum kau pergi menghadap sang pemilik cinta sejati.

DANIATI ROHMAH – Seperangkat Alat Sholat

Penulis: Daniati Rohmah