Seekor burung cantik nan artistik yang sedang khusuk tidur akan langsung menyamun perhatian begitu pandangan kita tertuju pada novel ini. Menatap judulnya: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, sekilas sedikit tak koheren dengan figur burung cantik tadi. Namun,desain sampul yang merupakan karya Eka sendiri ini tentu tak serampangan memilih burung sebagai figur.Buku ini memang bercerita tentang perjalanan seekor burung—lebih tepatnya “burung” Ajo Kawir.

‘ “Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” ’ itulah kalimat pertama yang menyembul pada bagian pertama novel ini. Kalimat tersebut diucapkan oleh Iwan Angsa, ayah dari sahabat Ajo Kawir, si Tokek. Si “burung” tentu tak simsalabim tak bisa ngaceng alias tak bisa bangun, ada musabab yang mengawalinya.

Keengganan “burung” Ajo Kawir untuk bangun lantaran sebuah peristiwa dimana Si Tokek mengajak Ajo Kawir untuk mengintip Rona Merah, perempuan gila, yang menurut Si Tokek sangat menggairahkan ketika telanjang dan mandi. Tak disangka-sangka  dua orang polisi datang dan dengan dengan brutal memperkosa seorang perempuan gila bernama Rona Merah. Sialnya, dua polisi tersebut memergoki Ajo Kawir, dan kemudian menyuruh Ajo Kawir untuk menonton dari dekat aksi sadis mereka menuntaskan hasrat.

Pelbagai cara dilakukan Ajo Kawir agar “burungnya” bangun dari tidur. Mulai dari mengolesinya dengan potongan cabe rawit, menyengatnya dengan lebah madu, membaca novel stensilan milik Iwan Angsa, menemui pelacur, dan lain-lain, namun hasilnya nihil. Tidurnya si “burung” adalah kutukan terberat bagi Ajo Kawir, ia merasa kejantanannya telah raib (tentu saja semua pria akan merasa demikian!).

Merasa sedih dengan nasib yang dialaminya, membuat Ajo Kawir ingin terus menghajar orang. Baginya berkelahi adalah pelampiasan terbaik atas kesedihannya yang tak terelakkan. Hal ini membuat si Tokek merasa bersalah sebab dialah yang mengajak Ajo Kawir mengintip Rona merah di malam naas itu. Tak ada yang bisa dia lakukan selain terus menemani Ajo Kawir berkelahi dan tetap menjadi perjaka, sebagai bentuk penebusan rasa bersalah, meski si Tokek terus merasa apa yang dia lakukan tak akan pernah menebus rasa bersalahnya.

Kemasygulan Ajo Kawir bertambah akut ketika ia bertemu dengan Iteung, seorang petarung, dan jatuh cinta padanya. Ajo Kawir merasa ia tidak akan bisa membahagiakan Iteung karena “burungnya” tak bisa ngaceng. Oleh sebab itu, saat Iteung menyatakan cinta pada Ajo Kawir, Ajo Kawir dengan berat hati menolaknya karena ia tak sanggup jujur pada Iteung bahwa “burung”nya tak mampu tegak berdiri.

Sejak menolak Iteung, keliaran Ajo Kawir semakin menjadi-jadi. Ia semakin sering berkelahi. Ia bahkan menerima tawaran seorang jenderal yang dalam novel disebut Paman Gembul untuk membunuh si Macan, penjahat kelas kakap, yang lagi-lagi oleh Eka dinamai dengan memakai nama binatang. Tak kunjung menemukan si Macan, membuat Ajo Kawir frustasi, kenangannya bersama Iteung terus merecoki pikirannya. Rindu memang harus dibayar. Maka ditemuilah Iteung yang saat itu langsung menghujaninya dengan pukulan hingga Ajo Kawir babak belur karena dia tak melawan. Saat dirinya lemah tak berdaya Ajo Kawir menyatakan cintanya pada Iteung, ia  mengaku bahwa ia tak bisa ngaceng. Saat adegan itu terjadi, terdapat sebuah percakapan antara Ajo Kawir dan Iteung yang nantinya akan mengubah jalan hidup AjoKawir:
‘ “Apa yang kau lakukan dengan lelaki yang tak bisa ngaceng?” tanya Ajo Kawir
“Aku akan mengawininya.” ’

Namun, Iteung tidak pernah benar-benar bisa menerima kekurangan Ajo Kawir. Kerinduannya untuk menikmati si “burung” yang tak kunjung terbayar karena burung masih masyuk berhibernasi terus mencucuk pikirannya. Biar bagaimanapun, Iteung adalah manusia biasa yang tak terlepas dari dorongan hormonal. Iteung ditemukan hamil, yang tentunya dengan pria lain, yang tak lain adalah karibnya, Budi Baik.

Tak peduli pelbagai kenangan pahit yang ironisnya diciptakan oleh “burungnya” sendiri, malah membuat Ajo Kawir menjadikan si “burung” sebagai inspirasi  untuk memilih jalan sunyi. Si “burung” yang terus terlelap tak peduli meski berkali-kali godaan menghampirinya, menginspirasi Ajo Kawir untuk berhenti berkelahi. Disinilah betapa lihainya Eka menjukstaposisikan betapa “burung” yang identik dengan figur kenikmatan hormonal yang cenderung menggeliat liar mampu bertransformasi menjadi sebuah figur bijak, dimana pemiliknya belajar dari figur tersebut. Ajo Kawir sering mengajak ngobrol “burungnya” bahkan menjadikannya konsultan atas putusan-putusan yang hendak dia ambil. Meski percakapan tersebut monolog belaka.

Ajo Kawir memilih menjadi supir truk. Disanalah dia bertemu dengan kernet bernama Mono Ompong dan gadis bernama Jelita yang ironisnya tak jelita sedikitpun. Anehnya, Jelita lah  yang berhasil membuat “burung” Ajo Kawir bangun. Mengetahui “burungnya” bisa ngaceng kembali, Ajo Kawir memutuskan untuk pulang. Sayangnya saat pulang, Iteung yang baru saja bebas dari penjara atas hukuman membunuh Budi Baik untuk menebus rasa bersalahnya, harus mendekam sekali lagi karena telah membunuh dua polisi yang telah membuat “burung” suaminya tidur panjang.

Mengikuti alur cerita novel ini membuat pembaca terus-menerus membangun tanya akankah si “burung” tegap kembali? Sedangkan membunuh dua polisi pemerkosa Rona Merah sebagai satu-satunya cara yang pernah diyakini oleh Ajo Kawir untuk membangunkan si “burung” nampak hampir mustahil mengingat di pertengahan cerita si Ajo Kawir memilih jalan sunyi. Keputusan Eka, untuk menjadikan Iteung sebagai martir demi kebahagian Ajo Kawir, sangat tepat. Seolah-olah mempertahankan pesan yang dia tulis lewat penuturan Ajo Kawir pada halaman 126: “Kemaluan bisa menggerakkan orang dengan biadab. Kemaluan merupakan otak kedua manusia, seringkali lebih banyak mengatur kita daripada yang bisa dilakukan kepala. Tapi kemaluan juga bisa memberimu kebijaksanaan. Itu yang kupelajari dari milikku selama bertahun-tahun ini..”

Ketika membaca novel ini, dapat dilihat sebuah pola, yaitu bahwa penulis sepertinya enggan menggunakan nama-nama konvensional. Eka cenderung menamai tokoh-tokoh dalam cerita dengan nama hewan (si Tokek, Iwan Angsa, Si Kumbang, Si Macan), dan penyisipan kata sifat (Jelita, Paman Gembul, Rona Merah, Budi Baik). Bisa jadi ini adalah simbolisme-simbolisme yang sengaja penulis ciptakan untuk mengajak pembaca menafsirkan lebih jauh makna dari nama-nama tersebut.

Satu-satunya kekurangan dari novel ini adalah penggambaran kurang mendetail tentang sosok Jelita, yang kemunculannya misterius begitu pula kepergiannya. Padahal meskipun kemunculannya singkat, Jelita cukup mendapat andil penting dalam cerita, terutama saat ia oleh Ajo Kawir dikaitkan dengan Rona Merah.

Membaca novel bersampul unyu ini, pembaca akan menemukan bahwa sebuah identitas, seperti kelamin, bukan hanya menjadi pembeda lelaki dan perempuan, tapi juga kebanggaan ketika ia bisa menunjukkan sumbangsihnya. Ajo Kawir mendapat identitas sebagai lelaki namun ia tak bisa memberikan sumbangsih berupa nafkah batin yang semestinya untuk orang yang dia cintai (Iteung). Disinilah makna lain dari si “burung” selain kebijaksanaan.

Lagi-lagi, Eka Kurniawan berhasil membuktikan bahwa dirinya masih “An unconventional writer” seperti yang diungkapkan majalah Weekender, The Jakarta Post. Judul, desain sampul, penokohan, dan plot, membuktikan bahwa Eka tak mudah ditebak dan tak suka bermain “aman”. Novel ini patut dibaca bagi para pecinta sastra 21 tahun keatas yang menginginkan sesuatu yang liar namun tetap mengakar.

Anggia Mirzadevi – Membaca Makna Lain Burung