“Mungkin aku sama tak warasnya dengan si Aeolus itu… karena akhirnya kuputuskan menuruti ajakannya lagi. Sebagian besar karena aku mulai penasaran—mengapa harus Bastille? Mengapa harus pukul 12 malam? Apakah sebelum tengah malam dia harus jadi kusirnya Cinderella dulu?”

Kisah ini bermula dari sebuah pertemuan takdir antara Aline Ofeli dan seorang laki-laki bernama Aeolus Sena. Aline Ofeli adalah seorang gadis Indonesia yang sedang menyelesaikan studi-nya di Paris sembari bekerja paruh waktu di sebuah bistro Indonesia. Di tempat kerja dia menyukai seseorang yang disebutnya Ubur-Ubur. Namun Si Ubur-Ubur lebih memilih Lucie, koki di tempat mereka bekerja yang lebih segalanya dibandingkan Aline. Patah hati membawa Aline ke sebuah taman dan disanalah ia menemukan pecahan-pecahan porselen.

Aline menyatukan pecahan porselen tersebut dan menemukan sebuah nama tertera di sana, Aeolus Sena. Ia mencari tahu tentang Sena di internet dan menemukan alamat e-mailnya. Tak disangka, Aeolus Sena segera membalas e-mail tersebut dan membuat janji pertemuan yang cukup aneh: di Place de la Bastille pukul 12 malam. Place de la Bastille dikenal sebagai salah satu tempat paling berhantu di Paris dan adalah tempat para tahanan menerima hukuman pemenggalan kepala. Saat Aline tidak menyetujui tempat dan waktu pertemuan, Aeolus Sena terus mendesak dan meminta tolong dengan sangat  hingga akhirnya Aline pun tak dapat menolak.

Di perjanjian pertemuan pertama, setelah Aline menunggu cukup lama dan berusaha mengalahkan rasa takutnya, Sena mengirimkan e-mail memberitahukan bahwa tidak bisa datang. Di perjanjian pertemuan kedua Sena tetap ngotot  untuk bertemu di Place de la Bastille pukul 12 malam. Namun, lagi-lagi Sena tidak menepati janjinya. Di perjanjian pertemuan ketiga lagi-lagi Sena mengajak bertemu di tempat dan waktu yang sama. Aline sebal bukan main merasa Sena hanya mempermainkannya. Tetapi, rasa penasaran menguasai dirinya. Mengapa di Bastille yang jelas-jelas adalah bekas penjara? Mengapa harus pukul 12 malam? Apakah ini porselen berharga? Jika memang berharga, mengapa ditemukan di taman dalam keadaan pecah? Mengapa Sena tidak datang didua perjanjian sebelumnya? Apakah Sena akan datang di perjanjian pertemuan yang ketiga?

“Sebelum ini, aku tak pernah benar-benar menemui hal yang mengundang tanda tanya. Terkadang, memang aku bereaksi berlebihan terhadap sesuatu – lampu mati atau dompet yang tertinggal di rumah atau rasa sup yang kurang pas. Namun, semua masih dalam koridor normal dan terjelaskan. Sampai aku bertemu laki-laki ini. Sejak aku bertemu dengannya, yang terjadi hanyalah hal-hal aneh dan teka-teki.”

            Nikmati kisah lengkapnya dalam Paris: Aline.

Novel ini sangat menarik. Pada awal membuka kita akan menemukan sebuah postcard yang sangat manis dengan gambar menara Eifell. Covernya sendiri sangat sederhana berwarna hijau muda keabu-abuan dengan tulisan PARIS berwarna merah ditengahnya. Simpel sekaligus membuat penasaran. Alurnya disajikan dalam sebuah diari yang ditulis oleh Aline untuk dibaca oleh sahabatnya, Sevigne. Hal tersebut membuat novel ini terasa unik sekaligus berbeda dengan novel-novel yang lain. Seperti judulnya, Paris setting tempat pada novel ini seluruhnya adalah di Paris. Namun, yang unik novel ini justru tidak membahas ikon kota Paris, menara Eifell seperti novel-novel lain yang mengambil setting tempat di Paris. Pada novel ini justru membahas tempat-tempat unik seperti Place de la Bastille, Beaumarchais Boulangerie sebuah toko bakery dan pastry, sebuah museum bekas kediaman Victor Hugo Place des Voges, dan pemakaman P?re Lachaise. Ditambah dengan teka-teki kehidupan Aeolus Sena yang mampu membuat pembaca penasaran dan terus membaca hingga habis.

Sayangnya, sajian dalam bentuk diari membuat ceritanya terasa kosong di beberapa bagian. Sehingga membuat novel ini menjadi anti klimaks. Beberapa tokoh juga kurang tergali karakternya sehingga kurang mendapatkan porsinya. Sebagai contoh karakter Ezra—kakak kelas yang diam-diam mencintai Aline, yang terasa disia-siakan. Konflik tentang perasaan Ezra kepada Aline kurang ditelusuri lebih jauh. Jika perasaan Ezra ditelusuri lebih jauh akan tercipta konflik antar karakter yang lebih menantang. Namun, cara penulisan Prisca Primasari yang luwes dan mengalir mampu menutupi kekurangan-kekurangan dalam novel ini. Secara keseluruhan novel ini menarik untuk dinikmati. Ending ceritanya pun menutup serta menyimpulkan semuanya dengan baik, permasalahan yang ada terselesaikan, dan berakhir sesuai dengan harapan. Novel ini direkomendasikan untuk para perempuan dari usia remaja sampai ibu-ibu muda.

Gevin Islam Elantra – Teka teki Aeolus Sena