Bagyo Nd

Sebuah rumah besar dengan bangunan sederhana, berdiri letih di pojok jalan pinggiran kota. Putih kusam, tampak jika beberapa tahun terakhir tak tersentuh kuas dan cat tembok. Pepohonan sekenanya tumbuh dan bunga-bunga bertebaran liar menambah keruh pandang rumah besar sederhana itu.
Dialah Kasmin, pemilik rumah besar sederhana itu. Istrinya lima orang: Minah, Misah, Miring, Miskin, dan Misuh. Kelima istrinya hidup bersama dalam satu atap. Mereka, istri-istri Kasmin, telah memberikan dua puluh tujuh orang anak. Ada yang masih balita, remaja, dan dewasa. Kedua puluh tujuh anak mereka juga tinggal dalam satu atap rumah besar sederhana itu.
Rumah itu terlihat berat dan payah untuk menampung sekian banyak anggota keluarga. Hanya dengan tiga kamar tidur, memaksa Kasmin dengan istri-istrinya serta anak-anaknya selalu berebut untuk bisa sekedar telentang bermimpi di kamar. Tiada hiasan, tiada lukisan kecuali mainan yang berserakan bercampur dengan bekas bungkus makanan, onggokan pakaian lusuh dan kotor. Belum lagi ditambah suara tangis anak-anak akibat berkelahi atau sekedar berebut mainan, bentakan dan hardikan dari ayah, ibu-ibu atau anak-anak yang merasa lebih tua, sesekali juga sering piring terbang menyertai hari-hari rumah besar sederhana itu.
Kasmin, seorang penganggur yang pernah menikmati nikmatnya warisan orang tuanya. Rumah besar sederhana itu adalah satu-satunya warisan Kasmin yang masih tersisa. Tanah-tanahnya telah dijual. Tinggal sebidang tanah yang disewa sebuah mal untuk lahan parkir yang menjadi satu-satunya penghasilan Kasmin, yang tentu tak bermakna dengan lima orang istri dan puluhan anaknya.
***
“Kita telah mencapai puncak kehebatan dan prestasi yang luar biasa!” kata Kasmin membuka percakapan dengan kelima istrinya di suatu senja yang kelam. “Telah banyak anak yang kita lahirkan, tiada seorang pun yang mampu menandingi prestasi ini. Aku yakin seyakin-yakinnya banyak anak banyak rejeki sehingga setiap tahun kita harus menambah dan menambah jumlah anak kita,” lanjut Kasmin sambil menghisap rokok kretek Djarum 76 dan menghembuskan asapnya dengan kuat ke atas.
“Banyak anak adalah simbol kejantanan dan keperkasaan. Banyak anak adalah perwujudan dari keberadaan kita.”
“Banyak anak membuat kita seperti raja dan ratu yang selalu bisa dilayani. Semuanya tinggal suruh anak kita. Beres! Masak, ngepel, nyuci baju, setrika, nguras kamar mandi, bersihkan WC biarlah anak-anak kita yang lakukan. Kewajiban kita hanyalah melahirkan mereka dan memberi sedikit bekal agar mereka tetap bisa hidup. Selesai!”
“Hihihi,” tawa istri-istri Kasmin hampir serempak. “Iya Pake, aku sih setuju dengan Pake. Kita-kita kan sudah taruhan nyawa ketika melahirkan mereka dan Pake kan juga sudah pontang-panting meladeni kita-kita, jadi selesailah tugas kita. Biarlah anak-anak itu mencari hidupnya sendiri,” timpal Misuh, istri termuda Kasmin dengan senyum dimanis-maniskan.
“Sudah dilahirkan saja, mestinya mereka harus berterima kasih pada kita. Karena kita, mereka bisa menikmati tahu, tempe, pepes, dan oseng-oseng,” imbuh Miring dengan melempar-lemparkan tanganya ke mulut.
“Hahaha. Hihihi,” bergantian mereka terpingkal-pingkal.
***
Kasmin dan istri-istrinya tiada pernah tahu atau tidak mau tahu, anak-anak mereka yang telah dewasa telah memiliki profesi yang bermacam-macam. Ada yang menjadi tukang parkir, preman pasar, perampok, pencopet, bandar togel, pengedar narkoba, pencuri, dan beragam lagi profesi yang menyeramkan. Merekalah buah karya Kasmin dan istri-istrinya.
Di suatu malam sepi sunyi, di rumah kosong sebelah rumah besar sederhana, berkumpullah anak-anak Kasmin. Nidi, anak tertua yang menjadi perampok menjadi koordinator dalam pertemuan itu.
“Biadab. Kita semua ini seperti terlahir dari batu, tiada orang tua,” kata Nidi dengan marah dan dendam. “Orang tua kita tak pernah merasa, apalagi bertanggung jawab, bahwa kita pernah dilahirkannya.”
“Mereka bukan orang tua, mereka pendusta!” teriak Jeru, preman pasar, adik Nidi.
“Apa yang pernah diberikannya adalah bualan tanpa makna,” sambung Jeru dengan menginjak-injak puntung rokok yang baru diselesaikan hisapan terakhirnya.
“Mereka melahirkan kita tanpa hati, hanya dengan tenaga dan nafsu semata!” tambah Sinu, si pengedar narkoba.
“Mereka pernah memberi kita, tetapi untuk sekedar menggugurkan kewajiban. Mereka memberi bukan yang kita inginkan, tetapi yang mereka maui. Mereka superegois!” tambah Gino, si bandar togel. “Mereka menyuruh-nyuruh kita, bukan mendidik kita, tetapi hanya menunjukan bahwa mereka punya kuasa atas kita.”
“Gaya mereka sungguh menyebalkan, berlaga sok sibuk tatkala mereka mau bicara dengan mereka. Padahal kerjanya hanya minum jamu kuat dan telentang,” ujar Tuki tak kalah sinis. “Berlagak superpinter, tapi sebenernya, semuanya itu hanyalah bualan melompong.”
“Kita adalah korban. Kita harus melawan demi adik-adik kita yang mungkin masih akan lahir belakangan,” seru Jito si pencopet.
“Ya ya ya, kita harus hentikan kebiadaban ini,” suara Nidi lirih tapi untuk sementara mampu melerai deru dendam kemarahan adik-adiknya. Ada sebuah maksud tersembunyi di balik suara Nidi.
***
Malam semakin sepi sunyi, binatang malam enggan bersuara. Kabut menggores sedikit cahaya temaram lampu jalan yang menyala kekuning-kuningan. Nidi dan adik-adiknya masih berkumpul di rumah kosong itu. Serius tegang dan entah apa yang sedang mereka rasa dan rencanakan. Asap rokok membumbung menambah temaramnya malam.
Sementara itu, di rumah besar sederhana, Kasmin, istri-istrinya, dan juga puluhan anaknya yang lain tengah asyik terlelap membangun harapan bersama mimpi-mimpi mereka. Terlihat Kasmin, tidur di antara dua istrinya yang hanya berselimut sarung. Semua dari mereka tidak pernah tahu apa yang akan terjadi, sebuah rencana yang tengah disusun di sebelah rumah mereka. Hanya satu lampu 15 watt yang masih terjaga di rumah besar sederhana itu.
Menjelang subuh memanggil, enam orang tergesa dengan langkah kasar menuju rumah besar sederhana. Langkah itu berasal dari rumah kosong sebelah. Mereka adalah anak-anak Kasmin. Nidi dan adik-adiknya. Bruakk! Pintu depan rumah Kasmin didobrak kasar oleh Nidi dan Jeru. Nidi mencari bapaknya dan kelima saudaranya mencari ibu kandungnya masing-masing. Belum sempat menyadari keterkejutannya, di dada Kasmin dan kelima istrinya telah tertancap belati putih dengan darah merah hangat di bawah bayang temaram lampu 15 watt. Tiada sempat mengeluh, mereka roboh, mati.
“Demi adikku yang mungkin  masih akan lahir,” kata Jito.
Nidi dan kelima adik-adiknya terpingkal-pingkal puas tetapi dari matanya bercucuran air mata, deras sekali.

Bagyo Nd. adalah dosen Manajemen. Menjadi Pemimpin Redaksi tabloid Gelora pada tahun 2007.