IMG_9876

Aula Pascasarjana UM Gedung H3 dipenuhi oleh mahasiswa S2 dan S3 Pendidikan Bahasa Indonesia. Tak hanya mahasiswa pascasarjana, kursi-kursi yang disediakan panitia penuh oleh mahasiswa S1, dosen-dosen bahkan mahasiswa dan pegawai dari luar UM. Alunan musik puisi oleh Leo and friends menemani penantian mereka. Lagu-lagu dan puisi yang dibawakan merupakan puisi karya Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. yang pagi itu juga sudah hadir di Aula H3. Mereka sedang menunggu kehadiran Eka Kurniawan, sang novelis pemenang World’s Readers Award 2016 yang hendak menyampaikan kuliah tamu.
Pagi itu, Sabtu (21/04) tepat pukul 09.00 WIB Eka tiba didampingi oleh Dr. Yuni Pratiwi, M.Pd., Kaprodi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana UM. Djoko yang hari itu bertindak sebagai moderator pun mendampingi Eka ke depan para peserta.
Sebelum kuliah tamu dimulai, Yuni menyampaikan sambutannya. Yuni berharap, hadirnya Eka dapat mendorong adik-adik mahasiswa untuk berkreasi. Yuni menganalogikan Eka yang merupakan lulusan Filsafat dengan beberapa sastrawan.  Di antaranya Putu Wijaya merupakan sarjana hukum dan Taufik Ismail yang merupakan dokter hewan. Djoko yang ayahnya merupakan ahli kata, anaknya ahli bermain kata.
Prof. Dr. Ery Tri Djatmika R.W.W., M.A., M.Si., Asisten Direktur I Pascasarjana UM turut hadir. Ery diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan sekaligus membuka acara. Ia mengapresiasi kegiatan tersebut. “Silakan berdiskusi dengan Eka terkait sastra,” tuturnya.
Eka mengawali kuliahnya dengan pengantar tentang perjalanan, pengalaman, dan pandangannya terhadap sastra dunia. “Saya mencoba membaca bagaimana sastra Indonesia dan budaya global. Saya mencari apa yang terjadi,” ungkap ayah satu anak perempuan itu.
Dalam acara yang bertajuk “Novel Indonesia Menuju Pentas Dunia: Pengalaman Eka Kurniawan” itu, Eka menceritakan pengalamannya dengan santai. Ia mengenakan kaus abu-abu dan celana jeans. Nada bicaranya datar, tetapi sesekali kalimatnya mengundang tawa peserta. Djoko pun sesekali mengutarakan guyonan dan mencairkan suasana. Kepala Perpustakaan UM itu menyebut kuliah tamu yang ia moderatori sebagai kegiatan bersulang cerita. Ia menyilakan para peserta mengutarakan pertanyaan dan langsung dijawab oleh Eka. Para peserta kuliah tamu pun antusias mengajukan pertanyaan.
Dalam kuliah tamu yang diselenggarakan atas kerja sama Pascasarjana UM dengan Gramedia tersebut, Eka menceritakan perjalanan panjang novel Cantik Itu Luka (Beauty is a Wound)-nya hingga menuju pentas dunia. Eka memberi dua syarat ketika Cantik Itu Luka hendak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. “Syarat pertama, apa pun yang terjadi, harus selesai. Jangan sampai rugi sudah menyita banyak waktu, tapi penerjemahan berhenti di tengah jalan. Syarat kedua, jika sudah selesai diterjemahkan, jangan sampai terbit di Indonesia,” terang novelis yang pernah menjadi jurnalis itu.
Awalnya, Cantik Itu Luka berkali-kali ditolak oleh beberapa penerbit di Yogyakarta dan Jakarta dengan alasan yang beragam. Hingga akhirnya Eka mendapat tawaran untuk bergabung dalam Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). AKY mengumpulkan tiga belas penulis untuk dibiayai, diberi waktu selama enam bulan menulis, kemudian hasil tulisannya diterbitkan. Pada Desember 2002, akhirnya Cantik Itu Luka terbit sejumlah 2.000 eksemplar. “Untuk pengiritan, cover dan layout saya kerjakan sendiri,” tutur Eka. Sejak saat itu, Cantik Itu Luka terus berjalan hingga menuju pentas dunia. Beauty is a Wound diinginkan oleh empat penerbit besar Amerika. Dipilihlah satu penerbit yang menjadikan Eka orang Indonesia kedua yang karyanya diterbitkan penerbit tersebut setelah Chairil Anwar. Bahkan, novelnya Seperti Dendam Rindu Harus Dibalas Tuntas sudah dikontrak dan akan diterbitkan tahun 2017.
Laki-laki yang suka merancang cerita dalam otak itu menceritakan proses kreatif novel-novel dan cerpen karyanya. Eka mengaku, koleksi bukunya di rumah banyak buku-buku sejarah dan biografi. Menurutnya, meski tidak menarik, pasti ada sesuatu yang bisa diambil dari kisah orang lain. “Banyak ide dari bacaan seperti itu,” terang laki-laki berdarah Sunda itu. Eka menegaskan, amunisi seorang penulis adalah rasa ingin tahu. Penulis apa pun, menurutnya, sumber paling penting adalah rasa ingin tahu.
Novelis yang skripsinya tentang Pramoedya Ananta Toer yang juga telah diterbitkan itu mengaku hidupnya banyak dipengaruhi oleh tiga penulis, yaitu Pram, Abdullah Harahap, dan Kopinho. “Saya sangat suka cerita-cerita horor dan silat,” ungkap Eka. Di akhir sesi, Eka menuturkan, tiga tujuan utamanya menulis. Pertama, untuk mencatat sesuatu karena ingatan manusia itu terbatas. Kedua, untuk membagikan sesuatu pada orang lain: bahagia, marah, dan segala emosi yang ada. Ketiga, ia yakin bahwa sastra dapat mengubah cara pandang orang terhadap dunia.
Pukul 11.30 WIB, acara ditutup oleh Djoko. Djoko menuturkan, tak perlu mengenalkan siapa Eka. “Kalau tidak tau Eka ya berarti tidak cendekia dan tidak berliterasi,” ungkap Djoko dengan senyumnya. Kuliah tamu yang berlangsung selama 2,5 jam itu ditutup Djoko dengan sebuah harapan, Indonesia menjadi semerbak harum dengan karya sastra. Kemudian, para peserta disilakan untuk meminta tanda tangan dan berfoto bersama Eka.Yana