membacaOleh Nuyan Saroni

Sampai kini kita masih berkutat pada masalah rendahnya minat baca. Berbagai survei telah merilis fakta yang menyedihkan tentang minat baca kita. Catatan UNESCO pada 2012 menyebutkan indeks membaca orang Indonesia hanya 0,001, yang berarti dari 1.000 jiwa di negeri ini hanya seorang yang masih memiliki minat untuk membaca buku.
Kita tahu para pegiat literasi atau mereka yang suka membaca berulang kali mempromosikan budaya gemar membaca. Mereka selalu menarik perhatian dengan pesan bahwa orang yang gemar membaca akan mendapat keuntungan. Diantaranya, memiliki pengetahuan yang lebih luas, memiliki kemampuan analitis, lebih mampu mengatasi masalah, bisa meredam stres, dan masih banyak lagi.
Hal-hal hebat tentang membaca sudah sering dinyatakan, namun masyarakat kita tetap sama saja. Tidak mengalami peningkatan signifikan untuk urusan membaca. Mana mungkin kita akan menjadi bangsa yang maju, bila untuk urusan sepenting ini (gemar membaca) masih dianggap sepele dan digampangkan.
Di tengah masyarakat yang minat bacanya rendah, sulit melahirkan generasi yang gemar membaca. Jangan menyalahkan anak bila mereka memiliki kemampuan membaca yang rendah. Berdasarkan studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 di 65 negara, Indonesia berada di peringkat 60 alias kelima dari bawah untuk membaca. Menyedihkan!

Gerakan Membaca
Belum lama ini, Menteri Anies Baswedan membuat gerakan membaca dimulai dari sekolah. Sekolah diharapkan menjadi pintu masuk peningkatan budaya membaca. Melalui Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 mewajibkan siswa membaca buku bukan pelajaran 15 menit sebelum pembelajaran.
Sesungguhnya anak-anak kita suka membaca. Mereka senang dengan berbagai buku bacaan. Dengan membaca cerita, anak-anak bisa memasuki dunia imajinasi secara bebas. Daya imajinasi tersebut membantu perkembangan nalar, emosi, serta kemampuan berbahasa mereka. Dengan kata lain, membaca bermanfaat merangsang perkembangan psikis anak secara optimal.
Hanya saja kita kurang mengondisikan kegiatan membaca untuk anak-anak. Kita jarang menyediakan waktu untuk sekadar menemani anak menyelami dunia membaca. Orang tua lebih suka mengajak anaknya jalan-jalan ke mall atau wahana bermain daripada ke toko buku atau perpustakaan. Orang tua juga lebih suka menghadiahkan barang mainan seperti playstation daripada menghadiahkan buku cerita. Akibatnya, anak makin jauh dari dunia baca.
Tak jauh beda, di lingkungan sekolah pembudayaan membaca amat gersang. Guru kurang mengefektifkan kegiatan membaca. Guru lebih suka berceramah di depan kelas. Menjelaskan materi pelajaran. Tak lebih setengah jam siswa dikondisikan untuk kegiatan membaca setiap harinya. Padahal satu hari kegiatan belajar mengajar ada sekitar 6 jam. Bisa dibilang kegiatan membaca hanya seremonial belaka sebagai tuntutan kegiatan belajar mengajar. Bukan dimaksudkan untuk menumbuhkan budaya membaca.
Belum lagi tiadanya keteladanan dari guru. Harus diakui, guru-guru kita kurang suka membaca. Jarang menghidupkan perpustakaan sekolah. Sering dijumpai guru malah terlihat lebih asyik berbincang dengan teman sejawatnya daripada sibuk membaca di waktu jam istirahat.
Masalah lagi, buku belum menjadi rencana kebutuhan guru. Seharusnya dengan adanya uang sertifikasi, koleksi buku pun bertambah. Bukan hanya koleksi kebutuhan gaya hidup. Sepertinya mereka masih keberatan menyisihkan uang untuk belanja buku. Bisa dikatakan buku belum menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Ini membuktikan budaya membaca masih dikesampingkan oleh guru.
Dalam situasi seperti itu, dikhawatirkan bila Permendikbud tersebut hanya jadi pepesan kosong. Padahal lakon gerakan membaca dibutuhkan sosok guru yang gemar membaca. Guru yang suka membaca biasanya akan menularkan kegemarannya pada siswa. Ia akan senang merekomendasikan bacaan-bacaan yang bagus, mengajak siswa mendiskusikan buku-buku yang mereka baca, lalu meminta siswa membuat semacam ringkasan hasil pembacaan terhadap buku-buku tersebut.
Guru yang gemar membaca juga senang mengajak anak-anak untuk ke perpustakaan dengan mengoptimalkan kegunaan perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan untuk melahap berbagai informasi dari buku. Sehingga perpustakaan menjadi jantung pembiasaan membaca. Dengan begitu, akan didapati anak-anak yang akrab dengan buku. Keakraban tersebut membentuk jiwa anak yang haus bacaan.

Berawal dari Guru
Jadi, mari kita dorong guru-guru agar gemar membaca. Guru yang suka membaca akan banyak membantu kemajuan pendidikan kita. Seperti guru-guru di Finlandia, banyak melahirkan siswa yang kritis dan kreatif lewat pembiasaan berdialog dengan buku.
Mungkin amat sulit mendorong guru agar suka membaca. Seperti umumnya orang Indonesia lainnya, mendorong guru gemar membaca juga akan terasa memberi pekerjaan tambahan bagi guru. Mau tidak mau guru harus dipaksa untuk membentuk kebiasaan membaca.
Barangkali pemerintah bisa menfasilitasi guru dengan menyediakan perpustakaan sekolah yang baik. Gedung perpustakaan yang layak di tiap sekolah, serta koleksi buku yang lengkap dan berkualitas. Lalu mewajibkan guru untuk membaca di waktu luang. Dalam hal ini tentunya praktik behaviorisme bisa diterapkan.
Guru yang dapat menyelesaikan bacaan dengan jumlah memenuhi target, berhak diberikan penghargaan (reward) oleh Dinas Pendidikan setempat. Sebaliknya, jika kurang dari ketentuan, maka guru bisa dikenai sanksi (punishment) berupa menyumbang buku ke perpustakaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesadaran bagi guru bahwa tanggung jawabnya tidak hanya mengajarkan anak bisa membaca, lebih dari itu juga menumbuhkan budaya baca.

Ajak Masyarakat
Gerakan membaca juga perlu dukungan dari komite sekolah. Sudah selayaknya komite sekolah ikut bertanggung jawab. Sebagai mitra sekolah yang perannya sangat vital bagi kemajuan pendidikan. Komite sekolah harus dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program gerakan membaca. Sehingga dapat lebih berpartisipasi aktif dalam mendukung program tersebut, baik secara moril maupun materiil.
Sekolah bersama komite menghidupkan perpustakaan sekolah, mengelola perpustakaan dengan program-program yang menarik, dan mengupayakan pengadaan buku-buku baru melalui berbagai jalur distribusi buku. Baik dari pemerintah, LSM, penerbit, maupun dari orang tua siswa sendiri.
Selain itu, dapat pula mengadakan event kampanye membaca, seperti festival membaca keluarga, festival dongeng, piknik membaca, dan sebagainya. Dalam hal ini, dapat pula mengundang pegiat literasi atau aktivis taman baca. Mereka nantinya bisa memberikan wawasan pada masyarakat mengenai pentingnya meningkatkan kesadaran membaca di abad 21 ini. Baik cara membaca cepat, membaca menyenangkan, serta membaca sebagai kebutuhan, sehingga warga sekolah dan masyarakat termotivasi untuk meningkatkan budaya baca yang akhirnya akan menjadi gerakan membaca secara masif di masyarakat.
Saya yakin, gerakan yang diawali dari sekolah serta dukungan dari pemerintah secara terus menerus akan menumbuhkan budaya membaca yang lebih baik. Sudah 70 tahun negara kita merdeka, saatnya menuju masyarakat yang gemar membaca.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Dasar Universitas Negeri Malang