DSCN5293

Universitas Negeri Malang (UM) masuk dalam 4 in 1 perguruan tinggi yang memperoleh dana hibah dari Islamic Development Bank (IDB). Perguruan tinggi yang memperoleh dana IDB merupakan perguruan tinggi yang mempunyai orientasi pengembangan sebagai center of excellence. Empat perguruan tinggi yang tergabung dalam 4 in 1 tersebut adalah UM sebagai pusat inovasi belajar, Universitas Negeri Jember (Unej) sebagai pusat bioteknologi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten sebagai pusat ketahanan pangan, dan Universitas Mulawarman (Unmul) sebagai pusat tropical studies. Tema utama 4 in 1 ini adalah Development of 4 Universities as the Center of Excellence for Nation Competitiveness. Sementara itu, UM mengusung tema State University of Malang as the Center of Exellence in Learning Innovation. Program kerja sama dengan IDB ini berjalan selama tiga tahun, yaitu 2017-2019.
Pada mulanya, Rektor UM melalui Prof. Dr. I Wayan Dasna, M.Si, M.Ed., Ph.D. , Wakil Rektor (WR) IV menginstruksikan untuk membuat proposal. Kemudian, proposal tersebut diajukan ke Bappenas, Kemenristek Dikti, dan Kementerian Keuangan sekitar Maret-April 2015. Setelah dievaluasi, UM dinyatakan lolos seleksi dan blue book yang diajukan memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi green book. Rektor pun mengeluarkan surat keterangan tentang pembentukan tim pelaksana Project Implementation Unit (PIU) IDB. Tim inti program IDB terdiri atas tujuh orang, yaitu Drs. Bambang Supriyanto, S.T., M.T. sebagai direktur eksekutif, Dr. Sintha Tresnadewi, M.Pd. sebagai sekretaris, Dr. Agus Timan, M.Pd. sebagai Person in Charge (PIC) Finance, Dr. Nazriati, M.Si. sebagai PIC Procurement, Syamsul Bahri, S.Si., M.Sc., Ph.D. sebagai PIC Program, Drs. Eko Setiawan, S.T., M.T. sebagai PIC Civil Work, dan Apif Miptahul Hajji, S.T., M.T., M.Sc., Ph.D. sebagai PIC Monev. Panandatanganan financial agreement oleh direktur IDB dan pihak Kementerian Keuangan dilakukan pada 19 Mei 2016. Pada momen itu turut hadir Rektor UM, WR IV UM, dan Bambang.

Program-program PIU-IDB UM
PIU-IDB UM telah menyusun beberapa program yang terbagi menjadi soft program dan hard program. Soft program dan hard program yang disusun mengarah pada tujuan utama, yaitu UM menjadi pusat unggulan inovasi belajar (center of excellence in learning innovation). Di akhir 2019, UM diharapkan sudah mencapai tujuan itu. “Dari kedua program, hard dan soft program, tentunya soft program-lah yang menjadi fokus utama untuk mencapai tujuan tadi. Hard program lebih bersifat mendukung berjalannya soft program,” terang Sintha, sekretaris PIU-IDB UM. Masing-masing program memiliki penanggung jawabnya.
Soft Program PIU-IDB UM
Soft program terdiri atas empat program. Pertama, research grant. Program ini merupakan penelitian dengan judul yang saling terkait dan melibatkan seluruh warga UM. Sebanyak 66 judul penelitian akan didanai dan dikoordinasi oleh LP2M. Penelitian ini didanai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di UM. Penelitian-penelitian yang dilakukan harus mengarah ke bidang inovasi belajar. Penelitian ini dilakukan sejak awal program IDB dan saat ini sudah sampai pada tahap pengajuan proposal oleh dosen-dosen. Keterlibatan mahasiswa bergantung pada penelitian dosen dan yang lebih mungkin banyak terlibat adalah mahasiswa S3.
Kedua, research consortia yang dilakukan bersama Unej, Unmul, dan Untirta. Konsorsium yang digawangi UM dinamai Indonesian Consortium for Learning Innovation Research (I-CLIR). Di program ini, ditunjuk beberapa dosen dari berbagai bidang keahlian yang tergabung dalam sebuah konsorsium. Ketua konsorsium untuk mengelola gagasan tersebut yaitu Prof. Dr. Waras Kamdi, M.Pd. Research consortia gabungan dari 4 perguruan tinggi itu juga memperkuat learning innovation. Empat perguruan tinggi masing-masing mempunyai bidang unggulan, tetapi juga bergabung untuk memperkuat bidang unggulan masing-masing. “Kita masuk ke sana, yang sana juga masuk ke kita,” tegas Sintha.
Penelitian ini dilakukan sejak awal program. Tim I-CLIR sering bertemu, baik tatap muka maupun melalui video conference untuk membahas proposal penelitian bersama. Empat perguruan tinggi tersebut juga saling berkunjung satu sama lain untuk proses kelancaran penelitian. “Jadi mesra,” kata dosen Sastra Inggris asli Malang ini. Diharapkan konsorsium ini terus berlangsung tidak hanya sampai masa 3 tahun penelitian selesai, tetapi sampai seterusnya dan bahkan melibatkan perguruan tinggi lainnya.
Ketiga, curriculum development. Melalui hasil dari research grant dan research consortia pada tahun pertama, UM akan memperoleh data tentang kebutuhan mahasiswa yang nantinya akan diwujudkan dalam kurikulum inovatif yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa masa kini. Kurikulum baru ini nanti akan disebut Life-based Learning Curriculum. Jadi, melalui research grant dan research consortia, UM melakukan semacam analisis kebutuhan sebagai dasar pengembangan kurikulum yang baru sambil mengevaluasi kurikulum yang ada,” ungkap dosen yang menyukai cwi mie Malang itu.
Tentang kurikulum Life-based Learning ini, Dr. Kusubakti Andajani, S.Pd., M.Pd., PIC kegiatan Curriculum Development, menandaskan pula bahwa kurikulum yang bercirikan dengan transdisipliner ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan belajar dengan cara memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil matakuliah lintas disiplin dan diakui secara Sistem Kredit Semester (SKS). Namun, dengan catatan bahwa matakuliah yang diambil mendukung disiplin ilmu yang sedang diambil.
“Selama ini, mata kuliah transdisipliner hanya terbatas pada mata kuliah umum. Ke depannya, akan dibuat sebuah sistem yang memungkinkan mahasiswa dapat mengambil matakuliah di luar jurusan, luar fakultas, bahkan lintas universitas,” papar dosen Sastra Indonesia itu. Pelaksanaan magang juga akan mendapatkan fasilitas. Dengan demikian, proses perkuliahan tidak hanya dari belajar teori, tetapi juga dari keadaan lapangan secara langsung. Sementara tentang sistem yang mengatur mahasiswa untuk mengambil open course di luar UM, Andajani mengaku saat ini sedang dikaji oleh jajaran akademik.
Keempat, degree dan non-degree training. Degree training memberi kesempatan pada 20 dosen untuk kuliah S3 ke luar negeri. Sementara non-degree training memberi kesempatan pada total 109 orang yang terbagi menjadi tenaga kependidikan dalam negeri 27 orang, tenaga kependidikan luar negeri 17 orang, dosen dalam negeri 40 orang, dan dosen luar negeri 25 orang. Degree dan non-degree training sudah disosialisasikan dan ada tahap-tahap seleksi. Untuk degree training, ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dosen, di antaranya usia di bawah 45 tahun. Selain itu, apa pun bidang ilmunya, disertasi yang diambil harus mendukung inovasi belajar.
Non-degree training disediakan untuk tenaga kependidikan dan dosen. Menurut Sintha, pelatihannya tidak sampai terlalu lama. Karena setelah kegiatan UM akan mempunyai laboratorium-laboratorium baru, maka perlu pelatihan untuk tenaga kependidikan ini. Dosen-dosen yang sudah S3 atau profesor juga perlu mengikuti sort course. “Semua ini untuk mendukung terwujudnya UM sebagai pusat inovasi belajar,” tegasnya.

Hard Program PIU-IDB UM
Hard program terdiri dari pengadaan gedung, pengadaan alat, infrastruktur, dan book and journal. Dua gedung perkuliahan bersama masing-masing sembilan lantai akan menjadi aset baru milik UM yang direncanakan selesai tahun 2019. Desain yang dibuat oleh PT. Patroon Arsindo ini akan sejajar mengapit gedung PPG di Jalan Simpang Bogor. Di antara tiga gedung tersebut, rencananya akan dibangun amphitheater sebagai tempat kegiatan berkesenian mahasiswa di tengah-tengah ruang terbuka hijau. Lantai satu sampai tiga akan dikhususkan untuk laboratorium, sedangkan lainnya adalah ruang kelas, self access center, dan testing center. Menurut WR IV UM, gedung kuliah bersama itu dibangun untuk semua jurusan. “Tujuannya, agar mahaiswa saling mengenal, tidak hanya teman satu kelas,” papar dosen Kimia itu. Berdasarkan kontrak dengan PT. Patroon Arsindo sebagai konsultan pembangunan gedung, rancangan gedung harus diselesaikan sebelum November 2016.
Menurut keterangan Eko, PIC Civil Work, desain tersebut masih belum final. Ketika diwawancarai, ia menerangkan bahwa sudah dilakukan pertemuan dengan para ketua jurusan dan kepala laboratorium. Hal itu dilakukan untuk membantu mendesain denah. “Sebab perlu diperhatikan karakteristik alat-alat yang akan disediakan dalam laboratorium, mungkin bentuknya, beratnya, ketahanan terhadap goncangan, dan sebagainya,” terang Eko. Pengeboran juga sedang dilakukan guna menguji lapisan tanah. Selain itu, juga dilakukan pertemuan dengan pimpinan untuk menentukan fasade, tampak gedung jika dilihat dari luar. Fasade tersebut memperhatikan filosofi-filosofi tertentu yang mendukung UM sebagai pusat inovasi belajar.
Untuk mendukung konsep Life-based Learning, sekat masing-masing kelas akan dibuat semi permanen agar memungkinkan untuk menggabungkan beberapa kelas menjadi satu. Lorong dan tangga dirancang agar memungkinkan adanya open lecture, student common space, serta adanya informal place sebagai tempat untuk berdiskusi, perkuliahan di luar kelas, atau sekadar nongkrong menunggu pergantian kelas. “Tempat tersebut juga dapat digunakan untuk pameran hasil karya mahasiswa,” tutur dosen kelahiran Blitar ini.
Setelah proses pembuatan desain, masih ada beberapa tahap lagi yang harus dilakukan sebelum pembangunan dilakukan. Menurut dosen Teknik Sipil tersebut, dalam rangka penilaian desain akan dilakukan lelang kembali untuk project supervision consultant dan project management equipment. Barulah kemudian Unit Layanan Pengadaan (ULP) UM mengadakan lelang kontraktor yang direncanakan dilakukan akhir tahun 2017.
Menurut dosen kelahiran 18 Agustus 1960 itu, setelah proses pembangunan dan kerja sama dengan IDB selesai, yang menjadi tanggung jawab besar UM adalah perawatanya. Ketika gedung sudah terbentuk, maka harus dirawat dengan baik. “Agar bisa baik seterusnya,” tutur Eko.

UM sebagai Pusat Inovasi Belajar
Sasaran utama learning innovation adalah terjadinya perubahan mindset pembelajaran teaching and training menjadi learning activity. Dari melatih mahasiswa terampil bekerja menjadi pengembangan kapabilitas. Serta mengubah pendekatan belajar berbasis job ke belajar berbasis kehidupan.
Pergantian paradigma ini amat mendasar. Sebab, secara psikologis pandangan kita terhadap peserta didik bergeser dari mahasiswa sebagai calon pekerja ke mahasiswa sebagai pribadi yang utuh.
Di tengah perubahan zaman yang tidak menentu, penuh paradoks, dan dinamika lapangan kerja, kapabilitas personal akan menentukan keberhasilan seseorang memasuki kehidupan. Lahirnya generasi digital, generasi Z yang kreatif, yang konon tidak gampang menerima peran tertentu memerlukan model layanan pendidikan yang berbeda. Waras, ketua Research Consortia PIU-IDB UM memaparkan, penelitian menunjukkan sebanyak 31% mahasiswa (manusia) mulai berbisnis dari dirinya (pencipta), 37% manusia menjadikan hobinya sebagai pekerjaan tetap, dan 42% manusia tidak gampang menerima peran tertentu yang diberikan orang lain.
“Sederhananya, UM membangun budaya belajar dan pembelajaran yang mendaratkan pengetahuan dalam kehidupan nyata. Apablia demikian, belajar akan menjadi bermakna,” tutur purna ketua penyunting Tabloid Komunikasi (sekarang Majalah Komunikasi) UM itu. Waras menambahkan, ide UM sebagai pusat inovasi belajar merupakan pengejawantahan The Learning University.
“Pengembangan kapabilitas melalui pendekatan Life-based Learning membutuhkan rangka kurikuler yang tidak monodisiplin,” terang dekan Fakultas Teknik 2011-2015. Oleh sebab itu, dalam konsep Life-based Learning muncul istilah transdisipliner dan interdisipliner. Sehingga interaksi ilmu akan terbangun oleh mahasiswa sendiri. “Aktivitas kurikuler lebih fleksibel,” tegasnya. Menurut Waras, hal ini merupakan satu kesempatan baik bagi mahasiswa yang mempunyai harapan besar untuk pengembangan diri.
Waras menjelaskan, dalam rangka menuju UM sebagai pusat inovasi belajar, ada 5 hal yang perlu diperhatikan. Pertama, siapa yang belajar yang meliputi gaya pikir, teknologi, dan cara pandang siswa. Kedua, layanan belajar yang tepat. Hal ini berkaitan dengan strategi belajar agar belajar mahasiswa dapat berkualitas baik dan optimal. Strategi belajar yang dikembangkan di sini adalah strategi membelajarkan orang. Ketiga, learning resources, berupa data dan sumber belajar. Keempat, desain kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan lebih bersifat fleksibel, interdisipliner, dan transdisipliner. Kelima, master plan information and technology yang mendukung agar interaksi belajar menjadi lebih mudah.
Sementara itu, Sintha mengungkapkan, tujuan lain yang ingin dicapai oleh 4 in 1 melalui dana IDB adalah meningkatkan daya saing bangsa. Salah satu yang dapat digunakan adalah bahasa. Maka, di gedung yang dibangun akan ada self access center agar mahasiswa dapat belajar bahasa asing mandiri. Sementara ini, UM mempunyai bahasa Inggris, Arab, Jerman, dan Mandarin. WR I mengusulkan agar ditambah bahasa Perancis sehingga mahasiswa mempunyai ruang untuk belajar bahasa Perancis.

Grand Design Information and Technology (IT)
Rancangan kurikulum multidisipliner akan didukung sistem informasi dan teknologi yang disebut IT Fusion. Sistem ini memungkinkan koneksi antarfakultas dan antarjurusan di UM. Bahkan jika perlu akan dirancang untuk terhubung dengan universitas lain, namun tetap relevan dengan matakuliah yang sedang ditempuh. Pengembangan ini diperlukan sebagai solusi terhadap keterbatasan fisik untuk berpindah. Dengan demikian, perpindahan yang terjadi lebih pada perpindahan secara akademik. Ketika kurikulum multidisipliner itu terbangun, maka IT-lah salah satu yang akan menyokong pelaksanaanya.
Sebagaimana diutarakan oleh Dr. Munzil, M.Si, IT fusion diharapkan dapat memberikan fasilitas bagi mahasiswa yang mengembangkan keilmuan di luar disiplin ilmu yang sedang ditekuni. Namun, kembali menjadi hak program studi untuk membuka diri dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar matakuliah lain antarfakultas maupun antaruniversitas yang sudah terkoneksi.
Koordinator Prodi Pendidikan IPA tersebut mempunyai mimpi dapat membentuk mahasiswa yang mempunyai life plan, mahasiswa yang mempunyai kemampuan untuk mengatur masa depan dirinya sendiri. Harapannya, dosen akan berperan sebanyak 80%, sedangkan 20% sisanya adalah pengembangan dari mahasiswa sendiri. Ia tidak dapat memungkiri ketersediaan sumber belajar yang melimpah. Maka, dosen hanya perlu menyetujui rancangan belajar mahasiswa dan menagih hasilnya. “Kalau dapat dilakukan seperti itu, kita akan hebat,” tuturnya.
Fasilitas teknologi informasi akan memberikan kesempatan membangun interaksi yang lebih luas, lebih dari sekadar antarteman sekelas. “Boleh saja mahasiswa bergabung dengan Komunitas Matematika Indonesia di ITB, misalnya,” kata Munzil.
Pengembangan IT dalam mendukung kurikulum multidisipliner yang berbasis Life-based Learning akan rancang selama tiga tahun. Pada tahun pertama, yaitu 2017, Munzil bersama tim merancang sistem IT melalui belajar bersama kolaboratif antarpeguruan tinggi. Untuk sekarang masih pada tahap pengenalan Life-based Learning kepada para dosen untuk dijadikan penelitian. Apabila usulan mereka menarik, maka akan didanai. Pengaplikasian konsep Life-based Learning akan dilakukan secara bertahap dan parsial. “Apabila dilakukan secara langsung akan menimbulkan banyak pertentangan,” jelas dosen Kimia itu. Tahun 2019 ditargetkan sistem siap dijalankan sepenuhnya.
Sistem akan menyediakan tiga jenis matakuliah, yaitu wajib, tidak wajib, dan bebas. Masing-masing mempunyai karakteristik dan tuntutan tersendiri. Khusus untuk matakuliah bebas, semua orang dapat mengikutinya tanpa adanya tes atau ujian. Tim IT akan menyiapkan sarana belajar yang banyak. Mahasiswa dengan mudah dapat memilih materi yang menjadi minatnya. “Dengan seperti itu, kita akan semakin kreatif,” tambah dosen alumnus redaksi Komunikasi itu. Dengan adanya Life-based Learning yang didukung oleh IT, UM digadang-gadang menjadi sumber inovasi belajar yang menjadi contoh bagi seluruh universitas di Indonesia.
Hal lain yang akan turut disokong oleh tim IT melalui konsep Life-based Learning adalah pemenuhan sumber belajar berupa jurnal online atau e-book. Akan ada bantuan dari dosen kepada mahasiswa mengenai sumber belajar mana saja yang diperlukan dalam matakuliah. Bahkan Munzil berpendapat, bisa jadi sebaliknya, mahasiswa yang akan mendukung materi kepada dosen. “Karena sekarang kelas bukan menjadi ajang untuk dosen memberi materi, tetapi menjadi tempat diskusi,” papar ayah dua anak tersebut.
Dengan berkembangnya sistem IT, kebutuhan akan ruang kelas konvensional akan berkurang. Mahasiswa dan dosen dapat berinteraksi di mana saja. Munzil menegaskan bahwa kebutuhan akan smartphone atau teknologi sejenis bukan sekadar gaya-gayaan, melainkan sudah menjadi tuntutan. Dengan bandwidth yang semakin besar dan murah, mengakses jaringan internet bukan masalah lagi. Apabila ada beberapa mahasiswa yang memang tidak mampu untuk itu, universitas dapat memfasilitasi dengan menyediakan PC.
Segi sarana dan prasana IT UM dinilai sudah mumpuni untuk mengarah kepada IT fussion. Karena untuk mengarah ke sana, hanya diperlukan Learning Management System (LMS). Apabila dibutuhkan portal web tersendiri, UM sudah mempunyai developer web yang dinilai Munzil sudah mumpuni. Bahkan hal tersbut dapat pula dikerjakan oleh mahasiswa.
Menurut dosen kelahiran Pamekasan itu, mentalitas mahasiswa dalam penggunaan fasilitas kampus berupa teknologi perlu dikembangkan. Seperti pengunaan jaringan wifi kampus yang digunakan tidak untuk kepentingan akademik. Melihat hal ini, ia tidak dapat sepenuhnya menyalahkan mahasiswa. Menurutnya memang perlu disiapkan sistem yang menuntut mahasiswa membuka konten akademik ketika ia membuka laptopnya. “Bagaimana agar IT yang dibangun dengan duit yang mahal dapat digunakan dengan baik dan maksimal,” ungkapnya.
Satu kelompok mahasiswa mungkin berpikiran tidak perlu repot-repot mencari sumber belajar di luar apabila dengan membaca materi dari dosen saja sudah bisa lulus. Berbeda dengan kelompok mahasiswa yang kreatif. Mereka dapat mengembangkan materi yang didapatkan dari perkuliahan. Munzil menambahkan bahwa belajar itu menempatkan mahasiswa sebagai subjek belajar, bukan objek yang harus diisi oleh materi. “Kadang saya berpikir bagaimana bisa ada mahasiswa yang tidak tahu materi yang akan dipelajari di kelas. Apakah mereka tidak mempunyai target? Atau kita yang tidak membuat mereka mempunyai target?” ungkap dosen yang hobi menganalisis berita itu.
Waras menyadari, program PIU-IDB UM dengan tujuan utama UM sebagai pusat inovasi belajar merupakan proyek yang sangat besar. “Tentu tidak seperti membalik telapak tangan, tetapi harus ada,” ungkap Waras. Walau demikian, ia tetap optimis bahwa UM pasti mampu. “Orang kalau tidak punya ambisi, ya tidak punya inovasi,” tuturnya.
Sementara itu, dalam pelaksanaan program-program PIU-IDB UM ini, Bambang berharap seluruh pihak dan jajaran UM dapat mendukung penuh program tersebut. “Kami tidak bisa berjalan tanpa dukungan dari semua pihak,” kata Bambang.
WR IV UM pun menegaskan, dana yang akan digunakan merupakan hibah yang diberikan oleh IDB yang bekerja sama dengan Bappenas. “Dengan dana tersebut, tugas UM adalah menghasilkan lulusan yang terbaik dengan menjadi pusat inovasi belajar,” terang Wayan.Yana/Ajrul

IMG_9927

IMG_3545