Anjuran Kementerian Riset dan Teknologi sebagaimana disampaikan oleh Rektor UM adalah menyelaraskan pendidikan dengan dunia industri. Kepedulian pemerintah terhadap hal tersebut terlihat dari undangan Wakil Presiden RI, Muhammad Jusuf Kalla, kepada beberapa rektor Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) termasuk UM. Dalam dua kesempatan dibahas mengenai strategi untuk menjembatani pendidikan tinggi dengan kehidupan nyata, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, serta aspek lainnya.

Latar Belakang Life-Based Learning
Saat ini ragam lapangan pekerjaan timbul dan tenggelam silih berganti. Generasi muda kini berlomba-lomba menghasilkan inovasi dalam berwirausaha. Dinamika masyarakat tersebut membuat pembelajaran tidak cukup hanya dari doktrin seorang guru. Seyogianya, dalam proses belajar mampu mengajak siswa untuk melihat kondisi riil kehidupan. Dari keterangan Rektor UM, Prof. Dr. AH. Rofi’uddin, M.Pd., life-based learning mencoba untuk mendekatkan perkuliahan dengan kebutuhan masyarakat. Mahasiswa akan dihadapkan secara langsung pada kenyataan bahwa ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepat. Selain dinamika masyarakat, karakteristik pelajar generasi Z juga menjadi salah satu faktor dikembangkannya life-based learning.
Menurut Rofi’uddin, karakteristik generasi Z sangat berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka cenderung aktif, multitasking, dan ingin segala sesuatu berjalan cepat. Penggunaan jaringan internet dalam menunjang perkuliahan mutlak dilakukan. “Meskipun ini tidak mudah bagi dosen, tetapi kita sadar bahwa pembelajaran harus menyesuaikan,” tutur dosen Sastra Indonesia itu.
Selaras dengan apa yang disampaikan oleh rektor, Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., Wakil Rektor I (WR I), menyampaikan bahwa life-based learning ada lantaran motivasi untuk mengembalikan pendidikan ke hakikat aslinya, yaitu memosisikan mahasiswa menjadi pebelajar yang sejati. “Belajar bukan hanya untuk menguasai bidang tertentu, tetapi juga mengembangkan kapabilitas,” tutur Hariyono.  Mahasiswa diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan yang telah dimiliki. Mahasiswa juga diberi kebebasan untuk menentukan materi yang dibutuhkan. Hal ini berarti diperbolehkan untuk mengambil matakuliah yang relevan di luar bidang studinya.
“Hal yang utama adalah mengembangkan semua potensi yang dimiliki mahasiswa,” ujarnya. Hal tersebut bertujuan agar ketika mahasiswa sudah lulus, ia dapat dengan cepat mengantisipasi saat ada masalah dan situasi baru. Hariyono menjelaskan, sebab apa yang telah dipelajari mahasiswa lima tahun yang lalu mungkin saja berubah. Banyak ilmu pengetahuan baru yang seakan-akan tidak sesuai teori yang dahulu. “Tidak mungkin kita kembali ke guru kita dan mengatakan bahwa yang dahulu dipelajari adalah salah. Namun, justru lebih baik mempertanyakan mengapa hal itu bisa terjadi,” jelas dosen Sejarah itu.

P_20161103_120617Pendidikan yang berbasis kehidupan memberikan peluang bagi dosen dan mahasiswa untuk mempelajari topik-topik yang kontekstual. Sebisa mungkin materi yang dibahas di perkuliahan memiliki kaitan dengan problematika kehidupan yang nyata. Apabila tidak demikian, ilmu akan terasing dari kehidupan. Demikian pula dampaknya pada mahasiswa. Hariyono menegaskan bahwa kontekstual tidak harus ditafsirkan melalui hal yang dekat dengan ruang fisik, melainkan menyangkut kehidupan yang luas. Dengan berkembangnya media sosial, generasi muda dengan mudahnya berkenalan dengan orang asing. Oleh karena itu, life-based learning bukan semata-mata harus hidup di lokalnya sendiri. Namun juga hidup di dunianya. Termasuk mengantisipasi kehidupan digital.
Kehidupan yang dinamis dan berubah secara terus menerus mengakibatkan guru tidak hanya bertindak sebagai pembelajar, tetapi juga pebelajar. “Akan sulit untuk membelajarkan orang lain apabila kita bukan pebelajar yang sejati,” ujar Hariyono. Proses pendidikan yang demikian tidak cukup hanya keterlibatan secara fisik saja, tetapi juga secara intelektual dan emosional. Belajar pada dasarnya bukan kata benda, melainkan kata kerja sehingga dalam belajar tidak dapat diwakilkan.
Menurut dosen asli Malang itu, pebelajar yang sejati dapat dipandang sebagai orang yang selalu memperbarui keterampilan dan kemampuannya secara terus menerus. Pembaruan tersebut termasuk berani mempertanyakan asumsi-asumsi yang selama ini ia gunakan. Karena kemauan belajar yang terus menerus, orang-orang seperti ini lebih memiliki kemampuan adaptif yang baik. Bagi yang tidak terbiasa demikian, ia akan gugup dalam menghadapi perubahan zaman.
Life-based learning diakui rektor bukan serta-merta produk kreasi UM. Namun, merupakan hasil adopsi dari berbagai sumber. Meskipun tidak tertulis, dapat diketahui bahwa sejak dahulu, kehidupan telah mengajarkan banyak hal. Nenek moyang masyarakat Indonesia yang sebagian besar adalah petani mengajarkan cara bertani dengan turun langsung ke sawah. Pola kehidupan yang berulang juga sering menjadi pijakan untuk mengambil keputusan. “Sebenarnya kalau berbicara belajar berbasis kehidupan sejak dulu memang seperti itu,” tutur Rektor UM.
Sejalan dengan Hariyono dan Rofi’uddin, Prof. Dr. Suyono, M.Pd. mendefinisikan life-based learning sebagai paradigma pendidikan yang mengutamakan pembentukan kapabilitas subjek didik menjadi pribadi yang utuh melalui beragam sumber dan modus belajar sehingga mereka siap memasuki kehidupan, bukan hanya menghadapi ujian. Suyono menjelaskan bahwa kapabilitas terbentuk bila subjek didik ahli dan profesional. Tanpa keahlian yang tinggi dan kecakapan profesional, kapabilitas sulit dibentuk.
Staf ahli WR I tersebut juga menjelaskan alasan keahlian dan kecakapan profesional terus berkembang, sehingga pelakunya menjadi kapabel. Pertama, keahlian dan profesionalitas yang terus diasah dan digunakan. Kedua, pemilik keahlian dan profesionalitas itu terus menambah kemampuannya melalui berbagai usaha dan kegiatan. Ketiga, pemilik keahlian dan profesionalitas terus melakukan refleksi dan berbenah diri tiada henti.

Life-Based Learning sebagai Jabaran The Learning University
Secara bertahap, identitas UM sebagai The Learning University dijabarkan dalam beberapa program. Salah satunya melalui gagasan life-based learning. Gagasan yang dibawa dengan tujuan menjadi pusat inovasi belajar ini merupakan bagian kerja sama UM dengan Islamic Development Bank (IDB). Menurut Rofi’uddin, hal ini juga merupakan bagian dari visi untuk menjadi universitas yang unggul dan menjadi rujukan. “Untuk merealisasikannya memang membutuhkan kerja keras serta waktu yang lama,” tambah laki-laki kelahiran 1962 itu.
Kerja sama yang dijalin UM dengan IDB adalah fasilitas untuk mewujudkan perkuliahan yang berbasis pada kehidupan. Artinya, pada akhir kerja sama, empat tahun ke depan, semua sudah berjalan sesuai dengan rencana. Beberapa target telah dirumuskan. Di antaranya meliputi pengembangan kurikulum, sumber daya manusia, dan lainnya. Hasil secara keseluruhan adalah memberikan kontribusi dalam menciptakan model perkuliahan berbasis kehidupan. Rofi’uddin berpendapat, life-based learning bukanlah tujuan. Namun, hanya cara untuk mengantarkan UM mencapai visi dan misinya. Apakah pada saatnya bisa berubah? Menurutnya bisa saja. “Bahwa yang paling utama adalah bagaimana target-target dari kerja sama ini dapat tercapai,” tambah dosen kelahiran Jombang itu.
Sementara itu, pada peringatan 62 tahun UM Rabu (26/10), diangkat sebuah tema “Inovasi untuk Berprestasi”. Pada dasarnya, tema ini diambil  untuk merangkum semua inovasi dan prestasi yang telah dihasilkan oleh masing-masing jurusan dan fakultas. Namun, dalam kesempatan tersebut juga turut dikampanyekan mengenai gagasan life-based learning, baik dalam sambutan rektor maupun dalam orasi ilmiah oleh Prof. Dr. Waras Kamdi, M.Pd., Ketua Research Consortia Indonesian Consortium for Learning Innovation Research (I-CLIR). Gagasan ini menjadi bagian dari inovasi unggulan di UM. Dalam orasi ilmiahnya, Waras menyebutkan bahwa pendidikan tinggi harus berpacu dengan inovasi. Ada tiga lapis inovasi pendidikan tinggi, yaitu (1) latar atau konteks fenomena-fenomena perubahan dalam kehidupan, (2) inovasi apa yang dilakukan pendidikan tinggi sebagai respon perubahan, dan (3) menggerakkan inovasi pendidikan tinggi.

Model Pembelajaran Life-Based Learning
Menurut Suyono, life-based learning dapat diturunkan menjadi sejumlah model pembelajaran. Secara umum, model pembelajaran yang diturunkan dari LBL adalah belajar dari kehidupan, belajar melalui kehidupan, dan belajar untuk kehidupan. “Belajar dari kehidupan, belajar melalui kehidupan, dan belajar untuk kehidupan merupakan serangkaian kegiatan yang sambung-menyambung menjadi satu keutuhan,” terang dosen Sastra Indonesia itu.
Belajar itu hakikatnya memang dari dan untuk tiga ranah itu. Mengamati lingkungan sekitar berarti belajar dari kehidupan. Sementara itu, mempraktikkan hasil pemikiran adalah termasuk belajar melalui kehidupan. Terakhir, apabila yang diajarkan dapat berguna bagi kehidupan peserta didik setelah selesai masa studinya berarti belajar untuk kehidupan.
Belajar dari kehidupan dapat bersumber dari apa saja. Semua yang terhampar dari alam semesta, baik fisik maupun sosial dapat dijadikan sumber belajar. Beragam sumber belajar yang tersedia memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman yang otentik dan kaya. Belajar dari kehidupan memang cenderung reseptif, tetapi bukan pasif. Karena sifat reseptif inilah pengetahuan dapat diserap sebanyak-banyaknya, baik itu yang tekstual maupun kontekstual. Agar dapat terlibat aktif dalam proses belajar dari kehidupan, modal utama yang harus dimiliki peserta didik adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Proses belajar juga dapat menjadi lebih optimal manakala siswa dan gurunya terlibat interaksi untuk mengkaji sumber belajar yang ditemukan.
Belajar melalui kehidupan berarti mengarungi hidup bersamaan dengan belajar. Belajar melalui kehidupan utamanya yang bernuansa mempraktikkan, menerapkan, atau mengujicobakan sesuatu. Berkebalikan dengan belajar dari kehidupan, belajar melalui kehidupan cenderung produktif. Di mana belajar melalui kehidupan dapat merupakan lanjutan dari belajar dari kehidupan.
Belajar untuk kehidupan mengarah pada bagaimana memanfaatkan apa yang telah dipelajari, baik melalui belajar dari kehidupan maupun belajar melalui kehidupan untuk kehidupan yang akan datang. Belajar untuk kehidupan dimensinya cenderung masa yang akan datang atau masa depan. Belajar untuk kehidupan juga bersifat produktif, berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui belajar dari dan melalui kehidupan. Dari ketiga terma itu, ketiganya saling berhubungan dan berkelanjutan. “Belajar dari kehidupan dilanjutkan belajar melalui kehidupan dan akhirnya belajar untuk kehidupan,” papar Suyono.

Langkah Implementasi
Menurut Rofi’uddin, terdapat dua hal pokok yang perlu dilakukan dalam proses implementasi life-based learning, yaitu menata kurikulum dan mempersiapkan sumber daya manusia. Melalui kedua proses tersebut, perkuliahan akan sesuai dengan karakter mahasiswa dan dapat memproyeksikan keadaan masyarakat yang akan dihadapi lulusan UM sepuluh tahun ke depan.
Menerapkan gagasan life-based learning sama halnya mengubah pola pikir yang sangat dasar. Rofi’uddin menjelaskan, hal pertama yang perlu dilakukan dalam menerapkan gagasan tersebut adalah mempersiapkan kurikulum. “Kurikulum ibarat bahan baku,” katanya. Semua proses perkuliahan yang dijalani didasarkan pada kurikulum, sehingga perlu ditata dan dipersiapkan yang sesuai dengan pandangan pendidikan berbasis kehidupan. Sebagai hal yang selalu berkembang, kurikulum merupakan hasil proses yang panjang. Perlu memotret keadaan dan  melihat kecakapan yang dibutuhkan masyarakat sebelum merancangnya. Hasil serapan dari observasi kemudian dituangkan dalam butir-butir kompetensi. Spesifiknya pada item-item matakuliah.
Hariyono menambahkan bahwa kurikulum berbasis kehidupan yang dirancang akan menawarkan banyak matakuliah yang dapat dipilih. Rencananya 60—70% matakuliah wajib dan 30—40% matakuliah pilihan. Matakuliah tersebut tidak selalu diambil dari program studi yang sama. Akan tetapi, dapat pula ditempuh di program studi lain yang materinya relevan dengan topik skripsi, tesis, maupun disertasi yang diambil. Namun, mahasiswa yang ingin konsisten pada bidang tertentu tetap diperbolehkan.
Dalam rangka mendorong keaktifan mahasiswa, dikembangkan Kelompok Bidang Keahlian (KBK) yang akan membuat payung-payung penelitian. Dosen yang tergabung didalamnya dapat menyarankan mahasiswa untuk turut serta dalam topik penelitian yang dilakukan KBK tersebut. Hal ini akan membuat penelitian oleh mahasiswa berbasis pada masalah yang telah dikaji oleh para ahli dan bukan hanya sekadar trial and error. Dengan demikian, pendampingan kepada mahasiswa yang bersangkutan dapat dilakukan dengan maksimal. Apabila ada bidang keahlian yang pakarnya terdapat di luar UM, telah dibuat keputusan bahwa selain pembimbing pertama untuk S1, S2, dan S3 dapat berasal dari luar kampus.
Selain perancangan kurikulum, pekerjaan besar lain adalah bagaimana membekali dosen  dengan wawasan serta kemampuan untuk menerjemahkan gagasan life-based learning. Berbicara tentang generasi Z, mau tidak mau perkuliahan harus menggunakan teknologi. “Bagi yang senior mungkin tidak terlalu akrab dengan itu semua. Memang perlu diajak dan didorong,” ungkap Rofi’uddin.
Dalam penerapan konsep belajar berdasarkan kehidupan, akan ada pergeseran paradigma pendidikan dari berbasis kompetensi menjadi kapabilitas. Keduanya berbeda. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rofi’uddin. Sebagai contoh, pemahaman mahasiswa Teknik Mesin pada tingkat kompetensi adalah kemampuan mengoperasikan alat, mendeteksi kerusakan, dan sebagainya. Namun, seringkali dalam kehidupan hal tersebut belum cukup. Dengan pemahaman kapabilitas mahasiswa akan mampu berpikir untuk lebih menjual kemampuannya. Sederhananya, kompetensi lebih pada hal yang teknis, sedangkan kapabilitas lebih dapat menaungi semuanya.
Melalui life-based learning, ditekankan bahwa masalah kehidupan sangatlah kompleks. Belajar dari kehidupan tidak hanya terbatas pada penguasaan materi pelajaran, tetapi juga how to learn. Hariyono menjelaskan, pengembangan yang akan dilakukan bukan semata-mata pada hal yang kasat mata, antara lain fasilitas lengkap, gedung yang memadai, dan sebaginya. Aspek yang tidak kasat mata juga perlu dikembangkan dari mahasiswa yang meliputi cara berpikir dan cara bersikap. Ia menambahkan, pekerjaan seseorang ditentukan oleh kepekaan sosial serta kecerdasan etis. Orang yang mempunyai kecerdasan etis atau pertanggungjawaban diri akan mempunyai integritas. “Pada umumnya integritaslah yang dibutuhkan dalam masyarakat,” tegas WR I itu.

Kendala
Mengubah cara pandang lama menjadi cara pandang baru yang sesuai dengan konsep life-based learning tidak akan mudah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hariyono. Ide besar memang perlu adanya sosialisasi ke seluruh pemangku kepentingan. Tentunya membutuhkan kesabaran dan ketekunan untuk menerjemahkan gagasan ini dalam problem sehari-hari. Perlu disadari bahwa materi yang dipelajari di setiap program studi hanyalah salah satu cara untuk menuju ke sana. Penekanannya adalah pada cara mengajar dan belajar dengan baik. Membongkar pandangan mengenai sikap yang harus diambil ketika terjadi perubahan kondisi.

Kata Mereka
Rofi’uddin berharap, makna dari life-based learning dapat dipahami dan diserap oleh seluruh civitas academica UM. Pemahaman ini akan mengantarkan tenaga pengajar untuk menerapkannya dalam proses pembelajaran. Ia menegaskan bahwa gagasan ini adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan kelembagaan, yaitu visi dan misi. Selain itu life-based learning juga dipandang sebagai media untuk menjalankan tugas masing-masing. Baik mahasiswa dengan tugas belajarnya, dosen dengan tugas mendidik, serta pejabat dengan tugas manajemen.
Sementara itu, Hariyono berharap atmosfer akademik di UM akan berjalan dengan lebih baik. Penelitian terus berkembang serta kemandirian belajar menjadi lebih maksimal. Apabila mengadopsi konsep milik Ki Hajar Dewantara, pembelajaran yang berbasis kehidupan ini  mampu mendorong dosen dan utamanya mahasiswa untuk berpikir merdeka. Orang yang telah berpikir merdeka mampu mengurusi dirinya sendiri dan tidak bergantung pada yang lain.Ajrul/Yana