Bertempat di Aula Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Malang (UM), Gerakan Peduli Pendidikan UMengajar menggelar seminar interaktif bersama Indonesia Mengajar (IM) dan Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T), Jumat (24/02). Seminar yang bertema “Wujudkan Generasi Inspiratif Bersama IM dan SM-3T” ini menghadirkan dua pemateri, yakni Ines Faradina yang merupakan pengajar muda angkatan XI Gerakan Indonesia Mengajar (IM) dari Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, serta Fira Amelia dari PPG SM-3T Angkatan IV yang mengabdi di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat.

Latar belakang pemilihan tema disebabkan adanya kesamaan dua program tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh UMengajar selama ini. Dikatakan oleh Ketua Umum UMengajar, Ratna Ayu Kurniawati, seminar ini merupakan wahana berbagi pengalaman dengan mereka yang pernah merasakan mendidik di daerah 3T. “Kegiatan ini diadakan berganti-ganti setiap tahun kepengurusan, agar ada penyegaran,” ungkap mahasiswi Fakultas Ekonomi itu. Lanjut Ratna, kegiatan ini akan dilanjutkan dengan pengabdian UMengajar di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang. “Kita akan membantu belajar para narapidana yang akan menempuh Ujian Penyetaraan Kegiatan Belajar (kejar) Paket A, B, dan C. Mereka ingin menyelesaikan pendidikannya yang terputus,” urai perempuan asal Madiun tersebut.20170224 [BERITA MINGGUAN] Seminar Interaktif UMengajar Copyright UMengajar

Dalam kesempatan tersebut, Fira Amelia yang berkesempatan menyampaikan materi pertama menjelaskan bahwa medan yang ditempuh untuk mencapai Distrik Inanwatan, lokasi pengabdiannya sangat sulit. “Katanya bisa sampai empat jam dengan kapal, ternyata hingga 18 jam baru sampai,” kenang perempuan asli Pagelaran, Kabupaten Malang tersebut. Sesampainya di Inanwatan, normalnya Fira harus beristirahat setelah menaiki kapal hampir seharian dengan kondisi gelombang yang memabukkan. Namun tidak, ia dan kawan-kawannya sesama pengabdi harus berjalan bolak-balik ratusan meter untuk mengambil air di sumur yang digunakan untuk mandi dan keperluan memasak. “Sumurnya bukan cor, tapi seperti kubangan air tadahan hujan, jadi banyak kecebongnya dan saya memilih nggak mandi selama dua hari karena jijik,” urainya. Namun, rasa jijik tersebut tidak berlangsung lama karena mau tidak mau ia harus mandi. “Bahkan setelah itu saya juga masih menemukan banyak siswa yang sekolah tidak mandi, karena jauhnya sumur tersebut dari tempat tinggal mereka,” ujar Fira.

Namun, meskipun ia harus menempuh medan yang sulit dan menghadapi siswa yang spesial, Fira banyak terinspirasi dari kehidupan mereka yang pantang menyerah di tengah keterbatasan yang mereka hadapi. Terutama tentang antusiasme mereka saat menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). “Masyarakat sana sangat antusias meramaikan Hardiknas, bahkan orang satu distrik sampai diliburkan demi memeriahkan perayaan yang kami gagas,” papar Fira. Perayaan Hardiknas yang digagas oleh tim SM-3T di Inanwatan meliputi lomba-lomba, termasuk festival tarian rakyat Papua Barat. “Saking meriahnya sampai diliput oleh TV lokal di sana,” terang lulusan S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar FIP UM tersebut.

Sementara itu, pemateri kedua yakni Ines Faradina menceritakan tentang pengalamannya ketika di Natuna. Di sana ia ditempatkan di sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Kerdau, berjarak empat jam perjalanan dari pulau utama, Natuna. Ia membuka ceritanya dengan mengajak peserta seminar untuk melakukan tarian Baby Shark. “Ini yang biasanya saya gunakan untuk mendongengi siswa,” ujar wanita asal Probolinggo tersebut. Indonesia Mengajar, berdasarkan pemaparan Ines, adalah sebuah lembaga nonprofit yang bertujuan untuk memajukan pendidikan dengan cara menggandeng seluruh elemen, terutama para lulusan perguruan tinggi sebagai pelaku utamanya. “Tidak hanya sarjana pendidikan, banyak juga yang merupakan lulusan ilmu murni dan bahkan kemarin ada yang doktor teknik metalurgi lulusan Jepang,” papar lulusan Sastra Inggris UM itu. Senada dengan SM-3T, para pengajar muda, sebutan untuk relawan Indonesia Mengajar ditempatkan di 24 titik terpencil dan minim akses pendidikan di seluruh Indonesia.

Ines mengajar di SD Negeri 5 Pulau Kerdau, satu-satunya sekolah di pulau tersebut, selama satu tahun. Selama pengabdian, banyak hal yang membuatnya terkesan dengan Natuna. “Selain alamnya yang indah, masyarakatnya juga sangat antusias dengan hadirnya Indonesia Mengajar,” ujarnya. Salah seorang peserta seminar bertanya kepada Ines tentang bagaimana mengondisikan diri agar betah, dengan fasilitas yang sangat terbatas di sana. “Saya tidak pernah bosan di sana, bahkan saya hanya menangis dua kali yakni ketika saya akan berpisah dengan siswa-siswi saya dan ketika mereka pertama kali menyanyikan Indonesia Pusaka,” kenangnya haru. Saat diwawancarai Komunikasi seusai acara, ia berharap lebih banyak lagi lulusan UM yang mengikuti SM-3T maupun Indonesia Mengajar. “Apalagi kita banyak yang mengambil prodi pendidikan, juga terbukti lulusan kita tidak kalah dengan kampus-kampus seperti ITB, UGM, atau ITS,” ucapnya bangga seraya menutup pembicaraan.Arvendo