Siapa sih yang tidak mengenal game? Game telah menjamur dikalangan anak-anak hingga dewasa. Menjamurnya game tersebut tak lain halnya dikarenakan bertumbuhan industri teknologi yang masuk ke Indonesia. Dahulu game yang hanya bisa dimainkan oleh dua orang, kini bisa dimainkan oleh puluhan orang secara bersamaan berkat teknologi, terutama internet. Perkembangan gadget juga berdampak pada menjamurnya game, karena saat ini game tidak hanya dimainkan pada PC/Laptop tetapi juga pada gadget/mobile. Andi Suryanto selaku Ketua Asosiasi Game Indonesia (AGI) memaparkan data terbaru yang berhasil dihimpunnya. Data riset menunjukkan perbandingan antara mobile game dengan PC game, mobile game menguasai sekitar 52 persen pasar game di Indonesia.

Rata-rata usia gamers antara 2 tahun sampai 44 tahun, anak-anak usia sekolah (6-17 tahun) cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya dengan bermain game dari pada kegiatan lainnya. Mereka menghabiskan waktu rata-rata 2 jam perhari untuk bermain game mobile bahkan lebih. Saat ini harga smartphone yang beredar di pasaran tergolong sangat murah, hingga banyaknya usia anak-anak yang memiliki smartphone tersebut. Kecenderungan anak-anak sekarang lebih betah untuk berdiam diri didalam rumah dengan bermain game dari pada harus bermain keluar rumah bersama teman-temannya. Bisa dikatakan anak-anak sekarang sudah kecanduan untuk bermain game.

Kecanduan game yang dialami oleh anak-anak pada usia sekolah berdampak pada beberapa hal seperti, interaksi, kesehatan, dan pendidikan. Dalam hal interaksi, kencenderungan para gamers akan susah untuk berkomunikasi maupun berinteraksii di lingkungan sekitarnya. Karena gamers lebih memilih menghabiskan banyak waktunya untuk berdiam diri bermain game dengan gadget maupun PC sehingga porsi untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar sangatlah kurang. Dari segi kesehatan akan berdampak pada kesehatannya terutama mata yang terus menerus menatap layar gadget/PC yang terlampau dekat, selain kesehatan mata perkembangan psikomotor juga akan terhambat karena kurangnya gerak. Kurangnya sosial dan pengaruh kesehatan akan berdampak pada proses pendidikannya pula. Pendidikan pun juga merasakan dampak dari kecanduan game tersebut. Pecandu game cenderung akan malas belajar, karena mereka beranggapan bermain game lebih menyenangkan dari pada belajar.

Akibatnya banyak problematika ketika mereka belajar disekolah. Mereka mudah bosan ketika kegiatan belajar disekolah berlangsung, tak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar. Banyak pula siswa mencuri-curi waktu bermain game dengan gadget yang dimilikinya, padahal pembelajaran sedang berlangsung. Akhirnya beberapa sekolah menerbitkan peraturan tidak dibolehkan membawa gadget/handphone ke sekolah.

Belajar memang tak semenarik seperti bermain game, yang bisa membuat seseorang hingga lupa waktu. Hal tersebut karena dalam belajar tidak menciptakan emosi-emosi seperti saat bermain game. Menurut penelitian Lee dan Hammer (2011), game dapat memberikan 3 (tiga) keuntungan psikologi, yaitu kognitif, emosional, dan sosial sehingga dapat meningkatkan motivasi pemain dalam mempelajari suatu game. Seharusnya seorang pengajar dalam pengajarannya dapat menciptakan emosi-emosi seperti saat bermain game, pastilah semua siswa akan termotivasi untuk belajar, bisa jadi mereka akan belajar hingga lupa waktu.

Kekuatan yang ada di game tersebut dapat diadopsi dalam kegiatan pembelajaran. Hingga menjadikan belajar semenarik bermain game, hal tersebut biasanya disebut dengan gamifikasi. Gamifikasi merupakan sebuah proses yang mengubah non-game konteks (seperti belajar dan mengajar) menjadi jauh lebih menarik dengan mengintegrasikan game thinking, game design, dan game mechanics. Pengintergrasian tersebut dapat dilakukan dalam pembelajaran tatap muka maupun pembelajaran menggunakan teknologi seperti E-learning.

Dalam pembelajaran tatap muka seorang pengajar dapat menerapan dengan cara membagi materi pembelajaran sesuai tingkat kesulitan dan membuat suatu masalah yang harus dipecahkan disetiap tingkatnya. Seolah-olah ketika siswa belajar mereka merasa tertantang untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dan mendapatkan sebuah penghargaan atau poin dari seorang guru, dan akhirnya pebelajar bisa melanjutkan ke tingkatan/level berikutnya. Pembatasan waktu juga diberikan pada kegiatannya supaya sesama pembelajaran merasa harus saling bersaing untuk memecahkan masalah dalam tingkatan tersebut. Poin yang didapatkan siswa disetiap tingkatannya dapat diakumulasikan setelah menyelesaikan semua level. Jumlah poin yang didapatkan dapat ditukarkan dengan reward yang disediakan oleh pengajar. Dalam hal tersebut seorang pengajar diharapkan mampu membawa suasana kedalam dunia game.

Kegiatan pembelajaran tidak hanya dilakukan dengan tatap muka, pembelajaran secara online pun dapat menerapkan gamifikasi. Penerapannya pun hampir sama seperti pembelajaran tatap muka. Pembelajaran online biasanya disebut dengan E-Learning, dalam e-learning tersebut materi juga dapat dipilah menjadi beberapa level sesuai dengan tingkat kesulitan. Dengan menggunakan e-learning pembagian level ini malah lebih mudah dengan tidak memberikan hak akses kepada pebelajar sebelum pebelajar tersebut menyelesaikan level sebelumnya. Selain itu mekanik game yang diterapkan seperti Level, earnings badge, sistem point, score dan time challenge.

Gamifikasi yang telah diterapkan dalam bidang pendidikan tersebut sudah banyak diterapkan pada pendidikan didaerah barat, tetapi belum banyak diterapkan di Indonesia. Dengan konsep kompetisi demi mengejar poin untuk mendapatkan achievement/reward akan menjadikan suasana belajar yang kompetitif dan lebih menyenangkan. Emosi-emosi saat bermain game yang dimunculkan dalam pembelajaran dengan menggunakan gamifikasi, tentunya belajar akan memunculkan Kreativitas, kepuasan, kagum, heran, gembira, penasaran, bangga, terkejut, lega, dan santai. Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Teknologi Pembelajaran dan Juara III Opini Kompetisi Penulisan Rubrik Majalah Komunikasi 2016